Ada 23 pelukis perempuan yang memamerkan karya-karyanya di Gedung Kriya, Taman Budaya Denpasar sejak, 20 November sampai 4 Desember 2019. Dari 23 pelukis ada yang memamerkan satu karya, ada juga yang memajang 3 sampai 5 karya dalam ukuran kecil yang menjadi satu kesatuan, baik dalam tema maupun gaya. Tak ada pelukis, yang memajang karya yang betul-betul berbeda dan ekstrim, yang menunjukan bahwa pelukis-pelukis itu memang sangat “berkrama” atau bertata susila perempuan Timur yang feminim. Tapi, dalam susila feminim tidak saja tertangkap kenyamanan dan kepasrahan, tetapi ada kekuatan dan “kegarangan” perempuan Bali.
Secara teknik, kedua puluh tiga pelukis terlihat sudah sangat menguasai, bahkan ad yang terbilang sangat ahli di bidangnya. Dalam hal tema, semuanya mengena, tetapi dalam tema yang umum dan sama ternyata memunculkan beragam “sub tema” tema baru dengan tawaran narasi-narasi baru, itu yang memberi banyak harapan.
Memang ada yang masih sangat polos untuk menerjemahkan tema ke dalam lukisan. Seperti yang terlihat pada lukisan berjudul “Tarian Capung” karya Mega Sari, “Menari Ngebiasang” karya Ni Putu Nia Apriani, “Budaya” karya Ni Luh Sinta Dewi Sriantini, “Pelukan Ibu” karya Ni Putu Eni Astariani, “Rangkaian Bunga” karya Gusti Ketut Oka Armini, “Anak-anakku Lihatlah Masa Depan Dengan Senyun” karya Ni Ketut Ayu Sri Wardani, “Tema Pariwisata dan Budaya” karya Ni Nyoman Merti, “Membuat Gebetan” karya Dewa Ayu Mirah, dan “Kebahagian” karya Ni Made Kurniati Andika, dan Gusti Ayu Jatuh Arimini dengan karya “Perayaan Taur Kesanga” yang masih terasa sangat nyaman menerima keperempuanan Bali-nya.
Narasi yang agak kritis dimainkan oleh pelukis Ni Kadek Heny Sayuti dalam karya “Me” Time, Ini G.P Ayu Mirah Rahmawati dalam karya ‘Darmaning Luh” , Kadek Inten Kirana Sari dalam karya “Pulsar II”, Ni Luh Gede Wid yani dalam karya ” Kelana”, Ni Putu Novia Faryanti Dewi dalam karya “Pertiwiku yang Terancam, Ni Nengah Mega Risna Dewi dalam karya ” Guardian”, Sri Supriyanti dalam karya “Melampaui Jaman”, A. A. Istri Ratih Aptiwidyari dalam karya ” Meguru Ring Embang “, Mangku Murati dalm karya ” Bhineka Tunggal Ika”, Ni Wayan Erika Dewi dalam karya “Today’s Bali”, Ni Wayan Satiani Pradnya Paramita dalam karya ” Menuju Bangkit” serta narasi yang garang ditunjukan oleh Ni Nyoman Sani dalam karya ” Ibu” dan Komang Astari dalam karya “Susuhunan”.
Karya pelukis, Sani dan Astiari sama-sama menunjukkan kegirangan dalam mendobrak narasi yang akrab dengan perempuan Bali dengan cara yang berbeda. Lukisan ” Ibu” karya Sani seperti sebuah perlawanan terhadap kenyamanan perempuan Bali yang sesungguhnya tidak sedang dalam kondisi nyaman. Aikon-aikon pendobrakan yang dipakai Ni Nyoman Sani terpancar dari pilihan bentuk-bentuk dan warna yang dipakai sebagai media simbolis. Dalam hati ibu, ada panas matahari yang direndam dalam air yang menghaluskan warna dan menumbuhkan teratai. Tetapi ibu, adalah perempuan yang tidak hanya indah dan sejuk, ada api yang siap meledak, bahkan rela meledakkan tubuh sendiri dalam situasi tertentu.
Protes Astiari dalam lukisan “Susuhunan”, terasa lebih sublim dan ke dalam. Sebuah protes terselubung yang menghubungkan perempuan Bali dengan sosok Rangda sakti, yang menjadi pelindung perempuan, anak, keluarga bahkan peri kehidupan masyarakat Hindu Bali pada umumnya. Dalam lukisan ini, terkandung pesan, bahwa perempuan Bali kuat menjunjung yang dipujanya dengan keputihan hati. Dan sebakiknya tekad kuat dan pengabdian tulus ini, juga akan melindungi perempuan Bali, sebagai pemujanya.
Jadi, pameran lukis para perempuan Bali, bertema ” Sasananing Luh” di Taman Budaya ini, seperti bahasa simbol perempuan pelukis Bali untuk menunjukkan kekuatan, dan pendobrakan dalam narasi, bentuk dan warna-warna indah. [T]