Cerpen: Kris Alexsandro
Menjelang SMP, aku selalu dipaksa ibu dan ayah harus masuk SMP negeri yang favorit dengan ancaman tidak akan disekolahkan jika tidak masuk, Jenjang SMA aku harus mengambil jurusan IPA yang awalnya aku lebih menyukai jurusan IPS untuk menghindari angka karena sejak SD aku selalu tidak bisa matematika, dan saat ingin berkuliah pun aku juga dipaksa mengambil program studi yang sebelumnya tidak aku pahami sama sekali.
Pada suatu peristiwa yang lain, aku heran dengan ibu dan ayah. Mereka senang jika aku aktif dalam bermusik dan wajah mereka selalu memberi dukungan pada saat aku tampil nanti sama halnya pada saat aku pelayanan di gereja dalam bentuk bermusik mereka seperti mendukungku dan selalu menilai permainanku jika ada yang kurang bagus.
Detik-detik kelulusan SMA, aku telah memikirkan matang-matang masa depanku. Di silah terjadi beda pandangan antara ibu dan ayah.
Aku ingin melanjutkan dan terjun ke dunia seni tapi pandangan ibu mencegah niatku. Satu-satunya yang mendukung niatku hanyalah ayah. Ayah seorang lulusan seni musik, musisi, dan keahlian yang aku dapatkan itu dari ayah namun ayahku selalu berkata kepadaku
“Kalau niat jangan tanggung. Kalau basah jangan hanya basah setengah, ya mandi sekalian!”
Lambat laun, aku senang dan merasa nyaman dengan yang namanya seni, terutama seni musik. Sehingga aku memilih untuk melanjutkan kuliah seni musik, mencoba sendiri sehingga harus pergi dengan dendam dari rumah dan berhenti berkonsultasi dengan orang tua tentang masalah apa yang harus dilakukan atau jurusan apa yang harus kuambil.
Ibu ialah guru SD yang menolak dengan keras keinginanku. Aku juga kaget ketika ibu bersikeras dan bilang kepadaku, “Kamu mau jadi apa dari jurusan itu?”
“Kamu gak bisa makan dari pekerjaan dan mau berapa lama waktu yang nanti kamu gunakan agar sukses seperti yang kamu impikan, hah?” kata ibu. “Liat bapakmu dia dari orang musik tapi nyatanya dia tidak menjadi seorang musisi yang dahulu bapakmu itu orang pintar sekali dalam bernada,” lanjutnya.
Setelah ibu berkata seperti itu, aku lalu menoleh ke arah wajah ayah. Ia terlihat malu dan sedih ketika ibu berbicara seperti itu ke diriku dan aku menyauti perkataan ibukku.
“Itu kan kisah ayah. Aku berbeda dengan ayah. Yang membuat ayah gagal itu karena orang tuanya dulu juga melarang keras ia bermusik. Apakah ibu juga mau membuat aku gagal dengan kejadian yang sama dengan ayah?”
Dan apakah aku harus selalu nurut dengan orang tua? Hanya karena mereka selalu bilang bahwa alasannya itu baik untuk masa depan anaknya?
Aku iri dengan temanku yang di dukung oleh orang tuanya dengan kemampuan yang ia punya dan harus belajar dari awal yang tidak aku ketahui sama sekali
Setelah aku lama bertengkar dengan orang tuaku aku sudah memikirkan bagaimana di jenjang kuliah ini aku bisa mendapat dukungan dalam menjalani perkuliahan nanti tanpa ada permasalahan batin yang dirasakan, selama aku bekerja dan tidak tinggal di rumah orang tuaku akan tetapi aku kost di daerah Jakarta dan bekerja di salah toko baju.
Selama bekerja aku mendapat hal yang baru yaitu menyukai cara kerja dengan teknologi digital. Misalnya di toko itu aku sering belajar cara mendesain baju dengan teknologi digital, hingga melakukan penjualan melalui media digital. Dan selama 9 bulan aku menjalani pekerjaan tersebut aku mulai mengerti dan menyukai hal-hal berbau digital dan aku mencoba memutuskan bagaimana menggabungkan teknologi dengan pendidikan, sehingga aku mungkin bisa menjadi apa saja, misalnya menjadi PNS seperti yang ibuku mau.
Aku memang pendendam. Tapi aku selalu memikirkan bagaimana membuat ibu tidak marah dan mendukungku. Hingga kupilih untuk tidak menyakiti perasaan orang tua, sehingga aku memilih untuk melanjutkan kuliah bidang teknologi yang digabungkan dengan bidang pendidikan, dan memilih kampus yang jauh dari orang tua. Selain ingin mencari pengalaman, aku juga tetap masih dendam akibat dilarang ini-itu di masa lalu.
Aku mengembangkan diri dan membuktikan diri bisa berkembang di teknologi namun memikirkan juga agar tidak meninggalkan dunia musikku. Aku mulai dari mengikuti berbagai kegiatan kampus dari organisasi. Menambah pengalaman dan sampai pada akhirnya aku mendapatkan kesempatan untuk menyalurkan hobi yang awalnya tertunda yaitu tampil di depan umum bermain musik, sampai masuk komunitas seni, bertemu dengan orang yang memiliki pandangan bahkan latar belakang yang sama.
Semua pengalaman itu menjadikan aku bisa memahami kondisi di mana diriku yang sebelumnya selalu beranggapan guru itu bukan passion-ku, kini benar-benar sadar akan keinginan dan tujuanku. Masa depanku akan kuraih tanpa menyakiti perasaan orang tuaku. Dan aku ingin membuktikan bahwa kuliah di bidang teknologi akan bisa digabungkan dengan kegiatan seni yang aku ikuti di luar kampus.
Banyak tampil dari kegiatan satu ke kegiatan lainnya dan dari pangggung ke panggung, sudah cukup membuatku meningkatkan rasa percaya diri namun aku sadar kalau bermusik sekarang bukan untuk menjadi terkenal dan banyak uang. Akan tetapi aku sudah mulai merasa bahwa ketika bermusik bisa membuat aku lebih tenang.
Melalui musik dan lagu yang sudah aku ciptakan bisa menjadi pelampiasan rasa resah, sama halnya aku melampiaskannya ke dalam permainan musik di atas panggung. Aku sadar bahwa aku akan lebih bebas lagi menciptakan lagu. Sesuai dengan karakter diriku, kebebasan itu kemudian membuatku bebas juga berpikir. Seiring berjalan waktu, kegiatanku di kampus berjalan normal dan aku juga bisa membuka sebuah bisnis toko baju di daerah Jakarta. Aku yang khusus mendesain baju itu.
Dendam kepada ibu justru membuatku jadi bebas, termasuk bebas memilih masa depanku. Mau jadi pemusik, guru, atau pebisnis. Setelah sekian lama aku menjalani bisnis sampai aku lulus S1, aku semakin punya banyak waktu untuk menjalani bisnisku, Lalu setelah aku lulus kuliah aku fokus untuk menjadi businessman. Bisnis yang kujalani sejak kuliah, kini sudah mulai besar. [T]
*Cerpen ini hasil workshop penulisan cerpen sehari dalam acara Mahima March March March, 14 Maret 2020 di Rumah Belajar Komunitas Mahima.
____
Kris Alexsandro, mahasiswa Prodi Teknologi Pendidikan, Undiksha, Singaraja