Sebulan sekali ia pergi ke Gianyar, ke Kantor Pos mengambil uang pensiunan. Bulan lalu, tumben ia datang terlambat.
Biasanya pukul delapan pagi sudah sampai di Kantor Pos, namun saat itu, pukul sebelas baru sampai di Gianyar. Baru saja duduk, seorang pensiunan Serdadu NICA keluar dari Kantor Pos. Sesampainya di depan I Jenggot, itulah nama panggilannya, nama aslinya Wayan Buleng. Dan jika keadaannya seperti itu, pensiunan Serdadu NICA itu akan menjatuhkan uangnya di depan I Jenggot. Banyak orang yang membantu memungut dan mengembalikan pada pemiliknya.
“Bagaimana, apakah sudah pas uangnya Pak?” seseorang bertanya padanya.
“Ah, sudah! Dapat uang sedikit. Lima ratus ribu. Lumayan untuk beli sradele.” Ia menjawab dan terdengar agak sombong. Tok… tok… tok… bunyi sepatunya saat melangkah tanpa menoleh.
“Kenapa bengong Nggot?” tanya Ketut Kontok sambil mendorong tubuh I Jenggot yang mematung di sampingnya. I Jenggot terkejut dan berkata:
“Lihat itu Tut! Orang yang menjatuhkan uang tadi…” Belum usai berbicara, sudah dipotong Ketut Kontok.
“Siapa yang kamu bilang?”
“Ah, saya tidak suka menyebut nama penghianat bangsa!” kata I Jenggot ketus. Pelan-pelan, Ketut Kontok segera menyela perkataanya.
“Ah, jangan begitu Nggot! Jangan sebut-sebut hal itu lagi. Sekarang negara kita sudah merdeka.”
“Siapa bilang begitu? Apa dampaknya bila membicarakan hal itu? Apakah salah jika mengatakan yang sebenarnya, coba pikirkan!”
“Bicarakan yang lain saja Nggot!” kata Ketut Kontok.
“Saya Jengkel sekali Tut. Rasanya kotoran di perut naik ke otak. Orang yang menyiksa kita di penjara, karena kita berjuang untuk kemerdekaan, dan setelah merdeka, pensiunannya malah lebih besar dari kita, bagaimana ceritanya itu.” I Jenggot berkata dengan nada marah hingga alisnya berkerut, tatapannya tajam memandang Ketut Kontok.
Dulu, ketika mereka masih sama-sama berjuang, jika I Jenggot menunjukkan raut muka seperti itu, tak ada yang berani mendekat, maupun membantah. Jika ada yang membantah, kemungkinan ia akan ditembak. Bisa juga dipukul. Ia memang judes dan mudah tersinggung. Mungkin karena dirinya jadi algojo saat itu.
“Begini Nggot.”
“Begini bagaimana?”
“Begini, ……” I Ketut Kontok mulai berbicara pelan. “Gaji itu tergantung tinggi rendahnya pangkat. Orang yang menjatuhkan uang tadi itu, sudah jadi perwira, terang saja gajinya gede. Gaji Pensiunan kita tidak sesuai pangkat. Tak apa, toh pemerintah masih baik memberi kita gaji, daripada tidak sama sekali. Dulu sewaktu kita berjuang, tidak ada yang memikirkan gaji. Kita juga tak menuntut gaji. Kita berjuang karena memang ingin berjuang. Tidak ada yang meminta, tidak dipaksa. Bukan begitu, Nggot!”
“Iya memang begitu.”
“Kalau begitu, sekarang apa lagi. Bukannya urusannya sudah selesai?”
“Dalam pikiranku belum selesai. Sulit menerima sesuatu yang aneh itu,” kata I Jenggot menggerutu.
“Pak Jénggot……!” Petugas di Kantor Pos memanggilnya. I Jénggot bangun mendekati tempat duduk petugas itu, menuju ke loket tempat pembagian uang. Setelah menerima uang, mereka pun pergi. I Jenggot berpisah dengan Ketut Kontok di jalan menuju ke rumah masing-masing.
Sesampainya di rumah, I Jenggot duduk merenung. Matanya menerawang jauh, memikirkan apa yang ditemuinya di Kantor Pos Gianyar. Dalam pikirannya masih terbayang wajah orang yang menjatuhkan uang di Kantor Pos tadi.
“Ah, manusia tanpa air mata, telinganya budek, muka badak. Lebih laknat dari binatang.” I Jenggot menggerutu bagaikan beruk, wadah yang terbuat dari batok kelapa, yang dimasukkan ke dalam air.
“Bli, mana daging babi guling Gianyar yang kau janjikan?” Istrinya menghampirinya, bertingkah manja. I Jenggot sedikit malu, ia lupa membelikan istrinya oleh-oleh. Biasanya, ketika gajian, ia selalu menyempatkan diri singgah ke Balé Banjar Teges membeli daging babi guling untuk oleh-oleh.
“Bu, jangan ganggu bli, pikiran bli sedang kalut. Kalau nanti pikiran bli sudah tenang, kita beli satu ekor. Nanti ibu bisa makan daging babi guling itu sepuasnya!” kata I Jenggot, sambil berlalu meninggalkan istrinya. Pikirannya masih kalut dan sedih. Duh, kasihan sekali Pak Jenggot.
Sukawati, 100794
Cerpen ini diterjemahkan oleh I Putu Supartika dari cerpen berbahasa Bali karya I Made Sanggra yang berjudul Pak Jenggot. Cerpen ini pernah dimuat di buku kumpulan cerpen berbahasa Bali I Made Sanggra berjudul Bir Bali.