Pemimpin dan kepala itu sama. Keduanya sama-sama ada di atas, kecuali terbalik atau nyungkling. Keduanya sama-sama punya otak di dalamnya. Karena punya otak, keduanya sama-sama bisa berpikir. Otak adalah anugerah bagi kepala dan pemimpin. Meski begitu, tidak semua kepala dan pemimpin menggunakan anugerah terindahnya untuk berpikir.
Manakala tubuh diibaratkan seperti gunung, kepala adalah puncaknya. Dari puncak gunung, keluar lahar panas saat gunung meletus. Lahar yang keluar sanggup membakar apa saja yang dilewatinya. Setelah ia lewat, banyak orang yang bisa hidup karenanya. Hasil berpikir pun, meski tidak persis sama, bisa diibaratkan seperti lahar. Saat ide-ide digelontorkan, ada saja orang yang merasa diuntungkan atau dirugikan. Setelah segala konflik yang dilahirkan dari gelontoran ide itu lewat, barulah orang-orang bisa mengambil hikmahnya.
Itulah guna belajar seumur hidup. Jika ada orang yang ingin belajar, syarat pertama adalah mau dan mampu mendengar. Kalau mendengar saja sudah tidak mau, buat apa punya keinginan belajar? Tidak ada gunanya belajar tanpa mendengar. Kemauan mendengar dilengkapi dengan kemahiran membaca. Membaca selain ada tekhniknya, juga harus ada objek yang dibaca. Tidak mungkin membaca tulisan-tulisan pada media yang sudah lapuk dimakan ngengat. Mustahil pula membaca buku-buku yang sudah dibakar. Pembakaran buku sudah biasa di negeri antah berantah, meskipun kita tidak benar-benar tahu, yang membakar sudah baca atau belum.
Syarat ketiga adalah kemampuan berbicara. Retorika mesti selalu diasah, agar tidak salah ucap. Kumbakarna adalah contoh orang pintar yang salah ucap, sehingga anugerah yang didapatnya berupa tidur yang lelap. Untuk bicara, mestilah memiliki keberanian. Keberanian diimbangi dengan kecerdasan yang didapat dari mendengar dan membaca. Hati-hati bicara, bisa dipenjara.
Di tingkat lanjut adalah menguasai tekhnik menulis. Menulis perlu kemahiran dan keterampilan. Ide-ide yang abstrak di kepala, bisa diwujudnyatakan dalam bentuk tulisan yang bisa dinikmati oleh siapa saja. Sayangnya, kita juga memiliki sejarah buruk dalam dunia kepenulisan. Sebab beberapa orang yang gemar menulis, dan mengabdikan dirinya dalam dunia tulis menulis, justru disingkirkan, dibuang.
Apa istilah yang lebih tepat dari pembodohan? Saya pikir tidak ada. Penghilangan data-data sejarah melalui pembakaran buku jelas kejahatan intelektual. Ada solusi yang tidak sebarbar itu. Pengawasan salah satunya.
Kepekaan intelektual dalam menjaga asupan gizi kecerdasan masyarakat adalah tanggungjawab bersama. Ada tiga sumber kekuatan yang bisa dimanfaatkan yakni kekuasaan, kekayaan, dan kecerdasan. Dengan kekuasaan, segala keputusan serta aturan dapat tercipta. Dengan kekayaan, pelaksanaan segala keputusan dapat lebih lancar. Dengan kecerdasan, segala ide tentang penciptaan, perawatan, dan evaluasi bisa diadakan. Semua itu mesti didasari dengan pengabdian. Pengabdian hanya mungkin disadari jika bijaksana. Maksudnya, inti dari segala kekuatan itu adalah kebijaksanaan.
Sayangnya, tidak ada lagi sosok-sosok pemimpin yang sekaligus pemikir. Idealisme hanya kulit. Mereka disibukkan dengan urusan birokrasi, malas, dan bebal. Mereka mendekat kalau ada maunya. Memasuki musim pemilihan, semua calon mencoba menunjukkan kepeduliannya pada berbagai bidang kehidupan masyarakat yang selama ini dipunggunginya. Jalanan dipenuhi slogan-slogan pemenangan dan beraneka warna. Mereka semua ingin jadi raja.
Dahulu, kalau kepingin jadi raja, orang harus bertaruh nyawa. Mereka musti berperang melawan musuh dan juga sodaranya sendiri. Tidak ada pemimpin yang cengeng. Karena keberaniannyalah, raja-raja itu disebut-sebut penjelmaan Dewa. Beberapa reinkarnasi dewa bisa kita daftar dalam teks Adi Parwa. Penyebutan reinkarnasi Dewa, bukan oleh dirinya sendiri, tapi oleh para kawi wiku. Seorang kawi wiku, idealnya adalah manusia merdeka yang membebaskan diri dengan menulis karya sastra. Tentu bukan kawi-kawian penjilat debu kaki, apalagi debu kaki raja yang hanya ngaku-ngaku. Pujian-pujian sekaliber itu, disampaikan lewat tradisi penulisan kakawin yang indah bukan kepalang. Jadi kualitas kesastraannya tidak diragukan lagi. Istilahnya, ucapan yang tepat oleh orang yang tepat. Kakawin diikat oleh aturan-aturan persajakan, serupa meski tidak sama seperti pantun. Aturan persajakan dibuat, agar kakawin dan pantun tidak ngawur.
Otak yang kita punya memang untuk berpikir. Di dalamnya amerta sebagai vitalitas hidup berada. Vitalitas hidup itu, sekarang kita gunakan untuk apa? Dalam cerita Adi Parwa, amerta didapat dari pemutaran Gunung Mandara oleh koalisi para Dewa dan Raksasa. Koalisi tangguh ini berhasil mengeluarkan amerta dari dalam lautan susu. Setelah amerta keluar, koalisi tadi hancur karena ketamakan. Saya hampir yakin kalau koalisi yang dibangun pejuang-pejuang kemerdekaan akan hancur hanya karena musuh mereka bersama sudah lenyap. Kasus sejenis ini bisa kita temui dengan sangat mudah. Yang membuat sebuah koalisi hancur adalah hal-hal yang dahulunya sama-sama mereka perjuangkan. Jika sebuah koalisi dibangun untuk memperebutkan kedudukan, maka kedudukan itu pula yang akan membuat koalisi cilaka. Sudah seperti hukum alam.
Oleh karena itu, membangun koalisi memang tidak mudah, lebih susah lagi menjaga koalisi agar tidak hancur berkeping-keping. Meski kehancuran sekaligus kematian selalu menghantui kehidupan, manusia yang punya visi tidak akan terombang-ambing. Seperti gunung di tengah lautan. Seberapa kuat pun ombak menggoyang kaki gunung, ia tidak goyah karena akarnya jauh lebih kuat dari pada goyangan ombak. Justru gunung yang kokoh itu, lebih sering dihancurkan oleh api yang berasal dari dalam dirinya. Jadi memperkuat akar adalah jalan memperkokoh koalisi. Kita pasti sudah sama-sama tahu, apa akar koalisi yang dibangun oleh kita punya moyang.
Selain akar, kita juga harus punya kepala. Tidak ada tubuh yang bisa bertahan tanpa kepala, begitu juga sebaliknya. Kecuali dalam cerita Kala Rahu yang kepalanya abadi karena sudah menelan amerta sebatas leher meski sudah terlepas dari badan. Kepala abadi Rahu itu mengejar-ngejar Dewi Bulan dan ingin mencaploknya. Tetapi Dewi Bulan selalu berhasil lolos karena setelah melewati leher, tidak ada badan yang akan mengolah Dewi Bulan menjadi kotoran kala Rahu. Cerita ini melegitimasi gerhana bulan.
Bulan dalam teks-teks yang agak beraroma mistik, selalu disandingkan maknanya dengan Bindu sebagai tempat amerta. Bindu itulah yang dalam beberapa ajaran konon ditusuk dengan lembut tapi bertenaga. Penusukan Bindu ini disebut pasuduk swari. Pengejaran Dewi Bulan oleh Kala, bisa kita tafsir sebagai pencarian amerta oleh waktu. Segala yang hidup pastilah terkena hukum waktu. Manusia salah satunya. Artinya, kitalah yang mengejar amerta kemana-mana, sayangnya setelah amerta didapat, ia lepas lagi begitu saja karena kita tidak paham cara yang benar. Salah satu syaratnya menurut cerita Kala tadi adalah memelihara dan punya tubuh. Tubuh dipelihara agar amerta tidak sekadar melewati leher lalu lenyap.
Kepala adalah pemimpin pengejaran amerta. Begitu amerta didapat, yang menikmati tidak hanya kepala tapi juga seluruh tubuh. Pemimpin adalah kepala, rakyat adalah tubuh. Tubuh dan kepala harus saling menjaga. Jika kepala tidak hirau pada tubuh, siap-siap kena banyak penyakit dan mati. Jika tubuh tak peduli pada kepala, siap-siap jadi setan. Kepala memang tempat otak untuk berpikir. So, kepalamu mana dan untuk apa? [T]