— Catatan Harian Sugi Lanus, Anggar Kasih Julungwangi, 1 September 2020
Saya menulis ini untuk sekedar pembuka ingatan kembali, bahwa generasi kakek atau buyut sebelum kemerdekaan menjadi Hindu di Jawa, Lombok, dan Bali, mereka berkitab apa? Masyarakat Majapahit, Kediri, Medang Kemulan memeluk Hindu berpedoman kitab apa?
Tulisan singkat ini saya tulis untuk adik-adik saya yang sedang belajar lontar dan juga gandrung menekuni buku-buku terjemahan dari India.
Saya urut dengan nomor agar mudah dibaca dan dibagi WA.
Saya tidak sajikan pokok-pokok di bawah dengan pola penulisan ilmiah, sekalipun sebagian dari isi pokok-pokok ini pernah saya publikasi dan telah diterbitan Oxford University Press.
1. Ketika Indonesia merdeka agama Hindu tidak langsung mendapat pengesahan sebagai agama yang diakui oleh negara. Islam, Protestan dan Katolik, langsung diakui. Hindu dan Buddha harus menempuh jalan berliku untuk mendapat pengakuan negara.
2. Masyarakat Hindu Bali memperjuangkan pengakuan agama Hindu di awal kemerdekaan RI, para tetua Bali harus menjelaskan dan memberikan gambaran pada pemerintah pusat bahwa keagamaan Hindu di Bali didasari oleh berbagai tradisi kuno yang pedomannya tersurat dalam berbagai lontar yang diwarisi di Bali dari jaman kerajaan Gelgel, Majapahit, Singosari, Kediri dan sebagian kecil disebutkan dari periode Medang Kemulan.
3. Salah satu tokoh besar Hindu Bali ketika itu adalah IGB Sugriwa, pakar lontar, yang menjadi duta dan wakil umat Hindu Bali menjelaskan keagamaan Hindu di Bali ke Presiden Soekarno dkk. Sebagai pakar lontar, kutipan dan penjelasan buku-buku yang disusunnya, baik untuk kepentingan pengakuan Hindu di pemerintahan pusat, atau dalam menyusun pedoman pengajaran di Sekolah Guru Agama Hindu, kutipan yang diambilnya adalah sepenuhnya dari lontar-lontar yang dijadikan rujukan dalam kehidupan beragama di Bali. Lontar-lontar tersebut berbahasa Jawa Kuno dan Sansekerta. IGB Sugriwa sekarang namanya diabadikan menjadi Universitas Hindu Negeri IGB Sugriwa Denpasar, sebelumnya IHDN Negeri Denpasar.
4. Selain IGB Sugriwa ada banyak pakar lontar atau para pendeta murni berkitab lontar-lontar dalam menjalankan agama di Bali dan Lombok. Saya sebutkan para tokoh Hindu sebelum kemerderkaan dan awal kemerdekaan yang sangat berpengaruh terhadap perumusan Hindu setelah memasuki kemerdekaan: 1. Ida Padanda Made Aseman, Sanur. 2. Ida Putu Maron, Denpasar. 3. Ida Padanda Made Kamenuh, Ketua Pusat Paruman Para Pandita Singaradja. 4. Ida Padanda Gede Ngenjung Singaradja. 5. Tuan Wajan Bhadra, Ketua Gedong Kirtya Singaradja. 6. Ida Bagus Ktut Djelantik Banjar. 7. Ida Anak Agung Anglurah Ktut Karangasem. 8. Ida Padanda Made Badjra Tabanan. 9. Ida Padanda Gde Manuabe Djambarana. 10. Ida Padanda Gde Made Sewali Wesnawa Mataram Lombok. 11. Ida Padanda Ktut Buruan, Pagesangan Lombok. 12. I Gusti Agung Djalantik Blambangan Cakranagara Lombok. Masih banyak lagi para tetua Hindu di Bali dan Lombok yang memakai lontar-lontar sebagai sesuluh beragama.
5. Dalam proses penyusunan buku ajar sekolah dan pedoman pembinaan umat, sebelum kemerdekaan dan pada awal kemerdekaan lontar-lontar sepenuhnya menjadi rujukan para pendeta dan pemuka agama. Ketika itu belum ada satupun kitab Weda terjemahan beredar. Belum ada Bhagawad Gita terjemahan dipublikasi. Terjemahan Weda versi India baru beredar di Indonesia setelah ada dibentuk Bimas Hindu Buddha baru dianggarkan dana penerjemahan kitab-kitab Weda. Saya membaca arsip proyek terjemah tersebut pada periode awal terbentuknya Bimas Hindu Buddha dengan anggaran Rp 600.000,- dari pemerintahan pusat untuk pengerjaan terjemahan tersebut. Arsip ini ada dulu ada IHD (sekarang perpustakaan Universitas Hindu Indonesia), Denpasar. Dikerjakanlah proyek terjemahan Catur Weda dan Manawa Dharma Sastra oleh team penerjemah, yang dikerjakan oleh tokoh umat yaitu oleh Gde Pudja, Tjokorda Rai Sudharta, IB Puniatmadja, dkk. Saya bersyukur bernasib baik berkesempatan dibimbing skripsi oleh Tjokorda Rai Sudharta sebelum beliau pensiun, sehingga bisa belajar banyak bagaimana kemuliaan hati dan pemikiran beliau. Belajar Sansekerta dengan buku panduan beliau. Juga membaca hampir semua tulisan dan terjemahan lontar Sanskerta yang beliau jadikan disertasi dan berbagai lontar-lontar Jawa Kuno dan Sanskerta yang diterselamatkan di Bali. Prof. Tjokorda Rai Sudharta adalah pakar Sanskerta yang dikenal di India di antara para pakar di jamannya, beliau menyelesaikan S1 dan S2 di India jurusan Sanskrit di Banares Hindu University, kampus kelas wahid untuk belajar Sansekerta di India, dan beliau harus kembali ke Indonesia menjadi dosen dan menulis disertasi di UI kajian lontar-lontar Jawa Kuno yang menjadi pedoman belajar Sansekerta.
6. Sebelum terbit terjemahan kitab-kitab yang terjemahannya dikerjakan oleh team bentukan Parisada, lontar-lontar mendominasi pengajaran dan pedoman pembinaan umat yang dilaksanakan oleh Parisada Hindu generasi awal. Saya memiliki berbagai arsip yang menjadi bukti. Ini menjadi bukti bahwa awal kemerdekaan rumusan Hindu Indonesia kental berwarna Nusantara, bersumber dari kitab lontar Kawi (atau Jawa Kuno) yang di jamannya bahasa Kawi tidak hanya dipakai di Jawa, tapi di Nusantara, seperti Bali, Sunda, beberapa bagian wilayah Sumantera, Sumbawa, dan Lombok, dll mendapat pengaruh “bahasa Kawi sebagai bahasa pemersatu dalam bahasa filsafat dan sastra di Nusantara” di masa itu.
7. Mereka yang duduk di jajaran pengurus Parisada ketika itu, di awal pembentukan Parisada, adalah para pakar lontar-lontar atau pakar ahli Jawa Kuno dan Sansekerta, ditambah para sarjana terbaik yang baru tamat dari India seperti Ida Bagus Mantra, Gde Pudja, Tjokorda Rai Sudharta, IB Puniatmadja. Sekalipun mereka tamatan sekolah Sanskerta di India, mereka adalah pakar Jawa Kuno dan lontar-lontar yang isinya mantra dan pengajaran Sansekerta berdasarkan pedoman Jawa Kuno. Jadi bisa dibayangkan suasana organisasi Parisada di masa itu yang hampir semuanya pakar lontar dan memang pakar Jawa Kuno serta Sansekerta. Rujukan mereka langsung baca lontar dan dalam berbagai rapat mereka membawa lontar-lontar, terutama ketika menyusun buku atau pedoman penyuluhan, salah satunya adalah UPADEŚA, satu buku terbitan Parisada yang paling berpengaruh dalam sejarah Hindu di Indonesia, yang disusun atas prakarsa para sulinggih dan yang rapat dan menginap beberapa malam di rumah Prof Mantra dkk, hasil rembug itu ditulis oleh Tjokorda Rai Sudharta.
8. Pedoman puja dan stawa para pendeta di Bali sampai kini semuanya berdasarkan mantra-mantra yang tersurat dalam lontar-lontar jenis Puja dan Stawa. Lontar-lontar ini warisan dari Jawa Kuno, jadi ini warisan kejayaan Hindu Nusantara di masa Medang Kemulan, Kediri, Majapahit dan Gelgel. Dari pendeta pura (Pemangku Pura) sampai Mpu, Rsi, Dukuh, dan Pedanda, pedomannya adalah mantra-mantra dari berbagai lontar-lontar puja-stawa yang diwarisi di Bali dari berabad-abad. Dengan pedoman lontar-lontar warisan tersebutlah berlangsung pewarisan ajaran dan juga tradisi ritual Hindu di Bali, yang tidak terputus dari sejarah pewarisan Hindu dari periode Medang Kemulan yang terkait dengan keberadaan masyarakat Bali Kuno, Kediri yang sangat berkaitan dengan dinasti Udayana dstnya, Singosari yang berkaitan dengan Dinasti Jaya di Bali, dan Gelgel yang mewarisi berbagai pustaka lontar suci dari keruntuhan Majapahit. Kelanjutan tradisi tersebut yang lontar-lontarnya tersimpan dan dijadikan pedoman para pendeta dan masyarakat Bali selama berabad-abad dan sampai kemerdekaan. Baru setelah terbentuknya Bimas Hindu-Buddha dan Parisada dilaksanakan penerjemahan kitab-kitab Weda dan Purana yang beredar di kalangan pendeta Hindu dan para sarjana di India.
9. Dengan lontar-lontar yang berisi berbagai mantra, kitab agama lainnya, dan berbagai aturan kalender ritual tersebut Hindu Bali berjalan berabad-abad. Dengan pedoman itu pula menyusun argumentasi dan lembar-lembar pembelaan ke Jakarta untuk diakui sebagai agama resmi. Perlu digarisbawahi di sini, ketika ingin membicarakan lontar-lontar Hindu yang terselamatkan di Bali ini, alangkah baiknya terlebih dahulu membaca setidaknya risalah semua khazanah naskah di Lombok, Bali dan Jawa, serta Sunda, yang masih selamat. Jangan salah tidak semua lontar berisi ajaran Agama atau puja. Ada juga berbagai hal. Lontar-lontar yang saya maksud sebagai lontar Hindu dan Buddha adalah yang berisi ajaran etika, fisafat Hindu-Buddha, kependetaan Hindu-Buddha, pedoman puja, diksa, banten, wariga, dstnya.
10. Di mana bisa dipelajari tidak kurang dari 3000 judul lontar yang terkait dengan Hindu-Buddha dari periode kejayaan Hindu Nusantara? Lontar-lontar warisan dari kejayaan Hindu Buddha yang berpusat di Jawa dari periode 750 tahun sebelum Majapahit berdiri, sampai runtuhnya Gelgel, atau kurang lebih setelah 500 tahun Majapahit runtuh dapat dan masih bisa diakses di perpustakaan lontar Gedong Kirtya. Gedong Kirtya bisa menjadi titik belajar bagaimana dan apa alasannya bisa dikatakan bawah lontar-lontar adalah pedoman Hindu di Nusantara yang berpusatnya tersebar di Sunda-Jawa-Bali-Lombok-Sumbawa. Isinya lontar-lontar yang koleksi oleh Kirtya sebagai berikut:
▪ (I) WEDA (a). Weda -Weda yang ada di Bali memakai bahasa Sansekerta, Jawa Kuno dan Bali; (b) Mantra, menurut perkembangannya berasal dari Jawa dan Bali; (c) Kalpasastra (Ritnalia) berisi tentang manfaat tentang upacara-upacara keagamaan.
▪ (II) AGAMA (a) Palakerta, berisikan tentang peraturan seperti: Dharmasastra, Kertasima dan Awig-awig; (b) Sesana, buku petunjuk tentang kesecian Moral; (c) Niti, berisikan tentang Hukum maupun perundang-undangan yang dipergunakan pada jaman Kerajaan).
▪ (III) WARIGA (a) Wariga, (Astrologiesche Warken), pengetahuan tentang Astronomi dan Astrologi, Tutur, (Onderricht) berasal dari Upadesa pengetahuan tentang Kosmos erat hubungannya dengan keagamaan; (b) Kanda, (Handboeken) tentang ilmu bahasa, bangunan, Mitologi, dan ilmu pengetahuan khusus; (c) Usada, Rontal pengobatan tradisional).
▪ (IV) ITIHASA (a) Parwa, disusun dalam bentuk Prosa; (b) Kekawin; (c) Kidung, kesusastraan yang disusun dengan Tembang Tengahan (Sekar Madya) dengan bahasa Jawa Kuno Tengahan; (d) Geguritan, kesusastraan yang disusun dengan Tembang Macapat seperti Sinom, Pangkur, dan sebagainya, mempergunakan bahasa Bali).
▪ (V) BABAD (a) Pamancangah, menceritakan asal-usul kekeluargaan dan silsilah (Geslachtslijsten); (b) Riwayat yang mengandung unsur sejarah seperti: Panji Wijaya-krama, Rangga-Lawe (mula berdirinya kerajaan Majapahit). Riwayat runtuhnya kerajaan-kerajaan yang diubah dalam bentuk tembang seperti: Rusak Buleleng, Rereg Gianyar, Uwug Badung).
▪ (VI) TANTRI (a) Ceritra-ceritra dengan induknya berasal dari Kesusastraan Indian Kuno (berbahasa Sansekerta); (b) tantri Kamandaka; (c) Ceritra-ceritra/ Satwa Pagantihan Bali (Folklore) dengan pengaruh Kesusastraan Tantri ataupun asli Bali (Indonesia, Surat pengeling-eling, catatan-catatan perseorangan maupun raja-raja.
▪ (VII) LELAMPAHAN adalah lakon-lakon yang dipergunakan dalam pertunjukan Gambuh, Wayang, Arja dan lain sebagainya.
Kelompok I sampai IV yang berisi dan menjadi pedoman masyarakat Bali dalam menganut Hindu. Sumbernya dari masa silam relasi Bali dan Jawa, juga perjalanan dan ajaran para Rsi atau tokoh suci dari India Kuno yang mengajar atau membabarkan ajaran Siwa dan Sogata (Buddha Mahayana-Mantrayana-Mantranaya-Vajrayana) yang sampai di Nusantara.
11. Hindu Bali berkitab lontar-lontar bukan berarti tidak mencerminkan universalitas Hindu yang berkembang di Bali. Hindu di Bali berkembang dari berabad-abad silam dengan relasi dengan Bharatawarsa (kini disebut India) dan awal masehi. Relasi itu terbukti dengan berbagai temuan tembikar dan aksara kuno Kharosthi di Julah-Sembiran di pesisir Buleleng. Demikian juga prasasti Bali Kuno menyebutkan bahwa ada pendeta Juru Keling yang disebutkan sebagai keluarga pendeta Bali kuno yang telah bermukim di Bali tercatat dalam prasasti abad 8—12 jelas menunjukkan interaksinya dengan masyarakat Bali Kuno. Masyarakat Bali kuno dipimpin oleh raja yang berpedoman pada Dharmasastra dalam menyelenggarakan pemerintahan. Demikian juga didampingi oleh pendeta kerajaan Siwa dan Buddha, juga Rsi Mahabrahmana. Untuk hal ini bisa dipelajari ratusan lembar prasasti raja-raja Bali Kuno yang regulasi dan tatanan pemerintahannya tersurat di atas tembaga, sampai kini masih selamat.
12. Ribuan mantra-mantra kependetaan Hindu yang berbahasa Sanskerta bercampur Jawa Kuno, ratusan murni dengan bahasa Sanskerta, yang dipakai dan diwarsikan dalam kependetaan Rsi, Sogata dan Siwa, menjadi bukti tak terbantah bahwa relasi kuno Bali-Jawa-Bharatawarsa (India) sangat penuh talitemali relasi suci kepanditaan yang mendalam.
13. Berbagai tatwa dan berbagai pedoman meditasi menunjukkan mendalamnya isi lontar-lontar di Bali bermuatan ajaran universal Hindu. Penegakan dharma dan yadnya sebagai puncak kunci dari pedoman dan pelaksanaan ajaran suci Hindu. Lontar-lontar tatwa di Bali telah dikaji oleh pakar-pakar Hindu India menjadi kajian dalam disertasi doktoral mereka, seperti Raghu Vira, Sudharsana Devi, Lokesh Chandra, Sharada Rani, dll.
14. Kitab-kitab Parwa dan Kanda, seperti Bharatayuddha atau Mahabharata, Ramayana dan berbagai Purana, murni peninggalan sastra Hindu Kuno yang tertinggal terwariskan dalam lontar-lontar di Bali — Profesor Mantra, dimasa kuliah S3 di Santiniketan menulis disertasi tentang relasi sastra Hindu di Indonesia dengan India. Ini perlu diterjemahkan agar masyarakat lebih paham relasi atau hubungan masa lalu Nusantara Kuno dengan India Kuno. Saya mendapat berbagai sumber lain yang memberi titik terang bahwa di masa lalu bukan hanya orang India datang ke Nusantara dan diajari Dharma, tapi orang Nusantara sudah ke Bharata Warsa untuk belajar Sansekerta dll. Ini bisa ditelusuri dengan membaca prasasti Samara Vira yang diperkirakan sama dengan Samara Tungga yang memerintah di Jawa, yang disebutkan ikut berkontribusi dalam membangun bangunan untuk pasraman di Bhatara Warsa (sekarang disebut India) diperkirakan ada pemondokan orang Nusantara yang belajar di Nalanda dan pusat pendidikan di sana. Pelajarnya juga dari China dll.
15. Bali selama berabad-abad terbukti seperti terisolasi di pulau yang tidak lagi terkait dengan India sampai akhirnya terkait lagi dengan India akibat relasinya tersambung lewat Pemerintah Kolonial yang mendatangkan atau mengundang para ahli India, seperti rombongan Rabindranath Tagore dkk yang mengajak ahli Sanskerta. Sebelum tersambung kembali dengan India di masa modern, Bali secara independen mengelola dan menjalani kehidupan kehinduannya dengan berdasar kitab lontar-lontar suci yang diwarisi dari para leluhur Bali.
16. Penelitian ahli Weda dan pakar Sansekerta dunia terbaik di zamannya bernama Sylvain Levi datang ke Bali atas dorongan Rabindranath Tagore, risetnya berupa buku kajian mantra-mantra Sansekerta di Bali terbit tahun 1933 dan mengundang minat besar para pakar India untuk memperlajari kitab-kitab lontar di Bali. Lalu datang Pandit Shastri, disusul gurunya Prof Raghu Vira — yang bersahabat baik Soekarno — ke Bali mengumpulkan lontar-lontar Bali berbahasa Sanskerta dan dijadikan kajian oleh Prof Lokesh Chandra, Sudarshana Devi, Sharada Rani, dan mahaguru sekaligus orang tua mereka Prof Raghu Vira, dkk. Lontar-lontar penting berbahasa Sansekerta itu antara lain: Ślokāntara, Sāra-samuccaya, Saṅ Hyaṅ Mahājñāna, Saṅ Hyaṅ Tattvajñāna, Gaṇapatitattva dll. Lontar ini telah diterjemahkan dengan sangat detail dalam disertasi dan buku, dalam bahasa Inggeris oleh para pemikir India.
17. Apa yang didapatkan oleh para pakar India ketika melakukan kajian terhadap lontar-lontar Sansekerta yang selamat dan terwariskan dalam tradisi sastra para cendikia di Bali dari periode Jawa Kuno? Mereka melihat vitalitas Sanata Dharma dan universalitas isi-isi lontar yang berisi ajaran dharma yang sangat utuh dan bernilai tinggi sebagai khazanah sastra Hindu yang terselamatkan dan dijadikan pedoman beragama Hindu di luar India.
18. Kelompok pandit (pandita) Hindu India telah mengkaji hasil survey Sylvain Levi dan menemukan berbagai persamaan mantra dalam lontar-lontar di Bali dengan lontar kependetaan Hindu India yang bersumber dari Weda. Hal itu dilakukan di tahun 1930-1933. Sampai kini kajian ini menjadi catatan penting bagi peneliti Weda di India bagaimana persebaran mantra sampai ke Nusantara.
19. Setelah tahun 1933 terbit kajian Sylvain Levi tentang temuan kitab Sansekerta di Bali, kembali kelompok pandit di India ikut terlibat secara tidak langsung menjadi tempat bertanya ketika Teun Goudriaan dikirimi ratusan mantra-mantra stuti-stawa Sansekerta dari Bali yang dikumpulkan oleh C. Hooykaas yang dibantu oleh I Gusti Ktut Sangka dari ratusan lontar pendeta di Bali. Terjemahan mantra-mantra Hindu Bali oleh Teun Goudriaan yang juga berkonsultasi dengan para pendeta India diterbitkan tahun 1971. Berjudul: Stuti and Stava (Bauddha, Śaiva and Vaiśnava) of Balinese Brahman priests. Karya terjemahan ratusan mantra-mantra dari ratusan lontar Bali berbahasa Sansekerta ini sekali lagi menunjukkan bagaimana Weda terwariskan dalam tradisi puja dan kependetaan di Bali dari periode sangat kuno. Bahkan ada mantra Tumburu yang langka itu ditemukan di Bali, menjadi catatan tersendiri bagi Goudriaan bagaimana kekunoan dari Hindu di Nusantara.
20. Kajian bandingan mantra-mantra di Bali yang dikerjakan oleh Sylvain Levi dan Teun Goudriaan dan C. Hooykaas, bersama para pendeta di India, yang juga alihaksara di Bali melibatkan banyak pedanda yang menjadi sumber I Gusti Ktut Sangka, sangat mencengangkan bagi para cendikiawan India dan pakar Sansekerta dunia. Studi ini, terjemahan dan perbandingan stuti dan stawa tersebut, membuka tabir bagaimana masa lalu persebaran Weda dan pewarisannya sampai ke Bali. Para pandit dan pakar Sansekerta di dunia sampai saat ini menjadikan karya kesarjanaan Sylvain Levi, Teun Goudriaan dan C. Hooykaas ini sebagai “buku wajib” dalam membahas Hindu di Indonesia dari masa kuno ke masa modern. Sayangnya, berbagai obrolan-seminar-diskusi-paruman-kongres dll di Bali atau di kelompok Hindu di Indonesia, abai pada mahakarya perbandingan stuti dan stawa yang menjadi puncak-puncak ajaran Hindu di Indonesia.
21. Catatan kecil ini tidak diingin dibuat panjang atau diperpanjang: Untuk melihat “formula atau format Hindu” di masa sebelum dan ketika Parisada Hindu Dharma di Indonesia dibentuk, bagaimana lontar-lontar menjadi pedoman terdepat dalam mempengakuan dan pengesahan Hindu di Indonesia sebagai agam resmi, sebagai penutup, saya merekomendasi adik-adik membaca buku-buku jejak sejarah Hindu di Bali dan Indonesia, menjadi renungan mendalam dalam beragama dan berdiskusi tentang Hindu di Bali dan Indonesia, buku-buku yang saya maksud diantaranya:
▪ Parisada Dharma Hindu Bali (PDHB). 1960. Dharma Prawrtti Sastra. Denpasar: Parisada Dharma Hindu Bali.
▪ Dharma Hindu Bali. Parisada Dharma Hindu Bali (PDHB). 1963. Weda Sanggraha. Denpasar: Parisada Dharma
▪ Hindu Bali. Parisada Dharma Hindu Bali (PDHB). 1967. Upadeśa: Pewesik Rsi Dharmakerti Kepada Sisya Suyasa Tentang Agama Hindu. Denpasar: Parisada Dharma Hindu Bali. Parisada Hindu Dharma (PHD). 1970a.
▪ Piodalan Ekadasa Warsa Parisada Hindu Dharma, 1959- 1970: om dirghayur astu H. U. T. ke-XI, Denpasar. Denpasar: Parisada Hindu Dharma Pusat. Parisada Hindu Dharma (PHD). 1970b.
▪ Pokok2 Sedjarah Parisada Hindu Dharma. Denpasar: Bag. Penjalur-Penerbitan P.H.D. Pusat. Parisada Hindu Dharma (PHD). 1970c.
▪ Saraswati, Batjaan Pendidikan Agama Hindu untuk Sekolah Dasar Klas IV. Denpasar: Parisada Hindu Dharma Pusat.
▪ Pudja, G., 1991. Wedaparikrama. Jakarta: Lembaga Penyelenggara Penterjemah Penterjemah Kitab Sudi Weda.
▪ Rawi, I. K. B. G., 1958. Pustaka Agama Hindu Bali. Denpasar: Pustaka Balimas.
▪ Sudharta, T. R., Oka Punia Atmaja, I. B., 2001. Upadeśa, Tentang Ajaran-ajaran Agama Hindu. Denpasar: Departemen Hindu dan Budha Departemen Agama RI.
▪ Sudharta, T. R. et al. 2003. Pedoman Sembahyang. Denpasar: Pemerintah Daerah Tk I Bali.
▪ Sugriwa, I. G. B., 1953. ‘Hari Raya Nyepi.’ Majalah Indonesia 4. April 1953.
▪ Sugriwa, I. G. B., 1954. ‘Tjeramah Agama Terhadap Rombongan Mahasiswa Pada Tanggal 19 Oktober 1953 Di Balai Masjarakat Denpasar.’ Bahasa dan Budaja 6. Agustus 1954.
▪ Sugriwa, I. G. B., 195?. Tri Sandhya, Tjara melakukan persembahyangan tiga kali sehari, jaitu: Pagi sore dan malam. Denpasar: Toko Buku Balimas.
▪ Sugriwa, I. G. B., 1956. Tri Sandhya, Tjara melakukan persembahyangan tiga kali sehari, jaitu: Pagi sore dan malam. Denpasar: Toko Buku Balimas.
▪ Sugriwa, I. G. B., 1960a. Buku Peladjaran Agama Hindu Bali I. Denpasar: Pustaka Bali Mas.
▪ Sugriwa, I. G. B., 1960b. Buku Peladjaran Agama Hindu Bali II. Denpasar: Pustaka Bali Mas.
▪ Sugriwa, I. G. B., 1960c. Buku Peladjaran Agama Hindu Bali III. Denpasar: Pustaka Bali Mas.
▪ Sugriwa, I. G. B., 2008. Hari raya Nyepi, Çiwa-Buddha Bhinneka Tunggal Ika: karya tercecer.
▪ Pandit Shastri, N. D., 1951. Dasa Sila Agama Bali. Denpasar: Bhuvana Saraswati Publications.
▪ Pandit Shastri, N. D., 1953. Weda Parikrama. (With the collaboration of I. G. M. Tamba). Denpasar: Bhuvana Saraswati Publications.
▪ Pandit Shastri, N. D., 1955a. Inti Sari Agama Hindu. (With the collaboration of I. G. M. Tamba). Denpasar: Balimas.
▪ Pandit Shastri, N. D., 1955b. Sedjarah Agama Hindu. (With the collaboration of I. G. M. Tamba). Denpasar: Balimas.
▪ Pandit Shastri, N. D., 1955c. Dharmopadeça (Pengadjaran Çiwa-Buddha): djilid ke-1. Denpasar: Bhuvana Saraswati Publications.
▪ Pandit Shastri, N. D., 195?. Tri Sandhya. Denpasar: Bhuvana Saraswati Publications.