EUFORIA Asian Games 2018 beberapa hari lalu memang masih terngiang di benak masyarakat Indonesia. Terlebih setelah Indonesia berhasil menduduki posisi 4 besar di bawah negara China, Jepang dan juga Korea Selatan.
Bagaimana tidak senang? Ini merupakan capaian di luar target dimana Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo, menargetkan Indonesia meraih peringkat 10 besar. Namun, sungguh “lancang” para atlet Indonesia, mereka berhasil membawa Indonesia pada peringkat 4 pada acara yang sangat bergengsi di Asia tersebut setelah sebelumnya Indonesia hanya menduduki peringkat 17 pada tahun 2014 dalam Asian Games yang diselenggarakan di Korea Selatan.
Tentu saja, hal ini tak lepas dari Indonesia sebagai tuan rumah pada tahun ini dimana semangat para atlet tentunya lebih terpompa saat bermain di rumah sendiri. Tak hanya dalam hal prestasi, semarak kemeriahan nya pun sudah terasa saat Opening Ceremony Asian Games (18/8). Acara yang diadakan di Gelora Bung Karno (GBK) tempo hari menuai decak kagum tidak hanya dari dalam negeri namun juga mancanegara.
Mulai dari adegan Jokowi mengendarai motor gede ketika memasuki Stadion GBK, penampilan para artis dan pertunjukan kebudayaan yang mencerminkan pada Dunia tentang bagaimana Indonesia sesungguhnya.
Tidak sampai disana, para atlet pun turut bersumbangsih dalam laga yang bisa dikatakan mempersatukan masyarakat Indonesia ini. Banyak nya medali yang diraih serta momen dipersatukannya dua tokoh politik, Jokowi dan Prabowo oleh atlet pencak silat Hanifan Yudani. Ketiganya berpelukan dalam balutan bendera Merah Putih setelah Yudani berhasil menyabet medali emas dalam partai final pencak silat.
Closing Ceremony 2 September pun tak kalah meriah. Meskipun dari skala kemewahan lebih kecil jika dibandingkan dengan Opening Ceremony, hal itu tak jadi masalah karena memang fokus daripada Closing Ceremony ialah bentuk apresiasi kepada para atlet dari setiap negara sekaligus selebrasi atas suksesnya acara Asian Games tahun 2018 ini.
Dari sederetan hal-hal menakjubkan tadi, ada satu hal menarik yang menyita perhatian saya ketika menonton Opening dan Closing Ceremony Asian Games 2018. Tentunya ini bukan kritik ngawur ngalor-ngidul seperti yang warganet katakan prihal Stuntman Jokowi maupun lip-sync para artis ketika perform di atas panggung.
Terlepas dari kritikan-kritikan tersebut, saya pribadi merasa bangga dengan apa yang telah Indonesia tunjukan kepada Dunia bahwa Indonesia adalah negara yang besar yang memiliki jutaan potensi baik sumber daya alam maupun sumber daya manusianya.
Nah, hal yang menarik perhatian saya ialah lagu Garuda di Dadaku yang dikumandangkan dalam beberapa kesempatan saat Opening dan Closing Ceremony. Saat Opening Ceremony lagu tersebut dikumandangkan setelah parade kebudayaan dan ketika Closing Ceremony lagu tersebut tepat dinyanyikan di akhir acara.
Dalam acara apapun khususnya dalam acara olahraga, ketika lagu Garuda di Dadaku dinyanyikan saya langsung teringan akan sebuah pernyataan yang jujur saya lupa dimana saya mendengar pernyataan tersebut. Pernyataannya seperti ini:
“Ketika orang-orang lebih memilih menyanyikan lagu Garuda di Dadaku daripada lagu Garuda Pancasila”
Sejak saat itu, kata-kata tersebut terus merasuk dalam diri saya. Benar saja, sejak mendengar pernyataan tersebut, pandangan saya ketika mendengar orang-orang menyanyikan lagu Garuda di Dadaku pun mulai bergeser. Dari yang awalnya senang menyanyikan lagu tersebut sekarang tetap senang hanya saja ada yang mengganjal di pikiran saya.
Tanya saya dalam diri: “Benar juga ya pernyataan itu, kenapa saya tidak pernah mendengar orang-orang menyanyikan lagu Garuda Pancasila saat ada acara olahraga? Mengapa para supporter lebih sering menyanyikan lagu Garuda di Dadaku?? Padahal kan sama-sama berisi kata Garuda”
Pertanyaan-pertanyaan tersebut terus menggerogoti otak saya hingga tiba saatnya Indonesia dihadapkan pada sebuah event olahraga Internasional yakni Asian Games itu sendiri. Ini mungkin merupakan momentum dimana saya bisa mencurahkan apa yang selama ini saya resahkan.
Dan beruntungnya, keresahan saya benar-benar terjadi pada Asian Games 2018 ini. Lagu Garuda di Dadaku yang dinyanyikan oleh grup band Netral ini awalnya memang dibuat untuk mengisi soundtrack film dengan judul yang sama. Bak gayung bersambut, lagu mereka pun menjadi salah satu lagu tentang nasionalisme paling fenomenal di Indonesia.
Lagu Garuda di Dadaku telah mampu merangkul segenap masyarakat Indonesia untuk larut dalam sebuah rasa persatuan dan kebersamaan. Tak hanya lagu Garuda di dadaku, beberapa lagu bertema nasionalisme pun turut mengambil andil seperti Bendera (Cokelat), Kebyar-kebyar (Gombloh), Merah Putih (Tyas D) dan lain-lain.
Lagu-lagu tersebut telah bermetamorfosis menjadi lagu wajib (baca: lagu nasional). Mengapa saya menggunakan kata metamorphosis? Tentu kita mengetahui bahwa metamorphosis adalah proses perubahan dari ulat menjadi kupu-kupu pada serangga kupu-kupu. Proses ini tentunya mengubah hal yang biasa saja menjadi hal yang sangat indah terlebih sangat istimewa.
Terlahir sebagai lagu biasa yang hanya ditujukan untuk merekatkan masyarakat bangsa Indonesia, kini lagu-lagu tersebut sudah bermetamorfosis menjadi lagu kebangsaan yang seolah-olah wajib dikumandangkan saat acara-acara khususnya yang bersifat olahraga di kancah Internasional.
Lalu ketika lagu-lagu pop khususnya lagu Garuda di Dadaku bermetamorfosis menjadi lagu kebangsaan, lantas lagu kebangsaan seperti Garuda Pancasila berubah menjadi apa? Kalau kita lihat dari segi syair lagu, kedua nya sama-sama memiliki syair yang berisi dukungan.
Seperti misal pada lagu Garuda di dadaku terdapat lirik
“…Kobarkan semangatmu, tunjukan sprotivitasmu, ku yakin hari ini pasti menang…”
Dan pada lagu Garuda Pancasila terdapat lirik:
“…Patriot Proklamasi sedia berkorban untukmu…… ayo maju, maju Ayo maju….”
Dari kedua lagu yang sama-sama berjudul GARUDA tersebut, kita bisa simak bersama bahwa secara garis besar kedua lagu tersebut mengisyaratkan dukungan, harapan kepada para patriot bangsa ini. Jikalau sudah begitu, mengapa keduanya tidak dinyanyikan saja oleh para supporter saat mendukung para pahlawan (baca: atlet) kita saat berlaga?
Apakah kepopuleran lagu Garuda di Dadaku telah menggeser posisi Garuda Pancasila?
Saya tidak mempermasaahkan atau menyalahkan masyarakat yang menyanyikan lagu Garuda di Dadaku. Hanya saja bukankah hal ini pantas untuk kita renungkan secara seksama? Saya pun sempat berfikir, apakah lagu yang dinyanyikan band Netral tersebut sudah diubah statusnya menjadi lagu nasional?
Faktanya dilansir dari Sport.detik.com, lagu tersebut sempat diajukan untuk diubah statusnya menjadi lagu kebangsaan melalui pemerintah (baca: Kemenpora) namun hingga saat ini, gubrisan tersebut tiada hasilnya.
“Biarin sajalah” ungkap Netral selaku band yang membawakan lagu tersebut.
Hal yang dapat saya simpulkan adalah bahwa sebelumnya pernah ada usaha untuk me-nasional-kan lagu Garuda di Dadaku karena dirasa sudah bermetamorfosis. Apakah pemerintah yang dalam hal ini Kemenpora memiliki aturan terkait syarat sebuah lagu bisa menjadi lagu nasional? Hal itupun belum diketahui sampai sekarang.
Sebelum kita menuju pada sebuah titik terang dimana pertanyaan saya ini menemukan jawabannya, adakah dari pembaca sekalian yang mau membantu saya untuk menjawab bagaimanakah seharusnya lagu-lagu kebangsaan, wajib atau nasional ini agar tetap eksis di hati masyarakat khususnya kawula muda saat event-event besar keolahragaan maupun event yang bersifat mengharumkan nama bangsa berlangsung?
Secara pribadi, menurut saya, lagu-lagu wajib nasional seolah punah dikarenakan kita sudah jarang menggunakan (baca: menyanyikan) mereka lagi pada event-event dimana semestinya mereka dikumandangkan. (T)