Film dokumenter yang disutradarai Jay Subiakto yakni Banda, The Dark Forgotten Trail, diputar serangkaian program Sinema Bentara “Kisah Sebuah Kota” pada Jumat (30/08) di Bentara Budaya Bali (BBB). Film produksi tahun 2017 tersebut merunut kembali jejak kesejarahan di Kepulauan Banda.
Pada abad pertengahan, di mana pala menjadi komoditi paling berharga di Pasar Eropa, Kepulauan Banda yang saat itu menjadi satu-satunya tempat pohon-pohon pala tumbuh menjadi kawasan yang paling diperebutkan.
Diungkap dalam dokumenter Banda bagaimana upaya Belanda yang bahkan rela melepas Nieuw Amsterdam (Mannhatan, New York) agar bisa mengusir Inggris dari kepulauan tersebut. Pembantaian massal dan perbudakan pertama di Nusantara terjadi di Kepulauan Banda. Di sana pula, sebuah semangat kebangsaan dan identitas multikultural lahir menjadi warisan sejarah dunia.
Film ini meraih penghargaan Piala Maya untuk Film Dokumenter Panjang Terpilih 2017, serta nominasi Piala Iqbal Rais untuk Penyutradaraan Berbakat Film Panjang Karya Perdana 2017, Piala Citra untuk Film Dokumenter Panjang Terbaik 2017, Piala Maya untuk Tata Kamera Terpilih 2017, Piala Maya untuk Penyuntingan Gambar Terpilih 2017.
Adapun pemutaran film ini didukung oleh Bioskop Keliling Kemendikbud RI, BPNB Bali Wilayah Bali, NTB, NTT. Turut memaknai pemutaran film dihadirkan pula Bincang Sinema bersama Ari Setiya Wibawa,ST.,MM.,IAI.,GP, seorang arsitek, pengamat dan praktisi tata kota.
Program Sinema Bentara yang bertajuk “Kisah Sebuah Kota” digelar di BBB selama dua hari, 29-30 Agustus 2019. Selain film Banda, The Dark Forgotten Trail ditayangkan juga sejumlah film cerita dan dokumenter terpilih lainnya yang telah meraih penghargaan nasional dan internasional. Antara lain berjudul Penempa Bara (Dokumenter, Indonesia, 2018); Sang Penjaga Beji (Dokumenter, Indonesia, 2017); Les Parapluies De Cherbourg (Prancis, 1964); serta Umberto D. (Italia, 1952).
Film Penempa Bara dan Penjaga Beji keduanya disutradarai oleh sineas muda Bali, AAI Sari Ning Gayatri. Dokumenter tersebut merekam sisi-sisi historis, humanis, hingga spiritual masyarakat Bali melalui sudut pandang seorang pande (pembuat) keris pusaka (Penempa Bara) dan Jro Mangku penjaga Pura Beji di Kesiman (Penjaga Beji).
Kedua film ini telah meraih berbagai penghargaan serta diputar di ajang festival film bergengsi. Yang terkini, Penempa Bara terpilih dalam Official Selection Organization of World Heritage Cities Video Competition 2019 di Krakow, Polandia.
Sementara itu, melalui dua film cerita, yakni Les Parapluies De Cherbourg atau The Umbrellas Of Cherbourg dan Umberto D. tergambarkan bagaimana kompleksitas serta pergulatan individu-individu di sebuah kota, berhadapan dengan situasi sosial dan lingkungan dalam konteks zaman tersebut.
The Umbrellas Of Cherbourg, film musikal empat babak yang berlatar sebuah kota di Prancis tahun 1957. Seorang wanita muda terpisah dari kekasihnya oleh perang, ia mengahadapi dilema pilihan yang menentukan hidup mendatang. Film ini mendapat nominasi Best Music, Original Song, Score dan nominasi Best Foreign Language Film pada Academy Awards 1966 , nominasi Best Foreign Language Film pada Golden Globes USA 1966, penghargaan OCIC Award, Palme d’Or dan Technical Grand Prize pada Cannes Film Festival 1964, nominasi Best Original Score Written for a motion Picture pada Grammy Awards 1966, dan Prix Louis Delluc 1963.
Di sisi lain, film Italia yang berlatar pasca perang dunia II, mengisahkan Umberto Domenico Ferrari, seorang lelaki tua miskin di Roma yang berusaha keras untuk tetap tinggal di kamar sewaannya. Ini adalah salah satu film neoralis Italia dan termasuk di dalam “All-TIME 100 Movies” majalah TIME pada tahun 2005. Sang sutradara, Vittorio De Sica, dinominasikan untuk Grand Prix – 1952 Cannes Film Festival atas film ini. Penghargaan Critics Circle New York Film untuk Film Asing Terbaik (1955) dan Cesare Zavattini dinominasikan untuk Academy Award untuk Cerita Terbaik di Academy Awards ke- 29 pada tahun 1957.
Program ini diselenggarakan dengan konsep Misbar, mengedepankan suasana nonton bersama di ruang terbuka yang hangat, guyub, dan akrab. Acara ini didukung juga oleh Denpasar Documentary Film Festival; Institut Français d’Indonésie, Alliance Française Bali, Konsulat Kehormatan Italia di Denpasar, dan Udayana Science Club. [T] [*]