Hingga bulan kedelapan pandemi Covid-19, 24 juta warga dunia telah terinfeksi dan 800 ribu nyawa di antaranya telah menjadi korban virus yang menyebar sangat cepat ini. Data di Indonesia, jumlah pasien mencapai 157 ribu lebih dengan kasus kematian mendekati angka 7 ribu jiwa. Melihat jumlah penderita yang sudah sangat banyak dan kasus penularan masih tetap masif, bukan tak mungkin skala pandemi Covid-19 ini akan dapat menyamai wabah tersohor Flu Spanyol yang telah menulari tak kurang dari 50 juta penduduk bumi.
Kengerian wabah Flu Spanyol itu hanya dikalahkan oleh keganasan wabah pes yang telah menginfeksi 200 juta manusia di dunia. Yang fenomenal dari pandemi ini, bukan hanya kecepatan penyebaran dan banyaknya korban yang direnggutkan. Namun lebih dari itu, wabah ini sedemikian kontroversial yang mengundang perdebatan tajam tiada berujung dalam masyarakat dan tentu saja wabah ini betul-betul membingungkan semua pihak. Penulis ingin memberi pandangan ilmiah medis atas berbagai pertanyaan, cibiran bahkan sinisme yang muncul dalam diskursus di masyarakat terkait Covid-19, terutama yang banyak muncul di media sosial.
- Apakah pandemi ini sebuah konspirasi?
Cukup banyak kalangan yang masih yakin atau setidaknya penasaran akan kemungkinan pandemi ini adalah sebuah konspirasi, meski mereka belum dapat menunjukkan data yang akurat dan meyakinkan. Dalam hal dugaan konspirasi ini ada baiknya kita pilah drama kehidupan ini menjadi dua bagian, yaitu asal mula pandemi dan fakta sehari-hari wabah saat ini. Jika kita simak baik-baik, jumlah kasus yang telah mencapai 24 juta orang dengan jumlah kematian yang juga tak sedikit, lalu upaya intensif peneliti di seluruh dunia memetakan genom virus ini hingga merancang vaksin yang sudah diuji coba saat ini, maka, bagaimana mungkin kita menuduh ini sebuah konspirasi? Apalagi jika atas dasar tuduhan tersebut, lalu melakukan gerakan melawan protokol kesehatan covid-19, maka ini jelas sebuah kekeliruan.
Realitas yang terjadi menunjukkan negeri adi daya seperti USA sekalipun tak lolos dari deraan wabah ini. Bahkan Amerika Serikat saat ini adalah negara dengan jumlah kasus terbesar yaitu sekitar 6 juta penderita. Namun jika kita berdebat pada gagasan, bagaiman asal mula kejadian lepasnya mutasi virus Corona baru ini (SARS-Cov-2) hingga menginvasi seluruh bumi, bolehlah kita punya banyak sangka. Sepanjang sangkaan tersebut dapat dibuktikan, maka wajiblah kita semua untuk meyakininya, termasuk dugaan wabah ini sebuah rekayasa oleh pihak-pihak tertentu. Jika betul ini sebuah konspirasi, lalu siapakah yang diuntungkan? Atau mungkinkah ini sebuah kebocoran dari proyek senjata biologis rahasia? Kita takkan dapat menjawabnya jika belum mengantongi bukti-bukti yang sahih dan kredibel. Jika memakasakan, sudah pasti kita telah menjadi bagian dari awan hitam penebar hoax!
- Mengapa SOP (standar operasional prosedur) Covid-19 berubah-ubah?
Sementara kalangan telah skeptis karena meyakini wabah ini adalah sebuah konspirasi, bahkan saat sesama anak bangsa telah berguguran, mereka semakin sinis saat WHO dan pemerintah terkesan kebingungan dan ragu-ragu menghadapi wabah ini. Faktanya, dibandingkan dengan strain terdahulu virus Corona seperti SARS dan MERS, Covid-19 memang telah mengejutkan dunia.
Angka kematian yang teoritis relatif kecil telah menghasilkan jumlah kematian absolut yang sangat banyak akibat kecepatan penularannya. Karena diyakini menular melaui droplet (partikel mikro yang keluar bersama pernafasan saat batuk/bersin) maka minimal jenis masker bedah (medis) yang efektif dalam pencegahan penularannya. Terjadilah saat itu, kepanikan yang membuat masyarakat kebanyakan ikut berebut masker bedah yang menyebabkan suplai untuk tenaga kesehatan (nakes) yang lebih rentan begitu menyusut, memaksa WHO untuk mengumumkan masyarakat non nakes tak perlu memakai masker. Cukup pembatasan jarak dan cuci tangan saja. Sedangkan masker hanya digunakan saat berkunjung ke rumah sakit (RS) atau jika merawat orang sakit.
Namun seiring makin meluasnya penyebaran wabah, WHO lalu menyarankan setiap orang untuk memakai masker kain dalam aktifitas sehari-hari di luar rumah. Meskipun ukuran virus jauh lebih kecil daripada pori-pori kain, namun masker kain tersebut setidaknya dapat mengurangi jumlah droplet yang mengotori udara. Teoritis, jumlah virus (viral load) jelas menentukan tingkat risiko penularan.
- Apakah ibu hamil yang akan melahirkan harus tes rapid?
Boleh dikatakan, inilah isu yang paling alot dan panas dalam perjalanan pandemi Covid-19 ini. Konflik dan perdebatan yang penuh emosional dan provokatif antara berbagai elemen masyarakat, setidaknya di Bali, telah menyeret satu di antara mereka ke meja hijau. Ini sebuah ironi yang sedemikian telanjang. Saat mana seharusnya semua elemen bangsa bersatu menghadapi wabah, yang ada justru sengketa. Dengan jumlah kasus yang terus bertambah dan jumlah nakes yang tertular semakin banyak, maka seluruh RS menerapkan tracing yang sangat ketat untuk kemungkinan infeksi Covid-19 yang tak bergejala. Apalagi jika pasien tersebut akan kontak erat dengan nakes seperti pasien rawat inap, pembedahan dan tentu saja persalinan. Menunggu hasil tes swab memerlukan waktu sampai 2-3 hari lamanya, maka ini tidak sesuai untuk kasus gawat darurat.
Maka selain sistem skoring, tes rapid menjadi alternatif untuk membuat dugaan. Dugaan ini tidaklah mempengaruhi sedikitpun tindakan medis yang akan diperlakukan terhadap pasien, namun itu akan sangat mempengaruhi level APD (Alat Pelindung Diri) yang akan digunakan nakes. Langsung menggunakan APD level 3 juga tidak efisien terkait cost-nya yang sangat tinggi. Di RS pemerintah, tentu tes rapid dapat dilayani gratis karena adanya subsidi, namun tentu hal itu tak bisa diterapkan di RS swasta. Tampaknya komunikasi dan kesabaran semua pihak tak cukup efektif dalam situasi tak ideal ini. Maka mudah saja dipahami kemudian kasus kematian ibu hamil atau kematian bayi baru lahir sering dikaitkan dengan prosedur tes ini. Walaupun belum tentu faktanya seperti itu dan jika semua pihak mau menerapkan komunikasi yang efektif, solusi sangat mudah untuk ditemukan.
- Jika pasien Covid-19 meninggal, apa penyebabnya? Covid-19 itu atau penyakit dasar yang telah dideritanya?
Ini pertanyaan yang cukup sering dan masih banyak yang belum paham. Apakah meninggal karena Covid-19-nya atau penyakit yang sudah dibawanya? Banyak yg minta jawaban “ya” atau “tidak”. Tentu soal ini tidak bisa dijawab dengan cara seperti itu. Ini persis seperti pertanyaan, kenapa saat naik sepeda motor kita harus memakai helm? Apakah jika tidak memakai helm kita bisa mati? Jawabannya adalah, seperti yang sudah kita semua pahami, helm dapat melindungi kepala kalau-kalau kita mengalami kecelakaan. Artinya helm dapat mengurangi risiko cedera otak. Bukan juga bisa dipastikan memberi jaminan perlindungan 100%.
Demikian pula, infeksi Covid-19 dapat memberi risiko kematian lebih cepat pada mereka yang menderita diabetes, asma atau jantung umpamanya. Katakanlah jika tanpa Covid-19 yang bersangkutan dapat hidup sampai 7-10 tahun ke depan, maka gara-gara Covid-19, sakitnya menjadi lebih parah dan berisiko meninggal dalam beberapa hari-minggu. Baik Covid-19, TBC, atau gula darah, semua tidak bisa membunuh secara langsung. Gula misalnya, mana bisa membunuh? Namun jika gula darah tinggi yang tak dikendalikan, itu akan dapat merusak (memberi komplikasi) pada otak/stroke, jantung/serangan jantung, ginjal/gagal ginjal atau kaki/infeksi berat yang mengancam. Yang kesemuanya akan dapat mencabut nyawa penderitanya. Cuma pukulan pentong di kepala atau cekikan di leher serta tembakan di jantunglah yang dapat membunuh secara langsung.
- Apakah jenasah penderita Covid-19 masih bisa menulari orang lain?
Beberapa hari lalu, koran Kompas memberitakan, di Batam, terjadi penjemputan paksa jenazah dengan infeksi Covid-19 dan akibatnya 12 orang mengalami penularan. Saat ini mereka dikarantina sembari menunggu proses hukum yang menjerat mereka lantaran melanggar protokol kesehatan Covid-19. Di Singaraja pun sempat terjadi hal serupa, pada kasus yang awalnya masih suspek. Dan saat pemeriksaan swab keluar ternyata hasilnya positif.
Droplet pada hidung dan mulut atau mungkin juga pada permukaan tubuh pasien yang telah meninggal akan mengandung virus yang masih hidup dan selalu mencari kesempatan menggerogoti inang baru. Ini sama saja dengan droplet yang menempel pada gagang pintu, telepon seluler atau meja yang kesemuanya merupakan benda mati, namun dalam interval waktu beberapa jam ke depan masih dapat menularkan kepada orang yang kontak dengan benda-benda tersebut. Itulah kenapa pemerintah susah payah menerapkan protokol khusus terahadap jenazah dengan Covid-19.
- Jika mau berobat ke RS saat ini, kok ribet banget ya?
Begitulah keluhan masyarakat saat ini dan saya sangat setuju. Mengisi form Covid-19, tes rapid, swab dan seterusnya. Seperti halnya masyarakat, nakes pun merasakan situasi yg persis sama. Melayani pasien saat ini terasa sangt ribet dan tak nyaman. Nakes harus memakai masker N-95, masker bedah, face shield, nurse cap, gaun & tekanan psikologis atas pertanyaan, “Sampai kapan kami bertahan dari risiko tertular?!” Dari jam 8 pagi sampai jam 3 sore APD itu harus dikenakan non stop.
Ini terjadi karena saat ini penularan transmisi lokal kian meningkat seiring era new normal dan pengidap sebagian besar (90%) adalah tanpa keluhan. Jika seseorang takkan kontak erat dengan nakes, dalam revisi 5 protokol menteri kesehatan dengan jelas disebutkan, masyarakat yang terduga bahkan yang sudah positif tanpa gejala atau gejala ringan, cukup karantina saja 10-14 hari, tanpa perlu swab ulang apalagi rapid. Jadi kembalikan saja peran kita masing-masing dengan sebaik-baiknya. Jadilah nakes yang bijak dan penuh perhatian, tak jemu-jemu memberi edukasi kepada pasien. Masyarakat pun sebaiknya mengikuti prosedur yang telah ditetapkan, karena sebagai kalangan non medis tentu tak memiliki wawasan untuk menganulir SOP yang sudah ditentukan dengan pertimbangan mendalam tersebut.
Pertanyaan-pertanyaan yang tak terjawab dengan baik dalam masyarakat dapat menjadi berbagai potensi konflik. Mulai dari skeptisisme, kecurigaan hingga ketidakpercayaan terhadap otoritas. Bahkan dapat menjadi perlawanan masa terhadap protokol yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Dalam era demokrasi dan keterbukaan informasi ini, konsep komunikasi yang luwes dan efektif bukan tidak mungkin merupakan modal yang sangat penting dalam melawan wabah Covid-19 yang saat ini masih merisaukan kita semua. [T]