Esai ini meraih Juara 1 dalam Lomba Esai Kategori Umum Menyongsong HUT ke-36 Peradah Indonesia dan HUT ke-816 Kota Bangli yang diselenggarakan DPK Peradah Bangli, 2020
“…. pendidikan bagi anak bukanlah alat untuk memenuhi hasrat pribadinya, tapi pada akhirnya sebagai alat untuk kemajuan sosial dan lingkungannya”
Jika kita amati secara seksama, sepuluh tahun terakhir ini, perhatian pemerintah kabupaten Bangli terhadap pendidikan sungguh luar biasa. Kondisi ini tampak, terutama dengan telah direnovasinya kembali sekolah-sekolah yang rusak tergerus usia atau dibangunnya gedung sekolah baru. Hal ini tampaknya tidak terlepas dari peranan media masa, terutama cetak dan elektronik. Pada periode ini, secara intens ruang media menunjukkan kepada kita rusaknya gedung-gedung sekolah terutama gedung Sekolah Dasar. Media telah membuka kesadaran kita betapa kita tengah berada pada masa hancurnya pendidikan. Dalam konteks ini, pemerintah Bangli pun tanggap dan merespon kondisi itu dengan baik.
Pembangunan kembali gedung-gedung sekolah yang rusak atau yang lapuk dimakan waktu utamanya di daerah-daerah terpencil di Bangli memang hanya membutuhkan waktu tidak sampai dua tahun. Artinya, pembangunan kembali infrastruktur pendidikan kita memang mudah dan cepat. Tetapi dibalik lapuknya gedung-gedung sekolah, masih tersisa persoalan besar pendidikan untuk membangun sumber daya manusia Bangli, yaitu lapuknya semangat, motivasi, dedikasi tenaga pendidik untuk akses pendidikan anak-anak di daerah/desa terisolir. Di sinilah sesungguh persoalan pendidikan Bangli ini ditemukan. Namun secara sentral, pemerintah patut dipuji dengan proyek nasional sertifikasi guru yang menelan banyak anggaran negara. Pemerintah bersikap bahwa kualitas guru harus ditingkatkan dan proyek sertifikasi guru adalah pilihan yang paling “manis” dan memungkinkan untuk kemajuan pendidikan anak bangsa.
Walaupun demikian, sebagai langkah besar, sertifikasi guru memang harus dijalankan secara tuntas terlepas dari segala kekurangannya. Soal kualitas guru sebagai akar persoalan pendidikan memang tidak semudah membangun kembali gedung-gedung sekolah yang lapuk. Pada konteks peningkatan mutu guru, entah berapa banyak pelatihan atau penataran guru yang telah diselenggarakan oleh pemerintah lewat departemen terkait, namun motivasi dan mutu guru tetap saja rendah, tidak tampak adanya peningkatan dedikasi, motivasi, dan profesionalisme guru-guru kita. Keadaan ini sebenarnya ancaman bagi pendidikan khususnya di kabupaten Bangli. Pemerintah rupanya sulit mengambil keputusan pada konteks ini. Jika dikeluarkan, akan terjadi kekurangan tenaga pendidik terutama di desa/daerah terpencil. Jalan yang dipilih adalah membiarkan apa adanya, dengan sekadar pembinaan.
Di sisi lain, pendidikan di Bangli terutama pendidikan dasar masih menyisakan kesenjangan antara kampung/desa dengan perkotaan. Di daerah- daerah terpencil di Bangli, atau di banyak desa di pedalaman, di balik bukit, di lereng gunung, anak-anak yang belum disentuh akses pendidikan yang layak secara merata seperti layaknya di perkotaan. Di Batu Meyeh, Peradi, Buluh, yang terpencil dan belum tersentuh internet, perpustakaan yang tak layak, Dusun Bunutin di Trunyan yang belum ada akses transportasi, ataupun lokasi-lokasi di perbukitan Kaldera Kintamani, di daerah itu anak-anak pergi ke sekolah dengan berjalan kaki sejak pukul 05.00 pagi. Ironisnya lagi, sampai di sekolah mereka tidak menjumpai guru pengajar. Sekolah di daerah terpencil juga minim atau jaraknya berjauhan, kalaupun ada, tidak memiliki sarana yang representatif untuk fasilitas belajar, termasuk buku-buku pelajaran. Untuk mengajar seorang guru masih harus menggunting koran-koran bekas untuk dijadikan kliping sebagai media pembelajaran membaca siswa.
Berdasarkan kondisi tersebut, anak-anak di daerah terpencil di Bangli merasa bersekolah adalah “beban”. Bersekolah hanya menyita waktu produktif mereka. Fenomena seperti itu dapat menjadikan anak-anak jenuh dan bosan bersekolah. Mereka pada akhirnya memilih hidup untuk bekerja saja dengan orang tuanya daripada bersekolah hanya untuk menyita waktu produktifnya.
Ditinjau dari aspek pengajar (guru), jarang ada guru yang mau bertugas di sekolah-sekolah di daerah terpencil. Walaupun ada yang mau bertugas, hal itu hanya digunakan sebagai batu loncatan saja agar mau diangkat menjadi CPNS oleh pemerintah. Setelah mereka diangkat, pasti akan segera mengajukan mutasi untuk pindah tugas ke kota. Di samping itu, guru di tempat terpencil mengajarnya pun jarang. Kondisi ini sesungguhnya merupakan masalah besar bagi pendidikan di Bangli, terutama anak-anak untuk mendapatkan pendidikan yang ideal dan manjadi pemicu enggannya mereka bersekolah.
Sebenarnya setiap tempat, tak terkecuali desa/daerah terpencil mendambakan anak-anak yang terdidik, cerdas, dan pintar. Pada ranah inilah pendidikan anak-anak sebenarnya tengah membutuhkan pedagogi harapan. Membangun pendidikan di desa terpencil di Bangli dengan gerakan-gerakan moral baru yang lebih mendasar dan kepedulian sosial harus dikerjakan. Ada empat pilar yang perlu dibangun untuk menyelamatkan pembangunan pendidikan anak-anak di desa terpencil di Bangli. Keempat pilar itu dalam akselerasinya tidak bersifat sepihak, harus dilakukan bersama seluruh komponen dengan bergandengan tangan. Pertama, menyiapkan tenaga pengajar yang mau mengikhlaskan diri untuk ditempatkan di daerah terpencil. Untuk mengantisipasi keluhan dan malasnya guru yang ditempatkan di desa terpencil yang berdampak tidak idealnya anak-anak mendapat pelayanan pendidikan, maka pemerintah/dewan pendidikan di Bangli dapat mengangkat atau mempekerjakan sumber daya manusia setempat yang dianggap mampu mengemban tugas sebagai pendidik.
Di samping itu, esensi penting yang perlu ditanamkan kepada para pemuda intelektual yang dimiliki desa/daerah terpencil di Bangli adalah mau kembali mengabdi dan membangun desanya setelah tamat menuntut ilmu di kota atau setelah mempunyai skil sebagai pendidik. Inilah di Bangli/Bali yang disebut istilah “ngayah”. Tidak terburu-buru harus menjadi “korban” di kota urban. Tetapi pemuda intelektual ini mesti kembali ke konsep prilaku ngayah yang sejati untuk sebuah peradaban pendidikan bagi anak-anak desa yang lebih baik. Mungkin secara ekonomi hal ini dianggap mengalami kemunduran tetapi untuk sebuah pembangunan pendidikan: mengangkat prestasi, prestise, dan memberdayakan sumber daya desa dan daerah Bangli, sedang kembali untuk penyembuhan.
Kedua, mitos “kemiskinan edukasi” guru di desa terpencil di Bangli perlu ditanggulangi. Kebijakan-kebijakan pemerintah Kabupaten Bangli untuk meningkatkan kualitas tenaga pendidikan yang salah satunya menyasar para guru utamanya tingkat pendidikan dasar, hendaknya tidak ditanggapi secara negatif oleh para guru yang ada di desa terpencil. Hal inilah yang menjadikan banyak sekali proyek-proyek pelatihan guru, diklat guru, dan lain-lain, berjalan hanya sebatas formalitas. Nilai positif proyek tersebut tidak pernah diambil. Mereka selalu merasa tidak memerlukan program-program peningkatan atau pengembangan kualitas diri. Ketiga, kepedulian sosial dibidang pendidikan di Bangli, bisa dilakukan dengan jalan membuka sekolah-sekolah swadaya yang dekat dengan anak-anak di desa terpencil. Dalam hal ini, kepedulian sosial sangat penting bagi pendidikan anak-anak yang dimarjinalkan. Mendapatkan kesempatan pendidikan yang baik adalah hak semua anak, termasuk yang hidup di kampung- kampung terpencil di Bangli. Bahwasanya “pendidikan bagi anak bukanlah alat untuk memenuhi hasrat pribadinya, tapi pada akhirnya sebagai alat untuk kemajuan sosial dan lingkungannya”.
Bagi desa terpencil/terisolir di Bangli yang merasa rapuh seperti saat ini, satu generasi sangatlah berarti. Bagi daerah yang kecil yang tidak banyak memiliki sumber daya alam dan tidak memiliki aset laut seperti Bangli, misalnya, satu desa yang begitu terpelosok dengan sejengkal tanah dan setetes air sangatlah berharga. Dengan credo itu kepedulian sosial kita untuk akses pendidikan bagi anak-anak akan memberikan bumi Bangli yang lebih layak dan kehidupan yang lebih baik kepada semua anak yang nantinya akan meneruskan generasi berikutnya.
Keempat, Penyedian infastruktur (termasuk akses jalan dan internet yang layak) dan sarana belajar yang refresentatif bagi desa terisolir. Untuk mewujudkan ini, kita mesti konsisten dengan cerita lama “negeri ini mesti lepas dari budaya korup”. Di tengah revolusi pendidikan yang dijalankan oleh para guru yang juga tengah menerima kebenaran mitos kemiskinan ekonomi (karena suntikan sertifikasi masih juga dirasakan kurang), anak-anak di Bangli secara tidak sadar telah dimasukkan ke dalam kultur pendidikan yang semakin terpuruk. Pada anak- anak itu, para guru rupanya tengah menjalankan konvensi-konvensi sosial- ekonomi. Anak-anaklah yang menjadi korbannya.
Siapakah yang akan menyelamatkan mereka? Hal ini memang tidak semata-mata persoalan edukatif, tetapi politik ekonomi, yang memang kondisi ini sudah sejak lama telah ditemukan dalam pemikiran-pemikiran Paulo Fraire. Walaupun demikian, Fraire menuding bukan oknum guru yang memang memplopori hal itu terjadi, melainkan negaralah yang menjadikan kultur pendidikan, khususnya pendidikan di negara dunia ketiga begitu korup. Sebagai konsekuensinya dan menjadi keluhan di tengah perasaan tidak berdaya adalah “robohnya mental anak sebagai aset daerah” dan “keroposnya jiwa generasi penerus” yang sebenarnya belum pantas roboh dan keropos. Kultur ini harus didekonstruksi, harus dihancurkan, untuk membangun dan menyelamatkan pendidikan di pelosok-pelosok desa di Bangli. [T]
Kintamani, Januari 2020