KOMUNITAS Seni Dewari Swari dan Sekar dari Banjar Mijil, Sidemen-Karangasem, bisa disebut sebagai komunitas seni yang punya keberanian untuk mencoba keluar dari ikatan-ikatan seni tradisi. Mereka menampilkan garapan seni yang tak melulu berlindung di balik estetika baku seni tradisi, melainkan menciptakan estetika baru dengan mengolah bukan hanya potensi penari atau pemusik, tapi juga mengolah potensi cahaya, setting, komposisi, dan kostum.
Anak-anak muda dari Banjar Mijil, Sidemen, ini menampilkan pertunjukkan bertajuk ‘Gebug Light-Bala Samar’ di ajang Bali Mandara Mahalango di Gedung Ksirarnawa Taman Budaya Denpasar, Minggu malam 26 Agustus 2017.
Secara garis besar pertunjukkan menampilkan empat garapan, yaitu tabuh kreasi, tabuh kreasi berkolaborasi dengan tari topeng eksprimental, seni akapela dan pementasan ‘Gebug Light-Bala Samar’.
Pada pementasan ‘Gebug Light-Bala Samar’ kita diingatkan dengan atraksi seni gebug ende yang masih dipelihara baik di sejumlah desa di Bali. Gebug Light ini bisa disebut sebagai pengembangan dari tari tradisional itu, dengan memanfaatkan dengan baik potensi cahaya dan musik pengiringnya.
Tarian ini ditarikan dalam suasana gelap gulita, sehingga penari mendapatkan sorot cahaya bulat sehingga sorot mata penonton tertuju penuh ke penari. Ini tentu berbeda dengan tari gebug ende yang ditarikan di tempat terang dengan suasana yang amat ramai. Pada tari gebug ende di lapangan terang, penari bisa saja bukan jadi fokus karena penonton atau supporter pun bisa mengambil panggung dan jadi tontonan tersendiri.
Menurut kordinator Komunitas seni Dewari Swari dan Sekar, I Komang Kusuma Adi, ide pertunjukan inovatif ini berawal dari tahun 2016. “Kami menampilkan seni tradisi gebug ende dalam konsep gelap. Karena selama ini seni tradisi Bali selalu dipentaskan di tempat terang. Maka kami mencoba menampilkan di tempat gelap seperti di pentas-pentas gemerlap dunia malam. Sehingga seni tradisi Bali dapat diterima oleh semua kalayak,” aku Kusuma Adi yang mengakui penampilan mereka belum sempurna.
Penampilan mereka malam itu memamg benar-benar gelap. Semua lampu panggung dan gedung Ksirarnama, Taman Budaya, Denpasar dipadamkan. Hasilnya, pendar-pendar cahaya beraneka warna yang menyelimuti pakaian dan asesoris penari menjadi menonjol mengikuti gerak tarian yang berakar dari tradisi gebug ende. “Kami memang sengaja mencoba sesuatu yang baru agar tidak bosan tetapi tetap berakar pada tradisi kami,” tutur Kusuma Adi.
“Saya apreasiasi karena mereka anak muda yang di kelilingi oleh tradisi yang kuat, ingin mencoba membuat sesautu yang baru yang keluar dari ikatan-ikatan tradisi. Itu adalah sebuah keberanian,” kata pengamat seni Prof. Dr. I Wayan Dibia, SST,MA.
Walaupun Dibia mengakui bahwa hasilnya masih relatif. Seperti soal kerapian dan keutuhan peruntujukan contohnya transisi yang masih lama sehingga pertunjukkan kurang padat. Contoh lain penghayatan dari karakter topeng yang berbeda tetapi diwujudkan dalam gerak yang sama oleh si penari dari awal sampai akhir. “Tetapi tetap perlu diapresiasi karena keberanian mereka dalam melakukan inovasi keluar dari seni tradisi,” tegas Dibia. (T/R)