Kemarahan merupakan suatu ekspresi emosi yang kompleks. Kemarahan bisa datang dari perasaan apapun yang terjadi dalam diri kita. Apakah itu perasaan frustasi, perasaan sedih, perasaan kecewa, perasaan kelelahan, iri hati, cemburu, merasa diabaikan dan apapun yang kita rasakan bisa jadi ekspresi emosi kita adalah marah. Marah kelihatannya adalah sesuatu yang mudah kita lakukan ketika ambang kesabaran kita menurun.
Hal itu bisa dipicu oleh keadaan-keadaan yang sulit, tidak rencana sebelumnya dan mengakibatkan perubahan-perubahan mendadak dalam pola kehidupan dan aktivitas kita. Salah satunya di masa pandemi dan masa resesi yang katanya akan hadir pada situasi kehidupan kita. Kemarahan yang tidak terkendali juga sangat mempengaruhi diri kita. Kemarahan di dalam proses otak kita menyebabkan gangguan pada bagian korteks prefrontal yang mengatur fungsi perencanaan.
Itulah kenapa ketika kita marah tak terkendali kita menjadi sulit membuat rencana, sulit menimbang dan berpikir atau menganalisis situasi apa yang harus kita lakukan. Pada saat kemarahan hadir juga memberikan kesulitan pada hippocampus, bagian otak yang mengatur fungsi memori. Ketika kita marah kita menjadi lupa apa yang kita lakukan saat kemarahan itu terjadi. Bahkan, melakukan hal-hal yang belakangan kita sesali, seperti melakukan kekerasan fisik pada orang-orang yang kita sayangi, ataupun berkata-kata kasar; memaki-maki di media sosial yang kemudian menimbulkan masalah dan kita sesali.
Sangat baik jika kita bisa mengendalikan kemarahan. Sebagian orang juga merasa bahwa kemarahan adalah bukan hal yang baik, sehingga tidak boleh sama sekali kita lakukan. Yang terjadi justru ketika kita memendam kemarahan, lalu suatu saat meledak ketika kita tidak bisa menahannya. Yang terbaik adalah belajar mengendalikannya.
Bagaimana caranya? Ketika marah kita tunda dulu kemudian kita pikirkan apa emosi primer kita sebenarnya: apakah rasa kecewa, apakah sedih, apakah frustasi, apakah lelah, apakah diabaikan dan sebagainya. Lalu ungkapkan dengan kalimat “I message” atau “Saya merasa”. Misalnya: “saya merasa frustasi”, “saya merasa saya sedih”, “saya merasa kecewa”, “saya merasa lelah” lalu sambungkan dengan hal-hal yang memicu hal tersebut misalnya “saya merasa cemas bahwa nanti tidak mendapatkan penghasilan apa-apa”, “saya sedih melihat anak-anak saya tidak bisa melanjutkan sekolahnya” dan sebagainya.
Itu akan sangat membantu kita mengekspresikan emosi secara sehat sehingga tidak terjadi ledakan emosi. Tetapi apabila hal itu telah dilakukan atau sulit dilakukan dan emosi kita masih meledak-ledak bahkan mengganggu kehidupan tentu saja kita membutuhkan bantuan profesional kesehatan jiwa.
Saya ingin menyoroti satu fenomena yang menarik ketika masa pandemi dan resesi ini banyak terdapat kekecewaan, kemarahan dan rasa frustasi. Seringkali kita mudah sekali terpicu di media sosial oleh orang-orang yang mempunyai kepribadian narsistik, dimana mereka ingin menunjukkan kemampuannya, pola pemikirannya dan keresahannya yang mungkin saja secara kebetulan keresahannya sama dengan diri kita.
Lalu kita merasa terwakili padahal informasi-informasi yang disajikan lebih banyak berupa ujaran kebencian, hoaks dan pengabaian atau memberikan informasi dan fakta yang belum jelas kebenarannya. Lalu, karena kita merasa kecewa dan merasa frustasi kita kemudian ikut terbawa dalam emosi tersebut. Dan, orang-orang yang berkepribadian narsistik ini justru melakukan apa yang disebut gasslighting, yakni menyalahkan orang-orang, karena memang rasa frustasi sangat membutuhkan kambing hitam. Mereka melakukan proyeksi bahwa semua hal ini terjadi oleh kesalahan seseorang, semata-mata untuk membuat diri mereka menjadi lebih baik. Padahal itu adalah sesuatu yang toxic.
Gasslighting justru membenci orang, meramu rasa marah kita lalu ditujukan pada sekelompok pihak atau satu orang. dan ketika kemudian menjadi masalah justru melakukan pembelaan-pembelaan yang menyakitkan hati, misalnya “Ah, itu kan cuma bercanda, jangan baperan”. Saat kita mengatakan atau mengejek pada seseorang “Anda adalah hal yang buruk” dan saat diprotes mengatakan bahwa itu hanyalah sebuah bentuk kekecewaan. Kita tidak bisa menyuruh orang lain untuk memaklumi kemarahan kita. Yang bisa kita lakukan adalah mengendalikan kemarahan kita.
Jadi, di pandemi yang katanya juga akan resesi ini pandai-pandailah mengelola kemarahan. Apabila kita sedang merasa marah, jauhkan dulu media sosial sehingga kita tidak melakukan hal-hal yang buruk yang kita sesali di kemudian hari. Mari kita semua berdoa dan berusaha agar kita semua mantap jiwa dan raga sampai semua kesulitan ini bisa kita lewati. Salam mantap jiwa.