Ubud sore hari lebih cerah dari biasanya. Sesaknya Catuspata Ubud oleh para wisatawan dan kendaraan bermotor tampak tak terlihat. Maklum, sudah tiga bulan semenjak Puri Ubud dan Pasar Seni ditutup akibat ancaman Virus Corona, geliat kepariwisataan di Ubud semakin menurun. Banyak hotel, restoran, butik, dan warung makan menghentikan aktivitas operasionalnnya. Kondisi ini berdampak pada kelangsungan hidup ratusan masyarakat Ubud yang menggantungkan hidupnya pada ”kue” pariwisata. Oleh karenanya, dalam beberapa bulan terakhir Desa Adat disibukkan pada upaya pendistribusian bantuan sosial kepada Krama Adat. Lengangnya ruas jalan protokol Ubud menarik minat banyak khalayak untuk melintasi sepinya jalan dengan berlari dan bersepeda santai, begitu juga dengan Saya.
Berangkat dari Ancak Saji Puri Agung Ubud, Saya bersama tiga saudara lainnya mengayuh sepeda menuju kearah timur melintasi beberapa batas Desa. Jalanan Ubud yang naik turun memaksa Saya harus mengatur ritme nafas agar tetap stabil. Mendekati batas Desa Peliatan, Kami berbelok kearah selatan melintasi Pura Dalem Puri. Melihat megahnya “Pemuwunan Setra” dan “Candi Bentar” Pura Dalem Puri,sempat terlintas dalam benak Saya “inilah tempat peristirahatan terakhir-Ku kelak, heheee”. Konon, dari beberapa informasi para Penglingsir, Saya mendengar keberadaan Pura Dalem Puri di Sukawati dan di Peliatan diidentikkan dengan bhisama yang diterima oleh seketurunan Ida Dewa Agung Jambe untuk senantiasa eling mendirikan Parhyangan Dalem Puri sebagai bentuk sradha bakti kehadapan Ida Bhatara Dalem Puri di Besakih. Khusus untuk Pura Dalem Puri di Peliatan, konon struktur lengkapnya dibangun pada saat pemerintahan I Dewa Agung Jelantik di Puri Peliatan dan Tjokorda Gde Putu di Puri Ubud. Walaupun informasi tersebut patut dicek keabsahan datanya, namun sampai saat ini hubungan emosional dan sembah bhakti Keluarga Puri Ubud dan Puri Peliatan kehadapan Ida Bhatara Dalem Puri masih berjalan dengan baik.
Sepeda melaju dengan sangat kencang dikarenakan, jalanan Peliatan keselatan sedikit menurun dan akhirnya Saya masuk pada batas Desa Mas. Jalanan terlihat lebih lebar, dengan kuantitas kendaraan yang jauh lebih sedikit daripada Peliatan. Seperti halnya Peliatan, jalanan di Desa Mas lebih landai dan menurun keselatan, sehingga dengan cepat Saya sampai di jantung Desa Mas yang dahulu oleh beberapa catatan sejarah dikenal dengan sebutan “Bumi Mas”. Di Pusat Desa, Saya menyempatkan menghadap ke timur melihat dari kejauhan Pura Taman Pule, Pura yang selalu ramai dipadati Umat setiap hari Raya Kuningan. Keberadaannya dihubungkan dengan Tokoh Tabik Pakulun Dang Hyang Nirartha, seorang pendeta suci yang juga penasehat Raja Bali Tabik Pakulun Dalem Waturenggong. Konon dahulu, di Pura Taman Pula itulah Pangeran Bandesa Manik Mas mendirikan pasraman untuk Ida Dang Hyang Nirartha. Maka tak heran, setiap pujawali Pura Taman Pule selalu padat dikunjungi oleh Umat Sedharma, utamanya para warih Ida Dang Hyang Nirartha dan Pangeran Bandesa Manik Mas seluruh Bali. Seratus meter kearah selatan dari Pura Taman Pule, terlihat Puri Agung Mas yang bersebelahan dengan Pasar Desa (sebuah tata desa yang masih bertahan antara Catuspata, Puri, Pasar, dan Bencingah).
Seperti biasa setiap melintas didepan Puri Agung Mas, Saya selalu teringat akan cerita perjalanan leluhur Saya (Tabik Pakulun Ida Tjokorda Gde Putu Kandel–dinasti I Puri Agung Ubud). Dalam salah satu Babad, disebutkan bahwa setelah Ida Dewa Agung Made Agung menempati Peliatan dan mendirikan Keraton disana, putra Beliau (Ida Tjokorda Gde Putu Kandel) ditempatkan sementara di Puri Mas sebelum akhirnya mendiami Ubud. Walupun yang namanya Babad cukup jauh mengandung unsur kepastian, namun perasaan Saya selalu ada yang memanggil setiap melewati Puri Agung Mas. Selanjutnya di Catuspata Desa Mas, Saya berbelok menuju arah barat melintasi Griya Gede Mas. Di Jaba Griya terlihat sangat padat oleh kendaraan yang parkir, mungkin banyak umat yang sedang mewacak. Mewacak yang diidentikkan dengan istilah metenung merupakan rangkaian upacara mebayuh, dimana sebelum sesorang dibayuh biasanya diwacak atau ditenung oleh seorang pemangku, balian, atau pedanda.
Matahari semakin turun dan menabrak wajah dari arah Barat, Saya pun pantang untuk teriak “lelah”. Dari Desa Mas, Saya menuju Pengosekan dan akhirnya masuk kebatas Desa Singakerta sebelah timur. Seperti biasa, disetiap batas desa terlihat Baliho Satgas Gotong Royong Covid-19 Desa Adat memberikan himbauan bagi pengendara untuk menggunakan masker. Memang Covid-19 sedikit membawa perubahan pola hidup baru bagi kita semua dengan wajib menggunakan masker, mencuci tangan dan mengatur jarak satu sama lainnya. Jujur, secara pribadi Saya masih ragu sampai kapan pola hidup baru tersebut akan ditaati oleh masyarakat Bali. Jalanan Singakerta sore itu cukup lengang sehingga dengan cepat Saya sampai di Bale Banjar Katiklantang dan selanjutnya turun kebarat menuju Desa Sayan memasuki jalan setapak persawahan yang dikenal dengan “Jalan Subak”.
Rasa lelah seakan terbayarkan oleh hijaunya hamparan sawah yang membentang luas. Saya pun menyempatkan mengabadikan moment indah ini untuk berfoto ria. Seperti diketahui bahwa wilayah Desa Singakerta dan Desa Sayan masih didominasi oleh luasnya areal sawah produktif. Masyarakat pun hampir 70% menggantungkan hidupnya pada pertanian. Pura Masceti di Desa Adat Sayan dianggap sebagai Simbol pemujaan masyarakat agraris kehadapan Ida Bhatara Sri. Di Luar Krama Subak, keberadaan Pura Masceti tersebut juga dipercaya memberikan kemakmuran bagi seluruh masyarakat di empat Desa Adat yang berada di dua wilayah administrasif Desa (Sayan dan Singakerta), yaitu; Desa Adat Sayan, Desa Adat Penestanan, Desa Adat Tebongkang, dan Desa Adat Singakerta. Secara historis, setelah berakhirnya “Perang Negara” yang dimenangkan oleh Ubud, seluruh wilayah-wilayah tersebut berada pada naungan Punggawa Ubud melalui Mancagra Sayan. Sayan sore itu tampak lebih sepi dari biasanya, dikarenakan semenjak Pandemi Covid-19 banyak hotel-hotel elite di pinggiran Sungai Ayung yang tutup. Akhirnya Saya sampai diujung selatan Pasar Desa Sayan dan memutar haluan menuju kearah barat menyusuri hamparan Tegalan yang sangat luas dan berbukit-bukit. Oleh banyak orang wilayah tersebut dikenal dengan nama “Tegal Djambangan”.
Panorama alam Tegal Djambangan sungguh menggoda mata walau dari kejauhan tampak Sang Surya mulai menurun. Seakan hari akan semakin gelap, Saya pun mempercepat ayunan sepeda walau sesekali bokong terasa sakit karena jalanan Tegal Djambangan dipenuhi batu dan berkerikil. Ditengah semaknya areal Tegal Djambangan, Saya teringat akan salah satu Pelinggih di Pemrajan Ageng Puri Saren Kangin Ubud. Tepat ditengah-tengahnya terdapat Pelinggih Pepelik yang pada bagian bawahnya bertuliskan tulisan paras “Djambangan”. Konon, dijamannya pendirian pelinggih ini dibantu oleh beberapa masyarakat yang menghuni Tegal Djambangan. Sekilas diketahui bahwa Pemrajan Ageng Puri Saren Kangin Ubud merupakan tempat pemujaan tua yang dibangun oleh Dinasti I Puri Agung Ubud, Ida Tjokorda Gde Putu Kandel.
Sekeluarnya dari areal Tegal Djambangan, Saya memutar Sepeda menuju kearah utara menelusuri wilayah Baung. Banjar Baung yang masih merupakan bagian dari Desa Adat Sayan dalam catatan sejarah dihuni oleh masyarakat yang sebelumnya eksodus dari wilayah Taro. Konon, keberadaan Pura Sakti di Banjar Baung dianggap sebagai sebuah perlambang pemersatu masyarakat Baung dan tempat menstanakan berbagai perlambang yang dahulunya dibawa dari Taro. Laju sepeda berjalan mulai melambat dan terasa cukup melelahkan, maklum sudah satu jam setengah Saya belum sempat beristirahat. Akhirnya Saya dan rombongan memutuskan beristirahat sejenak dijaba sisi Pura Nagasari yang berada di areal wewidangan Banjar Kutuh, Desa Adat Sayan. Pada papan nama yang terletak di Jaba Sisi terpatri “Pura Dang Kahyangan Nagasari”. Mungkin dahulu keberadaannya dihubungkan dengan perjalanan seorang Pendeta Suci yang melintasi pinggiran Sungai Ayung. Di tempat peristirahatan tersebut, Saya dan rombongan bersepakat setelah sesampainya di Ubud akan bersama-sama menyantap “Taluh Mica” (telur ayam kampung yang direbus setengah matang dan dicampur dengan merica bubuk). Sekedar diketahui semenjak Pandemi Covid-19 melanda Ubud, banyak kemudian bermunculan usaha kerakyatan masyarakat lokal dipinggiran jalan Desa Ubud, salah satunya termasuk dagang “Taluh Mica” di Bencingah Puri Ubud.
Rasa haus, lapar dan ketidaksabaran melahap “Si Taluh Mica” membuat Saya mempercepat lagi ayunan langkah Sepeda walupun melewati naik turunnya jalanan Tjampuhan, Ubud. Baju terlihat sudah berubah warna menjadi gelap oleh derasnya kucuran keringat yang membasahi tubuh. Dari kejauhan tampak terlihat megahnya Bale Tegeh Puri Agung Ubud dan gemerlap lampu Catuspata Ubud. Dan akhirnya, Saya tiba di tempat finish (Ancak Saji Puri Agung Ubud). Fushhhhhh,,,,,!!!! dua jam sudah Saya dan keluarga berkeliling, kini saatnya melahap “Si Taluh Mica”. Tak menunggu lama Saya segera memanggil Si Dagang Taluh yang berjualan tepat di Bencingah Puri “Bli taluh mica telung porsi nggih”. Tak disangka dengan cepat pula Dia menjawab “ampura telas nike”,,,,, Waduhhhhhh!!!!, sedih rasanya batin ini yang dinanti tak bisa hadir. Sungguh perjalanan yang menyenangkan bagi Saya sore itu, walau tak berakhir pada santapan Si Taluh Mica.
Salam sehat,,,