DI Desa Tunjuk, Tabanan, terdapat sebuah kesenian tua yang kemudian memberi getaran pada tumbuhnya kesenian lain di desa itu. Namanya Tari Leko. Tarian itu berkembang sejak zaman kerajaan, hingga mengalami pasang-surut, dan kini berhasil direkonstruksi menjadi kesenian yang cukup dinanti dalam berbagai acara kesenian.
Dalam acara Bali Mandara Mahalango di Taman Budaya Denpasar, 13 Agustus 2017, tari leko yang kuno dan sudah mengalami rekonstruksi itu ditarikan oleh Komunitas Seni Padma Bundharam, Desa Tunjuk, Tabanan.
Komunitas yang terdiri dari seniman anak-anak, remaja hingga dewasa, itu ikut berpastisipasi dalam pentas kesenian Leko yang ditampilkan di kalangan Ratna Kanda. Terbentuk sejak 11 September 2016, Komunitas Seni Padma Bundharam memang menampung berbagai kalangan seniman yang ingin turut berpartisipasi menunjukkan kiprahnya.
“Siapapun yang senang dengan seni dan memang memiliki niat untuk di seni, kami bersama-sama untuk berkecimpung dan mengembangkan diri di seni, istilah Bali-nya ngisiang bayun timpal,” ungkap I Putu Ardi Dharma Putra (28), Ketua Komunitas Seni Padma Bundharam.
Kesenian Leko yang ditampilkan komunitas seninya, menampilkan sebuah tari warisan leluhur Tabanan. Tarian ini meupakan seni hiburan balih-balihan juga untuk upacara Manusa Yadnya. Seni Leko Tunjuk mengalami pasang surut karena situasi jaman, sejak tahun 1957 mulai dibangkitkan dan dibangun oleh seniman tari dan tabuh Desa Tunjuk Kelod dan masih hidup berkembang sampai sekarang.
“Kesenian Leko ini bisanya dipersembahkan untuk orang-orang yang sudah mempersembahkan sesangi, juga hiburan seperti ini,” tutur I Nyoman Harta (45) selaku pembina juga koordinator lapangan.
Kesenian Leko pada hari ini ditemani oleh tari lainnya seperti Tari Gabor, Tari Adrah, Tari Jauk Manis, Tari Bungan Sandat Serasi yang merupakan tari maskot kabupaten Tabanan, Tabuh Condong Melayu, dan Tabuh Lasem.
“Keunikan pada penari di mana satu penari berperan sebagai Prabu Lasem dan yang lain sebagai putri Daha Dyang Rangkesari telah dijodohkan dengan Raja Koripan sehingga terjadilah perang, juga pada tabuhnya yang labih tinggi dari pada gong kebyar,” jelas Harta. (T/R)