PADA sore yang cerah, ruang kelas tempat saya mengajar semakin gerah. Jumlah siswa yang lebih dari tiga puluh orang membuat ruangan semakin terasa tak nyaman. Apalagi ruangan tidak dilengkapi dengan pendingin ruangan.
Saat itu sedang berlangsung pembelajaran bahasa Indonesia, yaitu menulis teks opini. Muka-muka siswa saya tampak kebingungan, ada yang menatap dengan tatapan kosong, tidak jarang ada yang menguap. Saya tentu maklum, siswa sudah kelelahan sebab harus berada di kelas hingga jam empat sore. Full day school istilah kerennya. Siswa saya bertambah gelisah sebab keringat mereka semakin deras mengucur. Entah karena gerah, entah karena sekarang mesti menulis teks.
Menulis memang menjadi momok yang menakutkan bagi sebagian siswa saya. Kata mereka menulis itu sulit. Saya mengiyakan, namun saya melihat mereka mampu melakukannya. Alasan saya, mereka aktif di media sosial dan sering menulis kicauan yang panjang mengenai hal-hal yang mereka lakukan. Tentu saja mereka tidak mengalami kesulitan dalam menulis, bukan?
Saya lalu bertanya perihal penyebab siswa kesulitan dalam menulis, khususnya jika menulis saat pelajaran di kelas. Menulis memang sulit tapi bukan mustahil untuk dipelajari kata saya di depan kelas dengan sok tahu. Merespon pertanyaan yang saya lontarkan, beberapa siswa buka mulut. Dari jawaban mereka, setidaknya ada empat hal yang menghambat siswa dalam menulis, yaitu kebuntuan ide, kesulitan menyusun kalimat, takut salah ejaan, dan malas. Bagi penulis, ini adalah jawaban jujur.
Lalu saya kembali bertanya, lalu apa bedanya dengan menulis di facebook? Seorang siswa nyeletuk, kan tulisannya tidak dinilai, Pak. Saya menjawab dengan oooo yang panjang. Mengapa tidak lakukan hal yang sama, kata saya. Mereka pun saling menatap kebingungan.
Saya pun mulai mendongeng. Bagi saya mendongeng cukup baik digunakan daripada power poin. Saya memulai dongeng saya dari fenomena semakin jarangnya surat digunakan sebagai media komunikasi. Begini dongeng saya ketika itu.
Zaman secanggih sekarang, surat menyurat makin ditinggalkan. Terutama surat yang ditulis tangan dalam secarik kertas lalu dilipat dan dimasukkan ke dalam amplop. Pada bagian luar tertulis alamat tujuan surat dan siap untuk dikirim pak pos atau diselipkan di kolong meja orang yang menjadi tujuan. Sejak beberapa tahun lalu surat sudah berpindah ke bentuk elektronik, dengan bentuk dan nama yang lebih keren. Namanya surat elektronik dan tak perlu kertas apalagi bolpoin untuk menulisnya.
Siswa-siswa saya mendengarkan dengan khusyuk. Tumben mereka mendengar dengan begitu antusias. Mumpung situasinya mendukung, dongen saya lanjutkan.
Segala yang berbentuk elektronik telah menjadi hal yang keren, mulai dari KTP elektronik hingga uang elektronik. Memang, orang-orang zaman sekarang sangat suka hal yang praktis. Mau kemana tinggal sewa kendaraan via aplikasi. Pesan makanan tinggal pakai aplikasi. Begitu pula menyampaikan cinta dengan aplikasi.
Hanya pegawai kantor pemerintahan dan pegawai tata usaha di sekolah-sekolah yang saya lihat menggunakan surat untuk berkomunikasi. Itupun surat tak lagi ditulis tangan, sudah semua diketik.
Mendengar bagian ini, siswa-siswa saya mulai gaduh. Ada yang melempar cieeeeeeeee dengan panjang. Mereka saling tunjuk dan bercertia tak beraturan sebab semua berbicara tanpa arah jelas. Saya memberi intruksi bahwa cerita belum selesai. Perlahan suasana tenang kembali dan mereka mendengar lagi.
Menyatakan perasaan ke lawan jenis pun saat ini tidak menggunakan surat, saya melanjutkan.
Siswa saya menjawab dengan anggukan. Ada sebagian yang tersenyum seakan mengiyakan dan mengatakan bahwa dia juga melakukannya.
Cukup dengan membuka aplikasi obrolan lalu isi hati ditulis melalui chat. Tentu saja chat lebih simple. Lebih praktis daripada harus menulis surat cinta, bukan? Zaman sekarang mungkin menulis surat cinta hanya dilakukan ketika ospek di kampus atau di sekolah-sekolah. Kalo ospek dihapuskan, tampaknya aktivitas menulis surat cinta tak akan ada lagi.
Jika menyatakan cinta dengan surat apalagi bertemu langsung, tentu saja dibutuhkan nyali yang besar. Dengan chat, seseorang tak perlu berpikir keras untuk buat surat atau keberanian bertatap muka langsung dengan calon pacar. Ya, calon pacar, kan belum tentu diterima. Dengan bantuan chat, seseorang akan lebih santai dan dapat menyembunyikan kesedihannya jika ditolak.
Mungkin hal ini juga menjadi alasan seseorang memutuskan hubungan pacaran dilakukan melalui chat. Selain lebih hemat, melalui chat jelas membuat seseorang bisa berpikir dahulu. Tidak menyatakan langsung yang mengharuskan kesiapan mental dan berbahasa yang cukup.
Dongeng saya belum selesai, jam pelajaran malah sudah selesai. Sebagian siswa saya bersorak, sebagian masih penasaran dengan maksud cerita saya dan seakan tidak mau beranjak. Memang hari itu saya tidak menyajikan materi apa pun. Siswa juga belum memulai apapun. Setengah esai saya ini tak memberikan solusi apapun.
Seperti layaknya seorang guru, saya menugaskan kepada siswa-siswa saya untuk menulis opini tentang apapun pada buku latihan mereka. Dengan sedikit ancaman bahwa opini tersebut akan didiskusikan pada pertemuan berikutnya. Harapannya semoga mereka mau berusaha.
Pelajaran bahasa Indonesia begitu kompleks. Banyak materi yang bisa masuk dalam pelajaran ini. Banyak jalan menuju Roma katanya, begitu pula banyak cara yang bisa dilakukan untuk menyajikan sebuah materi pelajaran bahasa Indonesia. Setidaknya itu bagi saya.
Pembelajaran bahasa Indonesia terintegrasi dalam empat keterampilan berbahasa, yaitu keterampilan mendengarkan, berbicara, membaca dan menulis. Salah satu keterampilan berbahasa yang cukup kompleks adalah menulis.
Keterampilan menulis dikatakan kompleks karena penggunaan aspek kebahasaan seperti bentukan kata, diksi, dan struktur kalimat perlu disusun secara efektif. Penerapan ejaan dan tanda baca perlu dilakukan secara tepat dan fungsional. Keterampilan menulis diajarkan dengan tujuan agar siswa mempunyai kemampuan dalam menuangkan ide, gagasan, pikiran, pengalaman, dan pendapat dengan benar.
Saya menyadari, ketika siswa diajak untuk mengungkapkan gagasan dalam bentuk tulisan seketika akan muncul kebingungan di wajah-wajah mereka. Ini berkali-kali terjadi sepanjang saya mengajar materi menulis. Bahkan ada yang sampai mengerut-ngerutkan dahi berpikir tentang hal yang akan ditulis. Namun, ini hanyalah respon awal. Setelah didampingi, pelan-pelan para siswa dapat mengungkapkan gagasan mereka dalam bentuk teks.
Saya memberikan teori sederhana yang entah saya baca dimana. Anak-anak, tulislah hal-hal yang kalian ketahui, kata saya berteori. Untuk mengawali belajar menulis, hendaknya memang dimulai dari mencoba, lanjut saya. Ambil pena dan kertas, langsung praktik dan singkirkan segala teori menulis yang hanya buat takut. Itulah kalimat-kalimat pemungkas saya untuk membangkitkan keberanian siswa dalam menulis.
Jika diuraikan lebih detail kesulitan tersebut meliputi:
a) Ketidakmampuan menguraikan gagasan.
b) Tidak mampu menentukan judul karangan.
c) Ketidakmampuan menjabarkan ide ke dalam bentuk kalimat dan paragraf.
d) Ketidakmampuan merangkai paragraf-paragraf menjadi satu kesatuan yang utuh.
e) Ketidakmampuan dalam memilih kata.
f) Ketidakmampuan dalam menggunakan huruf besar.
g) Ketidakmampuan dalam menggunakan tanda baca.
Data itu didapat dari hasil riset kecil-kecilan dari siswa-siswa yang saya ajar.
Mengamati lebih jauh kesulitan siswa dalam proses menulis memang sangat kompleks. Terkait kebuntuan ide misalnya, sebab siswa jarang membaca. Padahal membaca adalah bahan bakar utama dalam menulis. Solusinya untuk mengawali proses menulis adalah dengan menulis hal-hal yang diketahui. Sehingga proses menulis akan lebih lancar.
Ide sesungguhnya ada di mana saja. Kebuntuan ide harusnya tidak ada jika siswa peka dengan sekitar. Sebab ide bisa ditemukan di mana-mana. Ide jangan ditunggu, ide haruslah ditemukan.
Terkadang siswa memerlukan media agar dapat mengeluarkan gagasannya. Hal ini dilakukan sebagai pemantik agar siswa lancar mengeluarkan ide-ide menggunakan bahasa Indonesia. Apalagi berhadapan dengan siswa-siswa yang kurang lancar menggunakan bahasa Indonesia dalam komunikasi.
Pengakuan salah satu siswa terkait kesulitan kesalahan ejaan, sebab siswa tidak dibiasakan untuk menulis sesuai dengan ejaan yang berlaku oleh guru yang mengajar. Seharusnya, ini tidak hanya menjadi tugas guru bahasa Indonesia saja. Semua guru hendaknya memilik fokus yang sama terhadap ketaatan menggunakan ejaan umum bahasa Indonesia.
Namun kenyataannya di lapangan, banyak guru bahkan yang mengajar mapel bahasa Indonesia tidak taat dengan ejaan umum bahasa Indonesia. Jika mau dicari sebabnya tentu saja begitu kompleks.
Esai ini mencoba mengurai kesulitan siswa dalam pembelajaran menulis. Harapannya para guru dapat menemukan solusi atau cara-cara untuk membantu siswa dalam menulis. Menulis merupakan keterampilan berbahasa yang paling rumit.
Suatu tulisan pada dasarnya terdiri atas dua hal. Pertama, isi tulisan menyampaikan sesuatu yang ingin diungkapkan penulisnya. Kedua, bentuk yang merupakan unsur mekanik karangan seperti ejaan, kata, kalimat, dan paragraf. Kedua hal tersebut harus bisa diatasi agar kesulitan menulis tidak terjadi.
Mengenai cara guru mengatasi kesulitan siswa dalam pembelajaran menulis, meliputi:
a) Memberi kesempatan kepada siswa untuk menceritakan pengalamannya dengan singkat.
b) Membantu siswa memilih salah satu topik yang akan dikembangkan menjadi karangan,
c) Memberikan contoh topik karangan dan mengajak siswa melengkapi topik tersebut dengan gagasan-gagasan yang relevan.
d) Mampu berperan sebagai model agar siswa mendapat gambaran bagaimana proses menulis.
e) Mengajak siswa berdiskusi mengenai ejaan, kalimat dan paragraph.
f) Membimbing siswa yang memerlukan bantuan saat mengembangkan kerangka karangan.
g) Berusaha tidak menginterupsi siswa tentang ejaan dan aturan-aturan penulisan agar siswa tidak ketakutan dan terhambat.
Semoga lebih banyak siswa yang bisa terlepas dari kesulitan menulis. Menulis adalah sebuah kreativitas yang harus dikuasai. Walaupun untuk mencapai itu harus melalui proses yang cukup panjang. Tidak sekali jadi. Harapannya, semoga esai ini ada gunanya. (T)