MEMULAI menanam padi disebut nandur atau memula. Memula asal katanya “mula” atau “awal”. Kata nandur konon bermakna nandu atau menyakap. Pelakunya sering disebut penandu atau penyakap.
Tentu mudah dipastikan bahwa peyakap kata asalnya adalah sakap. Lalu apa artinya? Bila ditelusuri dan bagaimana kata sakap digunakan oleh tetua kita sejak dulu, bisa berarti menjabat atau memegang pekerjaan dan atau upacara yang bertujuan “menunggalkan” atau “mempersatukan”. Kata me-sakap-an pun hingga kini masih digunakan dalam upacara manusa yadnya-pawiwahan (I Gusti Ketut Kaler,1994).
Dalam bidang pertanian kata penyangkap berarti orang yang mengerjakan tanah bukan miliknya, yang dari tanah bersangkutan ia mendapat sebagian hasil sebagai upahnya. Lalu siapakah pemilik tanah itu?
Makna “pemilik” jika merujuk pada Catur Dresta, terkait dengan empat komponen dasar, yaitu sejarah masa lalu (kuna dresta) , tata cara atau kebiasaan di sebuah wilayah (loka dresta), kemudian tata cara di wilayah desa sendiri (desa dresta) dan tentunya harus sesuai dengan nilai-nilai agama/pengetahuan suci (sastra dresta). Keempat komponen itu tidak bisa dipisahkan laksana satu kesatuan tubuh yang saling melengkapi.
Berangkat dari konsepsi itu saya pun menjadi mengerti mengapa di masyarakat subak masih sangat menyakini bahwa: tanah atau pertiwi adalah milik sang pencipta, Ida Sang Yang Widhi Wasa. Manusia atau pentani hanya petugas (swadharmaning) sebagai penandu atau penyakap saja.
Apa pun yang dilakukan di tanah pemilik harus di “permaklumkan” (mapekeling) dengan baik dan bijak kepada Yang Parama Kawi, Tuhan dan Para Leluhur. Misalnya saat mulai mengolah lahan petani, mengawalinya dengan mapekeling ngaturang banten. Begitu juga saat mencari air (magpag toya), petani pun melakukan upacara suci di empelan atau hulu. Begitu seterusnya, sampai mapakeling saat menaruh padi di lumbung.
Masyarakat petani (subak) memang dekat dengan urusan pengolahan tanah (pertanian), maka mereka relatif masih meyakini dan menjalankan dengan sungguh-sungguh parikarama subak. Tidak berani sembarang mengolah lahan apalagi menjual tanpa tujuan yang jelas. Bahkan carik pun diyakini sebagai pelinggih Ide Batara-Dewi Sri. Menjual pelinggih atau menelantarkan pelinggih sama saja dengan kegelapan (awidya), ampah dan campah.
Jika demikian profesi apakah di muka bumi ini yang tidak berpijak atau berhubungan dengan soal tanah/pertiwi? Adakah aktivitas manusia yang tidak menyentuh tanah? Misalnya seorang pilot, saat bekerja mungkin dia ada di angkasa. Tapi saat mendarat pulang ke rumah seorag pilot pasti menginjak tanah dan rumahnya di atas tanah. Jika terminologi ini digunakan maka wacana Budaya Subak tidak hanya identik dengan petani, carik dan padi, melainkan juga dengan berbagai kehidupan.
Dan kini ketika banyak orang menjual carik. Memang tanah yang dijual itu sudah memiliki sertifikat hak milik. Itu benar secara hukum kedinasan atau hukum negara. Namun secara budaya dan keyakinan, sudahkah merujuk pada keyakinan catur dresta? Jika belum, jangan-jangan selama ini sudah banyak orang yang menjual tanah, yang secara spirit dan hakekat budaya Bali, bukan haknya atau bukan miliknya.
Jika menjual carik/tanah terpaksa dilakukan, apakah si penjual sudah ingat, eling, untuk melakukan pakeling (permakluman) kepada pemilik yang utama-Sang Pencipta, minimal di merajan-nya? Jika belum, hati-hati, bisa terjadi “pidana niskala”, tulah lan kepongor. Sekali lagi, hati-hati. (T)