… Agung Kerung (keturunan Mengwi) bersekutu dengan Cokorda Sukawati dari Ubud dan secara terang-terangan melawan Dewa Agung Klungkung. Koalisi baru itu memutuskan untuk mengadakan serangan bersama terhadap pengikut Dewa Agung yang masih menguasai wilayah selatan Gianyar. Pada bulan Juli 1890 dan Januari 1891 para musuh memberi perlawanan di dekat Desa Negari di Gianyar. Tetapi, sekutu Klungkung tetap kokoh.
Pada bulan Mei 1891 serangan baru terhadap Negara (Gianyar) dilakukan, dan kali ini pasukan Ubud dan Mengwi menang, Puri Negara (Negari) dibakar habis dan perlawanan Klungkung terlihat pecah.[I]
Hubungan antara perang dan bercokolnya koloni baru di bekas wilayah perang sudah lumrah dalam catatan lontar babad, ini juga menandakan dibangunnya peradaban baru. Silakarang pada abad itu menjadi saksi pertempuran hebat antara Negara-Negari vs Ubud yang disokong oleh Gianyar dan Mengwi di masa keruntuhannya.
Setelah kepunggawaan Negara (Batuan, Gianyar) yang memihak Klungkung dibumi-hanguskan oleh Ubud dan sekutunya menandakan politik kerajaan di Bali masih memanas. Perseteruan antar keluarga bangsawan itu akibat dari ketegangan politik kerajaan yang mewarnai panggung sejarah kelam Bali. Setelah hilangnya pengaruh kerajaan Klungkung di wilayah Gianyar itu, perlahaan mulai dibangun lagi desa-desa kecil dengan menempatkan para punggawa dan pemekel, yang pro terhadap mereka yang menang dari perang brutal.
***
Mari sruput dulu kopi di gelas yang aromanya menggoda otak, rokok pun jangan lupa dihidupkan (bagi yang ngerokok lho ya), agar ketegangan ini menjadi damai akibat bayangan perang brutal para penguasa yang urung saling rangkul, dan yang terpenting adalah mengingatkan bahwa tulisan ini bukanlah perihal yang menang atau kalah dalam perang fisik tersebut, akan tetapi tentang Silakarang, peradaban seni ukirnya yang tersohor.
1832, tonggak pertama menurut sahabat saya, Anak Agung Gede Dharmayuda, sewaktu diskusi kecil di rumahnya menyatakan bahwa ketika kompyang-nya menjadi pemangku di Pura Beji diundanglah para pengukir dari Desa Guwang, Sukawati, untuk membuat Pura Puseh di Silakarang.
Ketika proses pembuatan berlangsung para pemuda di Silakarang kala itu berniat untuk membantu sangging dari Guwang untuk pembangunan pura, kemudian para pemuda ini diajarkan seni pahat batu padas oleh sangging Guwang. Sungguh takjub, konon para pemuda Silakarang ini bersungguh-sungguh belajar mengukir dan sangat cepat menyerap ilmu ukir para sangging. Selain itu, limpahan material padas yang luar biasa berkualitas di aliran sungai sekitar Desa Silakarang yang juga menyokong peradabannya.
Dari titik itu disebut sebagai awal mula tradisi seni ukir batu padas berkembang, Silakarang kemudian menjelma sebagai desa yang melahirkan generasi seniman ukir handal. Hingga pertengahan abad ke-20, dikenal generasi yang saya catat sebagai generasi 60-an. Ciri ukirannya dapat dilihat dari patra punggel yang khas disebut tebek wayah dan jika dalam membuat patung, anatominya ngigel pun terkesan dinamis, hingga kurun waktu 1960 sampai 1980-an, mereka menemukan jenis ukiran yang disebut nampak sidha.
Generasi berikutnya adalah generasi pemuda tahun 1980 sampai 1990-an, sampai di sini kemudian ada stagnansi perkembangan seni ukir Silakarang yang dapat dilihat dari jenis ukirannya yang langah pun tidak serumit generasi 60an namun tebek ukirannya dalem.
Ada yang menarik dalam rentang waktu kurang lebih satu setengah abad dari 1832 hingga 1980 yaitu dikedepankannya proses pembelajaran yang serius dalam mengukir. Di Silakarang nampaknya menerapkan dua metode penurunan bakat ataupun proses belajar yaitu proses keturunan yang merupakan cara belajar yang diturunkan langsung oleh orang tua selaku guru ke anak-anaknya dan proses cantrik yaitu seorang guru yang menerima murid di luar anggota keluarga langsung. Kedua proses ini sama-sama menerapkan satu rangkaian panjang tahapan belajar mengukir batu padas.
Saat pertama memegang pahat, maka yang harus dikerjakan adalah belajar membuat ornamen kakul-kakulan, ornamen yang paling sederhana dari ornamen manapun, akan tetapi menjadi sangat penting karena untuk membuat bentuk kakul-kakulan yang bagus harus paham tentang proporsi tinggi-rendahnya bidang, bagian mana yang dibuat util bagian mana yang dipahat lebih rendah daripada util.[ii]
Setelah berhasil membuat util kemudian proses belajar dilanjutkan pada belajar membuat kuping guling, kemudian berkembang membuat janggar siap, setelah itu belajar membuat batun poh, perkembangan kemudian belajar membuat punggel pusuh, setelah mumpuni membuat punggel pusuh barulah membuat punggel kembang yang umum disebut patra punggel. Selesai proses panjang belajar ini barulah sang murid diperbolehkan untuk ikut dalam pengerjaan sebuah patung.
Pembuatan patung di Silakarang juga memiliki sor-singgih, hal tersebut dikarenakan ada bagian-bagian yang tidak boleh dikerjakan oleh para murid atau mereka yang baru belajar. Biasanya bagi mereka yang baru menginjak proses pengerjaan patung akan dihadapkan pada situasi yang membosankan namun meditatif seperti menghaluskan badan patung, membuat hiasan ornamen pada patung, sampai bagian tersulit adalah nyepuk bok, membuat irama garis-garis pada rambut yang ukuran dan jaraknya harus sama. Terlebih jika sang guru membuat patung wenara (bangsa monyet dalam epos Ramayana seperti Hanuman, Sugriwa, Subali, Anila, Anggada, Sempati, Jembawan, dll), bisa-bisa para murid hampir mati frustrasi karena diseluruh tubuh patung ditumbuhi bulu.
Pembagian proses kerja dalam membuat satu patung kala itu dimulai dari macal/macalin yaitu membuat formula bentuk global dari sebuah karakter patung dengan teknik mengurangi material batu padas dengan alat patuk, kemudian nganasin adalah tahap pembentukan sederhana daripada bagian-bagian tertentu seperti pada wajah, posisi tangan, gerak kaki, atribut karakter ditentutkan dan dibentuk, dua tahap pertama ini sangat penting untuk mendapatkan pangus bentuk patung dan hanya boleh dilakukan oleh master atau guru.
Proses selanjutnya adalah mayasin, ngalusin, tahap ini para murid yang sudah dianggap lulus tahap belajar ornamen pepatran baru boleh ikut. Tahap selanjutnya adalah ngupak yaitu mulai menggarap jari-jari tangan kaki dari patung dan tahap terakhir barulah para master atau guru tersebut turun tangan untuk proses ngemuanin yaitu membuat karakter wajah.[iii]
***
Proses pembelajaran, oleh karena itu menjadi penting dalam mendidik dan mencetak seniman handal pengukir di Silakarang. Namun Celakanya, ketika tambang-tambang batu padas di Bali kian sulit sehingga menyebabkan kelangkaan material, juga faktor ekonomi yang mendesak, terlebih ekspansi material baru berupa batu padas palimanan dari Yogyakarta, proses tersebut perlahan hilang, tercatat tahun 1996 batu padas palimanan Yogya hijrah ke Silakarang dan perlahan proses pembelajaran tersebut terkikis.
Tidak ada lagi sor-singgih dalam pembuatan patung, tidak ada lagi material yang dibuang akibat kesalahan ukir oleh murid-murid, tidak ada lagi pekikan sang guru bertangan besi ketika membuat patung. Hanya cerita yang ditinggalkan. Mungkin saja, nyawa patung yang kini sakral hadir dari proses panjang pembelajaran tersebut karena akumulasi energi emosional manusia yang membuatnya tercerap kedalam pori-pori batu padas, karena cerita di Silakarang, dahulu seniman membuat patung sedari baru bangun pagi sudah diniatkan, mereka membersihkan badan terlebih dahulu hingga menyebut matra-matra tertentu ketika pertama kali memegang pahat sebelum dihujamkan ke permukaan padas.
Bagaimanapun juga, Silakarang tetaplah tercatat sebagai sebuah desa dengan peradaban seni ukir yang tersohor, bahkan materialnya pun terkenal dan masuk ke dalam konstelasi batu padas awet. Paling tidak, tradisi mematung itu kini masih hidup walaupun dengan material yang berbeda dan tahapan proses yang dikebiri, yang terpenting dicatat adalah beberapa pemahat masih melakukannya dengan cara manual walau dengan proses yang tidak serumit dan perfeksionis dahulu ketimbang memproduksi patung dengan cara mencetak cor yang wujud rupanya seolah beku tanpa ekspresi. (T)
[i] Nordholt, Henk Schulte. The Spell of Power: Sejarah Politik Bali 1650-1940. Denpasar: Pustaka Larasan. 2009. Hlm, 242-243.
[ii] Dalam project Nglesir Visual (dokumentasi ornamen, patung, arsitektur) saya berkesimpulan bahwa untuk menilai kemampuan tukang ukir dan kualitas ukiran sebaiknya lihat pada util ukirannya.
[iii] Proses ini lebih lengkapnya masih berupa laporan penelitian dan sengaja tidak dijelaskan secara rinci karena akan dirancang sebagai sebuah buku Kosa Rupa Bali yang diinisiasi oleh Hardiman yaitu kurator seni rupa dan Dosen di Jurusan Pendidikan Seni Rupa Undiksha Singaraja bersama saya sendiri dan sahabat saya kurator muda I Made Susanta Dwitanaya.