Judul Buku: Mencari Bali yang Berubah
Penulis : I Ngurah Suryawan
Penerbit : Basabasi
Tebal : 276 hlm
Tahun : 2018
Sebuah buku yang baru-baru ini diterbitkan seorang peneliti muda bali tentang peristiwa tahun 1965-66 tidak melakukan lebih dari sekedar menunjukkan betapa ironisnya kekerasan massal terjadi di pulau dewata nan cerminan surgawi itu. Ia pandai menuliskan pendapat dengan gaya tajuk rencana surat kabar, tetapi tidak tahu cara melakukan penelitian yang dapat menyingkap temuan-temuan baru megenai kejadian-kejadian di masa lalu. Ungkapan empati menyemburkan banyak panas tetapi hanya sedikit sinar.
(John Rosa & Ayu Ratih, “Sejarah Lisan di Indonesia dan Kajian Subjektivitas”, dalam Perspektif Baru Penulian Sejarah Indonesia. 2008., hlm. 195).
Saya mengenal pemikiran penulis sejak tahun 2012 ketika akan melanjutkan studi master ke jurusan Ilmu Sejarah UGM, dan buah karya pertamanya yang saya baca adalah Genealogi Kekerasan dan Pergolakan Subaltern : Bara di Bali Utara, yang terbit tahun 2010. Judulnya terkesan keren bagi tamatan sarjana pendidikan seperti saya yang tengah mencari identitas intelektual baru di perantauan. Di Jogja, dengan ditopang oleh akses terhadap buku sumber yang melimpah, ketertarikan terhadap Ngurah Suryawan semakin besar ketika salah seorang senior, sebut saja Mas Ketel (asal Betawi) yang telah menghabiskan waktu 7 tahun di UNUD menyuruh saya melahap semua karya yang ditulis oleh Ngurah Suryawan.
Tidak membutuhkan waktu yang lama bagi saya menemukan hampir sebagian besar karya penulis di perpustakaan fakultas, taman bacaan belakang Benteng Vradenburg dan di beberapa toko buku seperti Toga Mas dan Social Agency. Selain Ngurah Suryawan, Mas Ketel juga memperkenalkan ilmuwan Bali lainnya yang karyanya tidak boleh saya lewatkan seperti sejarawan Nyoman Wijaya, mantan Wartawan I Putu Setia, hingga penulis-penulis luar yang concern terhadap Bali seperti Henk Schulte Nordholt, Jean Coeteau, Michel Picard, Adrian Vickers, Geofrey Robinson, Clifford Geertz serta beberapa Baliolog lainnya yang tidak bisa saya sebutkan namanya satu persatu.
Kelatahan dan kegandrungan saya dengan rutinitas baru itu selama di Jogjakarta membuat saya tidak sadar bahwa secara tidak langsung gaya bahasa yang sering digunakan Ngurah telah mengendap dan teraktualisasi dalam beberapa kegiatan menulis, terutama saat menulis tesis. Hingga pada suatu ketika, pembimbing tesis menegur saya karena dinilai mengcopy begitu saja gaya menulis seorang ilmuwan Bali, I Ngurah Suryawan, yang menurutnya terkesan terburu-buru, menghentak-hentak sehingga kadang lebih banyak menghasilkan narasi yang absurd dan prematur. Alasannya, menulis buku yang sifatnya komersil dengan menulis tesis itu berbeda, apalagi basis keilmuwan Ngurah Suryawan yang seorang antroplog, berbeda prinsip regime of truth nya dengan seorang calon master sejarah seperti saya yang lebih menekankan the power of chronology dan explanation.
Agar bisa segera lepas dari bayang gaya menulis Ngurah Suryawan, pembimbing tesis menyarankan kepada saya untuk membaca buku Perspektif Penulisan Sejarah Indonesia yang dieditori oleh Henk Schulte Nordholot, Bambang Purwanto dan Ratna Saptari. Khususnya pada Chapter 8 yang ditulis John Rosa bersama Ayu Ratih, kutipan di atas adalah kritik singkat mereka terhadap karya Ngurah Suryawan yang banyak menyajikan data sejarah lisan. Di samping itu, pembimbing juga menawari saya untuk membaca disertasi sejarawan Bali, I Nyoman Wijaya (2009) yang berjudul “Mencintai Diri Sendiri : Gerakan Ajeg Bali dalam Sejarah Kebudayaan Bali 1910-2007”. Melalui telaah terhadap sumber di atas, pembimbing berharap saya bisa kembali ke fitrah sebagai seorang sejarawan yang mengarusutamakan kronologisasi peristiwa, alih-alih teori.
Menjelang akhir semester ketiga, akhirnya saya dipertemukan dengan calon doktor Antroplogi UGM, Ngurah Suryawan yang bukunya menghiasi perpustakaan pribadi saya serta sejarawan I Nyoman Wijaya yang disertasinya saya baca bolak-balik perpustkaan karena saking tebalnya.
Karya Ngurah berikut yang akan saya review ini, seperti juga karya-karya sebelumnya selalu menghasilkan rasa peasaran bagi para pembaca yang concern terhadap persoalan-persoalan teraktual tentang Bali. Meski kemudian yang bersangkutan tidak berdomisili di Bali karena menjadi salah satu staf dosen di sebuah universitas negeri di Papua yang mengharuskannnya tinggal di sana, pulangpun lebih didorong karena urusan domestik dibanding akademik, namun karya ini menjadi pembuktian bahwa rasa cintanya terhadap Bali tidak pernah pudar sekalipun berada jauh di negeri orang. Pun demikian, karya ini patut mendapat apresiasi akademik, karena curahan hatinya secara tidak langsung menggambarkan suasana kebatinan intelektual seorang Ngurah terhadap pergeseran-pergeseran yang terjadi, lalu disajikan dengan narasi-narasi yang melokal dan tentu saja membumi. Bagi para pemula yang ingin mengetahui silang sengkarut tentang Bali, karya ini tidak boleh dilewatkan.
Ada tiga narasi arus utama yang coba diketengahkan penulis kepada khalayak pembaca. Narasi pertama menyangkut politik identitas orang Bali dalam hubungannya dengan reifikasi kebudayaan Bali. Hasilnya adalah wacana endapan ke-Bali-an dalam wujud gerakan kultural ajeg Bali yang suaranya digaungkan sejak 2002 pasca Bom Bali II. Berlatar Bali tempo dulu, Bali kini dan Bali nanti, tema ini ingin memperlihatkan kepada pembaca tentang transisi identitas sosial politik dan kebudayaan manusia Bali ketika bersinggungan dengan dimensi nasional dan global. Narasi ini disampaikan pada bab I (Ruang Terjepit, Manusia Bali Menjerit) dan Bab III (Pariwisata Budaya dan Pembekuan).
Pariwisata baik yang berskala nasional maupun global, telah menghasilkan pergeseran yang sangat berarti di dalam struktur sosial masyarakat Bali. Salah satunya adalah melahirkan kelas sosial menengah. Merekalah yang dengan gigih menangkap peluang turisme pariwisata melalui kemampuan intelektual yang diorganisasikan secara massal dan diseminasikan melalui kekuatan media informasi. Upaya-upaya itu dengan sendirinya melahirkan utopia tentang otentisitas kebudayaan Bali.
Muncul kemudian klaim diri “paling Bali”, namun di sisi yang lain mereka hanya “setengah Bali”. Alasannya, mereka adalah potret kelas menengah urban yang terdiri dari kaum intelektual, pebisnis media, agamawan, politisi, birokrat dan elit-elit lokal di desa. Kepemilikan identitas yang cair dan heterogen menjadikannya kelas elit dengan beragam kepentingan dan kekuasaan. Hal tersebut didapatkan melalui persekutuannya dengan negara dan modal untuk berkolaborasi menguasai jaringan ekonomi makro yang meringsek ekonomi rakyat hingga ke titik nadir. Kefasihan dan sikap oportunis yang dimiliki ketika mengartikulasikan identitasnya dibandingkan orang Bali pedesaan mengakibatkan permainan
kesadaran pengetahuan. Berbekal jargon ngajegang budaya Baline, ngalestariang budaya Baline dan kemudian ditangkap oleh budaya turistik dalam pentas global dan pasar, mereka mereproduksi kebudayaan yang bisa dikomersilkan dengan memposisikan orang Bali yang tinggal di perdesaan sebagai objek.
Pada akhirnya lantunan mimpi “Bali asli” hanya tameng dan kedok dari nafsu serakah dan hasrat menimbun harta. Lantunan gerakan puritanisme itu menyimpang dari teks ideal revivalisme kebudayaan Bali yag dicitakan. Tipu muslihat dan kisah-kisah interkoneksi global yang aneh dengan kuasa kapital bernama pariwisata, industri media dan romantisasi keagungan serta keaslian budaya Bali mewarnai pergulatan pergulatan identitas manusia Bali. Secara reflektif, manusia Bali tidak akan berpikir eksklusif, otentik dan ikonik pariwisata, namun klaim diri paling “asli” hanya akan mengantarkan pada sikap parokialisme, sektarian dan primordial.
Di sisi yang lain, dampak interkoneksi nasional sekaligus global telah mengakibatkan kuasa modal menjamah segala hal dan mempertemukan masyarakat tempatan dengan jejaring eksploitasi sumber daya alam dan sumber daya manusia. Muncul fragmen untuk mementaskan siasat, resistensi, memanfaatkan peluang ekonomi politik serta bernegosiasi.
Narasi kedua mengetengahkan isu kekerasan dalam dimensi sosial dan kebudayaan manusia Bali kontemporer. Kekerasan sebagaimana diungkapkan penulis merupakan cara-cara primitif nan barbar yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang ketika dihadapkan pada perubahan sosial. Kekerasan telah menjadi unsur yang mendarah daging (embodied), alih-alih embedded (tempelan). Proyeksi tentang kekerasan itu tercover jelas pada bab VI (Tragedi 1965 dan Wajah Kita) dan Bab VIII (Para Jagoan Kebudayaan). Khususnya pada tragedi kemanusiaan 1965, penulis ingin menghadirkan genealogi kekerasan politik di Bali yang sengaja dihilangkan demi citra Bali yang shanti.
Meski demikian, pada akhirya kekerasan yang telah terjadi di masa lalu itu telah dibatinkan dan melahirkan dendam sejarah melingkar melibatkan tiga kelompok yakni PKI, PNI, dan Golkar. narasi terhadap peristiwa 1965 sekaligus merupakan upaya melakukan kritik atas sejarah “arus atas” atau “no document, nohistory” dengan memberikan ruang bicara bagi “ingatan” korban peristiwa 1965.
Sejarah hanya berkutat dalam persoalan fakta yang terbentuk dalam dokumen-dokumen resmi yangdianggap faktual dan valid untuk kajian sejarah arus atas (elit), sementara posisi ingatankorban adalah narasi dari ekspresi gugatan ingatan sosial masyarakat yang telah beku dantanpa versi lain. Posisi penuturannya bukan pada faktualisasi melainkan empati dan penafsiran penuturan korban untuk menciptakan kebenarana naratif. Maka, history is rememoration meletakkan fondasi sejarah bukan pada fakta historis dari peristiwa itu.
Monumen apapun bentuknya adalah sebuah peringatan untuk ingatan. Tetapi di balik ingatan ada segudang pertanyaan. Setumpuk cerita tentang kepahlawanan, kebengisan, tumpah darah, tetes air mata yang membuat ingatan kita digiring pada sebuah narasi dan kenangan. Tetapi seiring dengan ingatan itu terbentuk dan melembaga, kita kadang lupa bahwa apa yang membentuknya dan kebohongan apa yang lahir darinya. Kemegahannya kadang membuat kita lupa dan sama sekali tidak ada gugatan pada cerita kebenaran tentangnya. Kemegahan monumen membuat kita lupa akan monumen lain yang tersemai pada ingatan-ingatan masyarakat yang selama ini terbungkam dengan kebenaran sejarah. Sederhananya, monumen lahir dari penuturan para saksi dan korban sejarah yang lama terbungkam.
Para jagoan kebudayaan yang diulas pada Bab VIII mengkaji tentang pecalang yang dianggap sebagai garda depan pelestarian kebudayaan Bali. mengulas serba serbi pecalang sebagai satuan pengamanan adat di Bali. Pasca kongres PDIP di Bali tahun 2005 dengan dikukuhkannya Megawati sebagai ketua umum dan secara politik diperlihatkan dengan diborongnya semua jabatan publik seperti bupati dan gubernur, memberikan sinyal lain bagi keberadaan pecalang sebagai satuan pengaman adat.
Pecalang menjadi kata sakti dan jaminan keamanan Bali. Keberhasilannya ketika mengamankan kongres PDIP I dan II mengakibatkan desa-desa adat kecanduan membuat satuan pecalang dengan menyedikan berbagai fasilitas penunjang seperti posko, bahkan hingga mobil patroli. Selain mendapatkan pajak sebagai penjaga keamanan melalui toko-toko yang berdiri di wilayah desa adat, pecalang pun bertugas melakukan razia penduduk pendatang, menjaga pesta perkawinan dan konser-konser musik. Kehadiran pecalang di dalam kegiatan politik menjadi menarik, sebab menjadi penanda masuknya simbol-simbol adat dan kebudayaan yang diperankan olehnya.
Hal tersebut terlihat dari busana yang dipakai yang mencerminkan relasi antara simbol adat, budaya dan politik. Pecalang bukan satgas partai dengan pakaian kebesaran melainkan pengamanan tradisional dengan busana adat dan budaya Bali yang mencoba memerankan diri seperti barikade. Pecalang sering dikritik berlaku arogan karena memantik konflik. Contohnya seiring dilihat ketika melakukan pengamanan upacara adat. Bukannya mengamankan, tetapi malah menimbulkan masalah baru untuk diamankan. Sumber masalahnya adalah ketidaksiapan mental pecalang yang memang tidak dilatih untuk melakukan pengamanan seperti polisi dan aparat keamanan lainnya.
Hal yang menjadi paradoks adalah kesan pecalang sebagai penjual jasa keamanan terlihat jelas dari kepentingan desa adat seperti memungut biaya dinas penduduk pendatang. Mereka jelas berorientasi materi untuk menghidupi kegiatan-kegiatan adat dan budaya, sementara mereka juga harus berlaku keras dengan merazia penduduk pendatang yang membludak. Pecalang menjadi senjata utama untuk melakukan razia tersebut. Di sisi yang lain, pecalang dan preman menggali di “lahan basah” seperti cafe, rumah makan dan sebagainya. Pecalang menjadi agen untuk mengeruk materi pada tempat-tempat potensial untuk perebutan sumberdaya ekonomi.
Narasi ketiga berkenaan dengan tawaran akademik penulis untuk menjadikan kajian budaya atau disebut cultural studies sebagai solusi untuk menghadirkan suara-suara yang (ter)(di) bungkam oleh arus dominan dalam memikir ulang tentang Bali. Narasi ini disajikan dengan baik secara konseptual pada bab IV (Arah Kajian Budaya Bali), secara kontekstual pada bab II (Narasi di Tepi Bali), aplikasi konsep pada Bab V (Politik Ruang dan Jejak Kekerasan) dan Bab VII (Memeriksa Relasi Ritual dan Kuasa).
Beberapa fundamental teori cultural studies coba dihadirkan, khususnya teori pos kolonial dengan beberapa nabinya yang tersohor seperti Edward Said, Homi K. Babha, Franz Fanon hingga Gayatri Spivak. Harapannya tentu saja menjadi framework dalam membedah fenomena sosial dan kebudayaan dari masyarakat Bali yang dewasa ini tengah mengalami pergeseran yang sangat berarti.
Masalah kekerasan sebagai grand design Bab V yang coba dipertautkan dengan teori pos kolonial membahas tentang sisi lain prilaku manusia Bali yang mengatasnamakan adat dan kebudayaan. Kasus kekerasan dan konflik desa adat adalah satu dari sekian banyak masalah seperti api dalam sekam dan menunggu ledakan dasyatnya. Letupan-letupan kecil yang terjadi pada Bali kontemporer adalah bagian dari reaksi keterhimpitan orang Bali di tanah asalnya. Oleh karenanyanya, setiap jengkal tanah sangat berharga. Invasi ekonomi dan giuran investasi tanah mengakibatkan manusia Bali saling klaim kepemilikan dengan sesamanya dan tidak jarang melahirkan kekerasan seperti kasus perebutan tapal batas. Kasus-kasus kekerasan terjadi dengan sangat mudah menjadi di-adat-kan. Persoalannya hanya akan berhenti jika domain penyelesaiannya berada pada wilayah desa adat. Akibatnya, proyek-proyek untuk melokalisasi kekuasaan jengkal tanah di Bali yang dikuasai oleh desa adat dilakukan secara massif.
Konflik dan kekerasan yang terjadi ditanggulangi dengan menjelaskan daerah dan wewenang kekuasaan masing-masing desa Dengan demikian, kasus kekerasan tidak dilihat sebagai persoalan konstruksi benih dari politik, kuasa dan pembangunan pariwisata, melainkan masalah bersama bagi Bali untuk menguatkan identitas ke-Bali-an dan menjaganya dari pengaruh luar.
Konflik internal sesama Bali harus dicarikan solusi berupa musuh bersama yang bisa menyatukan sehingga tetap kokoh dengan budayanya. Di-adat-kan dan di-budaya-kan-nya peristiwa kekerasan bertujuan untuk mensterilkan bahwa Bali lepas dari wacana politik nasional dan bisa diredam dengan melakukan pendekatan keamanan demi kelancaran pariwisata budaya. Segala potret kekerasan diselesaikan dengan konsep mulat sarira atau introspeksi diri dan ajakan bersama-sama sagilik saguluk salulung sabayantaka untuk menghadapi masalah.
Caranya dengan menjaga hak milik terakhir berupa adat dan kebudayaan yang berporos pada politik identitas etnis untuk membendung pengaruh luar. Akibatnya, ajakan untuk meng-ajeg-kan budaya Bali dengan serangkaian program-program bernuansa adat dimaknai sebagai panggilan nurani manusia Bali. Jargon ini tersebar secara simultan berkat media terbesar di Bali hingga ke desa-desa. Produksi wacana tentang bahaya laten terhadap orang luar (baca : nak Jawe) menjadikan orang Bali siaga dan waspada. Muncul dikotomi “kita” dan “mereka” untuk menjelaskan asal usul dan keterikatan emosional dengan tanah asal yang berporos pada etnis dan agama.
Lokalitas kekuasaan yang bersinggunga dengan Bab VII, tidak lagi bersifat sentralistik di mana negara menjadi otoritas tunggal, melainkan menyebar dalam otoritas kekuasaan, prilaku manusia Bali dan kekerasan. Dampak dari pengelolaan dikotomi “kita” dan “mereka” dialami oleh pendatang. Di satu sisi mereka dianggap bahaya laten dan musuh bersama untuk tujuan menguatkan politik identitas etnis, namun di sisi yang lain menjadi komoditas politik potensial yang diperebutkan dalam pertarungan politik elit pada momen pilkada.
Ada beberapa hal menarik yang ingin saya kritisi dari penjelasan bab dan tema buku ini. Hal tersebut mencakup beberapa aspek yang sejatinya memberi nuansa dan arti penting sebagai landasan pikir tetapi nyaris tidak tersentuh.
Pertama, adanya simplifikasi terhadap struktur sosial masyarakat Bali yang majemuk. Apalagi jika dihadapkan pada upaya utuk merespon perubahan sosial. Kelas menengah Bali misalnya yang berusaha meromantisasi sekaligus bernostalgia tentang otentisitas Bali melalui kegiatan-kegiatan pariwisata budaya masih dipolakan sebagai entitas monolitik dan tunggal, walaupun sekilas telah disebutkan siapa mereka. Pada sisi yang lain, kenapa, apa dan bagaimana kelas menengah itu ketika berhadapan dengan Bali yang berubah sambil berusaha mewujudkan obsesinya itu terlewatkan. Karya AAN Ari Dwipayana bisa menjadi rujukan untuk melengkapi tulisan ini.
Disamping itu, otentisitas kebudayaan Bali yang dibayangkan oleh kelas menengah Bali hasil industri pariwisata di dalam tulisan ini masih melihat Bali dalam satu kebulatan identitas tanpa memperhatikan dinamika dan heterogenitas struktur sosial yang bisa memberi kemungkian untuk menghasilkan narasi-narasi tandingan terhadap kebudayaan dominan.
Realitas historis memperlihatkan bahwa tidak semua kawasan di Bali memiliki atau paling tidak mewarisi sesuatu yang disebut dengan “kebudayaan Bali Adiluhung”. Saya melihat kecenderungan buku ini masih terjebak pada primordialisme wilayah yang berporos pada kawasan-kawasan yang masih kuat adat dan budayanya. Dengan demikian, spasial yang hilang dalam sejarah Bali (terra incognita) tidak “hadir” atau dengan kata lain tidak memiliki “tempat” dalam merundingkan “Bali” karena status “pinggiran” ketika membicarakan Bali pada arus budaya dominan.
Kedua, uraian mengenai prilaku manusia Bali yang mengatasnamakan adat tidak mengakomodasi penjelasan yang komperehensif. Desa adat masih dilihat sebagai kuasa lokalitas negara dan terjebak ke dalam penyakit primordial akut. Desa adat digambarkan seperti cermin sekaligus alat untuk mendisiplinkan orang Bali dalam hubungannya dengan kekuatan luar.
Di balik itu semua, ada hal menarik lain yang bisa diketengahkan dalam membaca cermin adat bagi manusia Bali. Pertama berkaitan dengan alat atau media yang dipergunakan untuk mengorganisir massa berupa kentongan atau disebut dengan kulkul yang ada di masing-masing banjar. Uraian mengenai arti penting kulkul dalam terminologi orang Bali dan kuasanya menggerakkan orang Bali dalam situasi apapun tidak banyak disinggung. Kulkul adalah alat komunikasi tradisional sebagai penanda sebuah kejadian-kejadian penting seperti kematian, serangan musuh, rapat dan sebagainya. Ia diletakkan strategis dan mampu menjangkau keberadaan seluruh anggotanya. Dalam suatu konflik, kentongan atau kulkul berperan penting. Jika suara kukul bernada kulkul bulus, tanda bahaya maka emosionalitas massa untuk melakukan kekerasan massal bertambah kuat. Kulkul sebagai media komunikasi tradisional memilliki otoritas tertinggi untuk mengerahkan massa sehingga sering disebut “kala raja” yang berarti raja penguasa waktu. Alasannnya, jika kulkul ini dibunyikan berarti orang harus menyerahkan waktunya pada makna yang diperintahkan oleh bunyi kulkul.
Keikutsertaan bertindak pada saat kulkul bulus merupakan simbol keberanian. Jika pada saat kulkul bulus seseorang tidak ikut bertindak maka dia akan kehilangan harga diri atau di Bali utara sering disebut “anak muani sing ngelah butuh” yang berarti “banci” atau “betina”. Oleh karena itu, kulkul bulus sangat efektif untuk mengerahkan massa baik untuk melakukan kekerasan kolektif maupun membendung serbuan dari pihak lawan.
Kedua yakni struktur berpikir orang Bali yang dikenal dengan konsep rwa bhineda atau oposisi biner. Persoalan ini juga tidak banyak disentuh bahwa di balik statusnya sebagai konsensus orang Bali ternyata memberikan gaya dan cara berpikir yang di satu sisi bisa berakibat positif, namun di sisi lain berakibat negatif khususnya ketika memaknai kadar ke-Bali-an orang Bali dan atau orang luar Bali. Model berpikir ini oleh kebanyakan orang Bali dimaknai sebagai hukum yang dipakai dalam merespon realitas yang dihadapi. Konsep rwa bhineda ikut menentukan respon orang Bali terhadap konflik.
Dalam memecahkan masalah, perbedaan pendapat maupun permusuhan yang terjadi di dalam desa adat, konsep-konsep ini sering dikaitkan satu sama lainnya. Akibatnya, perkataan dan kesepakatan orang banyak atau “ke-kita-an” sering dianggap benar, baik dan normal sehingga harus dimenangkan. Sebaliknya orang yang jumlahnya sedikit atau pihak yang berseberangan dengan kita atau ke-mereka-an diposisikan sebagai orang buruk, salah dan abnormal sehingga harus dikalahkan.
Pola berpikir ini mengakibatkan orang Bali menerapkan manajemen “normalitas” dalam mengelola konflik menurut standar mayoritas.6 Minoritas dianggap abnormal sehingga harus dibantu agar menjadi normal. Hal tersebut terlihat melalui kekerasan yang dilakukan mayoritas yang memposisikan dirinya normal terhadap minoritas yang dianggap abnormal. Apapun bentuk kekerasan yang dilakukan tujuannya sama yakni memaksa orang yang jumlahnya sedikit agar mau menerima kenormalan, kebenaran dan kebaikan menurut ukuran orang banyak.
Dari dua hal di atas, saya ingin memperlihatkan fakta historis bahwa kulkul bulus sebagai sarana komunikasi dan pemilik waktu telah dijadikan alat politik untuk mengorganisasikan massa. Peristiwa amuk massa Bali 20-21 Oktober memperlihatkan sisi lain dari manusia Bali. Kejatuhan Orde Baru adalah jalan bagi pihak anti pemerintah untuk menegakkan eksistensinya. Konflik tidak saja terjadi pada tataran elite, tetapi juga sampai pada lapisan desa adat.dengan demikian, transisi kekuasaan tidak saja terjadi pada pucuk pimpinan politik elit pemerintah, melainkan juga di dalam tubuh adat. Transisi politik sebagai manifestasi dendam sejarah melingkar terjadi antara PDIP sebagai representasi orang-orang yang tertindas di era Orde Baru dengan pihak Golkar sebagai representasi Orde Baru.
Kegagalan Megawati menduduki kursi presiden melecutkan amarah sebagian besar orang Bali yang telah terlanjur menahbiskannya sebagai titisan “ratu adil”. Amuk massa tidak bisa dihindari dan pengorganisasiannya dilakukan secara terstruktur, sistematis dan massif melalui alat komunikasi kulkul bulus. Penghancuran fasilitas publik adalah penanda eksistensi diri terhadap negara. Dalam kacamata konsep rwa bhineda di atas, aksi massa adalah manifestasi dari “manajemen normalitas” yakni mayoritas melakukan proses pendisiplinan terhadap minoritas.
Selain beberapa hal yang sudah disinggung di atas, penyebab penguatan suprastruktur lokal sebagai bagian dari konfigurasi politik nasional tidak diuraikan. Padahal penjelasan ini berguna untuk melihat bahwa sekalipun desa adat menjadi lokalitas baru dan ingin lepas dari jerat hegemoni negara melalui perpanjangan tangan desa dinas, akan tetapi, produk hukum yang digunakan dan diterjemahkan untuk melihat posisi mereka ke depan tidak lepas dari peran negara.
Bergulirnya era reformasi telah memberi angin segar bagi eksistensi desa adat7 untuk melepaskan jeratan hegemoni desa dinas. Dalam lintasan sejarah Bali, keduanya kerap memperlihatkan kontestasi pasang surut. Perubahan zaman dan diikuti pergantian penguasa politik berdampak pada produk hukum yang diterapkan. Jika di era kekuasaan bangsawan Bali kuno, konsep desa9 yang dipahami hadir sebagai lokalitas yang mandiri tanpa intervensi pihak manapun dan terlihat sebagai entitas yang merdeka10, keterjajahannya justru terlacak dari masuknya pengaruh kekuasaan Majapahit di Bali. Kebijakan tentang desa mulai berubah ketika kekuasaan kolonial Belanda menguasai Bali secara bulat. Muncul program tandingan untuk memenuhi kebutuhan kerja dan mempermudah mereka melakukan pengawasan sekaligus intervensi yakni dengan menciptakan “desa dinas”.
Pada masa Orde Baru, desa dinas dan desa adat diposisikan dalam lokalitas yang sama sehingga tampak sebagai entitas kembar tetapi memiliki fungsi yang berbeda melalui penerapan produk hukum UU No 5 tahun 1979.13 Desa adat sama sekali bukan prioritas utama dan nyaris tanpa posisi tawar yang potensial. Produk hukum reformasi yakni UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang kemudian digantikan UU No.32 tahun 2004. Hal ini turut merangsang penguatan eksistensi desa adat dan mempertanyakan kembali kedudukan desa dinas.
Upaya untuk meromantisasi pemahaman konsep desa pra Majapahit sebagai entitas mandiri dan merdeka sangat terlihat dari kegairahan yang terlontar dalam berbagai kesempatan. Aroma balas dendam semakin jelas terlihat manakala berhembus wacana penghapusan desa dinas. Peraturan Daerah Bali No.3 tahun 2001 tentang Desa Pakraman yang menggantikan Peraturan Daerah Bali No.6 tahun 1986 dan kemudian diperbaharui lagi dengan Peraturan Daerah No.3 tahun 2004 17 berdampak pada perubahan redaksi “adat” pada “desa adat”. Istilah adat yang berasal dari Arab dianggap tidak sesuai dengan romantisme yang dibangun atas dasar agama Hindu dan semangat meredefinisi kebudayaan Bali. Redaksi adat diganti dengan istilah “pekraman/pakraman” sehingga menjadi desa pekraman. Istilah pekraman berasal dari bahasa Sansekerta dan dianggap mewakili jiwa zaman dan jati diri yang ingin dibangun.
Ketiga, uraian tentang pertautan ajeg Bali dan ajeg Hindu masih dilihat dalam fragmen-fragmen tanpa mengikutsertakan perdebatan historisnya. Bali adalah realitas kebudayaan, sedangkan Hindu adalah realitas keagamaan. Sering muncul pertanyaan apakah Bali telah di-agama-kan atau Hindu telah di-Bali-kan?.
Howe dan Picard melalui analisis wacana ke-Bali-an menyatakan bahwa syarat utama seseorang untuk bisa disebut dengan Bali adalah dengan menjadi Hindu. Namun menjadi Hindu belum bisa disebut Bali karena Bali sebagai konsep kebudayaan yang dibendakan itu telah menjadi domain adat. Hindu yang dimaksud merujuk pada ritual dan praktik-praktik adat. Praktik Hindu yang menyimpang dari ketentuan adat tidak bisa disebut sebagai Bali.
Kesimpulannya adalah Hindu berfungsi sebagai penanda seseorang atau kelompok untuk bisa disebut sebagai Bali. praktik-praktik menyimpang dalam ritual ke-Hindu-an mengakibatkan dikotomi ke-kita-an dan ke-mereka-an sehingga manajemen normalitas yang berada pada domain adat akan dikeluarkan dalam wujud sanksi adat. Analisis Howe dan Picard di atas bisa digunakan untuk memahami perseteruan antara desa adat yang dikatakan sebagai benteng kebudayaan Bali oleh Carol Warren dengan sampradaya seperti Hare Khrisna dan Sai Baba. Dengan melihat realitas historisnya, ajeg Bali bukanlah fenomena kontemporer yang berlangsung pasca Bom Bali I di tahun 2003 melalui seri peluncuran buku “Ajeg Bali : Sebuah Cita-Cita” oleh Media Bali Post. Kemunculannya mengundang perdebatan tiada henti, namun yang menarik bahwa fenomena ini tidak lebih dari pengelolaan wacana oleh intelektual organik dan tradisonal Bali yang merasa dirinya “Bali” dan secara tidak langsung dengan adanya perubahan massif terhadap Bali merasa kedudukannya terancam. Jejak-jejaknya diungkapkan dalam tulian Nyoman Wijaya yang mematahkan terminologi “ajeg” yang memiliki kecenderungan mem-benda-kan bukan bahasa yang baik dan benar.
Dengan melihat fenomena bahwa perubahan adalah yang kekal dan Bali tidak bisa dilepaskan dari perubahan zaman, ia menawarkan konsep “rajeg”, yakni sebuah konsep yang melihat perubahan Bali bukan secara statis dalam kacamata “ajeg” yang melakukan romantisasi dan pencarian terhadap yang “asli” terhadap kebudayaan Bali, melainkan perubahan diterima sebagai keniscayaan sebagaimana sebuah roda cakraning manggiling prawerthi yang tidak hanya berputar pada porosnya tetapi juga pada lintasannya. Dengan begitu maka didapatkan sebuah bangun kebudayaan Bali yang humanis, cair dan tidak kaku.
Keempat, jejak-jejak esensialisme masih terasa kuat di dalam buku ini. Saya menggarisbawahi kata “bringas” dan “bengis” yang secara berkelindan ditempelkan dalam entitas Bali sehingga seakan-akan perioaku buruk itu inheren dalam diri orang Bali. Stuart Hall menyatakan bahwa identitas adalah sesuatu yang berproses (becoming) daripada nilai baku yang taken for granted. Stella Ting-Toomey menegaskanidentitas dipandang sebagai citra diri reflektif yang dikonstruksi, dialami, dan dikomunikasikan oleh para individu dalam satu budaya dan dalam satu situasi interaksi tertentu. Manuel Castells menyebut kondisi keterhimpitan manusia Bali sebagai resistensi atau resistance identity, yakni proses bertahannya identitas sebagai bentuk perlawanan atau dalam hal ini dihasilkan oleh mereka yang sedang dalam posisi yang lemah karena stigma dari pihak yang mendominasi dan biasanya digunakan lebih mengarah kepada kegunaan politik identitas. Homi K. Babha menyebut identitas perlawanan sebagai keterlibatan dan penyesuaian seseorang atau kelompok inferior ke dalam identitas kelompok superior atau dominan ke dalam lembaga yang memiliki fungsi memformat ulang identitas sebelumnya.
Melalui penjelasan itu bisa disimpulkan bahwa kategori “bringas” bukanlah prilaku yang menubuh (embodied) dalam aktivitas kolektif orang Bali, melainkan hasil dari proses negosiasi ditengah pergulatan identitasnya. Ini sekaligus menjadi ironi di tengah tawaran konsep dekonstruksi yang ingin dicapai dalam buku ini untuk memahami bangun kebudayaan Bali agar tidak mengalami kemandegan yakni dengan melakukan pembongkaran ulang secara terus-menerus di tengah arus perubahan dan label “haram” esensialisme kebudayaan.
Kelima, terkait dengan historiografi 1965 yang disodorkan penulis dengan mennyajikan sumber sejarah lisan yang padat nampaknya masih terjebak pada keberpihakan yang bersifat irasional sehingga narasi yang coba dibawakan lebih mirip laporan lembaga bantuan hukum, alih-alih menghadirkan suara-suara yang dibungkam seperti yang dinubuatkan subaltern studies.
Keberpihakan, walau bagaimanapun meski kuat dimensi subjektivitasnya merupakan sikap yang sah-sah saja dalam dunia akademik, namun keberpihakan yang dikuasai oleh rasa empati yang berlebihan itu justru menumpulkan logika keilmuan. Ada baiknya penulis menoleh karya Bambang Purwanto saat pengukuhannya sebagai guru besar bidang ilmu sejarah di Departemen Ilmu Sejarah UGM tahun 2004 yang berjudul Gagalnya Historiografi Indonesia sentris?.
Secara satire, tulisan itu menyentil konsep pelurusan sejarah ala Asvi Warman Adam yang merintis usaha menyuarakan korban 1965. Oleh Bambang, apa yang dilakukan Asvi dibalut empati berlebihan efek dari historiografi indonesiasentris itu tidak ubahnya telah melahirkan historiografi yang otoriter yang tanpa sadar menafikan komparasi narasi dengan pelaku.
Terkait dendam antara pelaku dan korban akibat historiografi yang tidak berimbang, oleh Budiawan di dalam disertasinya di National University of Singapore berkesimpulan bahwa orang-orang PKI cenderung mengingat hal-hal buruk yang menimpa mereka setelah 65, namun cenderung melupakan perlakuan buruk yang mereka lakukan kepada lawan politiknya sebelum 65. Pun begitu dengan pelaku, cenderung mengingat perlakuan buruk orang-orang PKI sebelum 65, sambil bersikap buta dan tuli atas perlakuan buruk yang mereka timpakan kepada orang-orang PKI setelah 65. Oleh sebab itu, baik Bambang dan budiwan meyepakati rekonsiliasi sebagai jalan terbaik meredakan permusuhan. Rekonsiliasi adalah usaha mempertemukan pihak-pihak yang bertikai dan terlibat konflik masa lalu, memaafkan tetapi tidak melupakan. Melalui usaha rekonsiliasi ini, diharapkan generasi mendatang yang lahir dari rahim keduanya akan memiliki rasa cinta ksih dan jauh dari dendam masa lalu.
Menyikapi masalah itu, dibutuhkan historiografi 65 yang tidak lagi menarasikan siapa pelaku dan siapa korban, lebih dari itu adalah mengupayakan jalan damai di antara keduanya. Karya Ngurah pada chapter tentang Tragedi 1965, seperti yang dikatakan John Rosa dan Ratna Saptari dalam nukilan singkat review saya di atas, lebih banyak menghasilkan bara (permusuhan) ketimbang cahaya (kedamaian).
Terakhir, hal yang msih menggelayut dalam pikiran saya terkait posisi penulis dalam merespon tagline buku ii, Bali yang berubah. Di kata pengantar, penulis diposisikan sebagai kelompok I, yakni kelompok yang disandingkan bahkan diantitesiskan dengan kelompok kedua yang melihat perubahan sosial orang Bali hanya terjadi di permukaan saja, sehingga pergeseran-pergeseran dari aspek teosofisitik ke aspek libidosofistik hanya tampilan luar, belum menyentuh esensi budaya Bali sehingga dalam pikiran mereka, Bali akan tetap Bali meski serbuan global datang bertubi-tubi. Berbeda dengan kelompok II, kelompok I merasakan kekhawatiran terhadap disorientasi praktik sosial budaya orang Bali.
Kebingungan saya menemukan titik temu manakala posisi penulis di awal kata pengantar itu dihubungkan dengan gerakan kultural ajeg Bali, jika penulis adalah bagian dari kelompo I, maka penulis termasuk golongan kelas menengah yang membayagkan otentisitas kebudayaan Bali? Atau dalam pandanga Gramsci sebagai intelektual organik?. Di sisi yang lain, narasi yang coba diketengahkan tentang ajeg Bali adalah sebuah dekonstruksi terhadap bangun budaya Bali yang terus berubah.
Namun begitu, semangat berapi-api sebagai hasil keresahan dan kegagalauan penulis buku yang ingin ditularkan kepada pembaca bahwa Bali realita dan Bali imajinasi telah mengalami kesenjangan yang lebar patut diberikan apresiasi. Walaupun jejak esensialisme begitu kental, tetapi bagi pemula yang ingin mengetahui tentang Bali dari sisi lain, buku ini menawarkan khasanah baru untuk membuka wawasan tentang Bali.
Daftar Rujukan
AAGN Ari Dwipayana. 2001. Kelas Kasta : Pergulatan Kelas Menengah di Bali. Yogyakarta : Lapera Pustaka Utama.
Atmadja, Nengah Bawa. 2010. Genealogi Keruntuhan Majapahit : Islamisasi, Toleransi dan Pemertahanan Agama Hindu di Bali. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Babha, Homi K. 1994. The Location of Culture. London & New York : Routledge.
Barth, Fredrik. 1993. Balinese Worlds. Chicago & London : The University of Chicago Press.
Budiasa, I Made Dkk. 1997. Konsep Budaya Bali Dalam Geguritan
Sucita Subudhi. Jakarta :
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Castells, Manuel. 2010. The Information Age : Economy, Society and Culture ; The Power of Identity. United Kingdom : Blackwell Publishing Ltd.
Covarrubias, Miguel. 1972. Island of Bali. Inggris : Oxford University Press.
Gramsci, Antonio. 1971. Selection From The Prison Notebook, edited and translated by
Quintin Hoare and Geofrey Nowell Smith. New York : International Publisher.
Hall, Stuart. “Who Need Identity” dalam Stuart Hall & Paul du Guy (ed). 2003. Question of Cultural Identity. London : Sage Publition.
Howe, Leo. 2001. Hinduism and Hierarchy in Bali, World Anthropology. Oxford : School of American Research Press.
Nordholt, Henk Scholte. 1986. Bali Colonial Conceptions and Political Change 1700-1940 ; From Shifting Hierarchies to Fixed Order. Rotterdam : Casp 15.
——————————-. 1991. State, Village, and Ritual in Bali : A Historical Perspective.
Amsterdam : VU University Press for Centre Asian Studies Amsterdam-Comparative Asian Studies 7.
——————————-. “From Wangsa to Bangsa : Subaltern Voices and Personal Ambivalences in 1930s Colonial Bali” dalam To Change Bali : Essay in Honour of Gusti Ngurah Bagus, Adrian Vickers, I Nyoman Darma Putra dan Michele Ford, ed. 2000. Denpasar : Bali Post.
Picard, Michel. “What’s in a Name? Agama Hindu Bali in The Making” dalam Hinduism in Modern Indonesia: Minority Religion Between Local, National and Global Interest, Martin Ramstedt, ed. 2004. London&New York : RoutledgeCurzon.
Reuter, ed. 2003. London and New York : RouledgeCurzon.
Schaublin, Brigitta Hauser. “Spiritualized Politics and The Trade Mark of Culture : Political Actors and Their Use of Adat and Agama in Post Suharto Bali” dalam The Politics of Religion in Indonesia : Syncretism, Orthodoxy and Religious Contention in Java and Bali, Michel Picard and Remy Madinier, ed. (USA : Routledge, 2011), hlm. 199.
Toomey, Stella Ting. 1999. Communicating Accros Cultural. USA : Guilford Press.
Warren, Carol. “Adat and Dinas : Village and State in Contemporary Bali” dalam State and Society in Bali, Hildred Geertz, ed. 1991. Leiden : KITLV Press.
Weitzel, August Wilhelm Philip. 2010. De Derde Militaire Expeditie Naar Het Eiland Bali, In 1849: Met Drie Kaarten (1859). England : Kessinger Publishing Company.
Nyoman Wijaya, “Mencintai Diri Sendiri : Gerakan Ajeg Bali dalam Sejarah Kebudayaan Bali 1910-2007”, Disertasi UGM tahun 2009. Tidak diterbitkan.
Wingarta, Putu Sastra. 2009. Meboya : Kearifan Lokal Buleleng dan Restorasi Nilainya. Yogyakarta : Sekolah Pasca Sarjana Universitas Gadjah Mada.