SABDA PALON
/1/
Udara malam berdesir
Membelai perut buncitmu
Sepotong cahaya lahir
Seusai ketuban pecah dari rahim mulut
Selarik kidung jawa membelai anganmu
Bhre Kerthabumi termangu diantara huruf-huruf yang lahir
Dari kulum liurmu
/2/
Musim dingin. Paling dingin
Tiang-tiang istana menggigil
Air mata membeku hanya cemas bersijatuh
Menjadi warna darah yang berceceran di alun-alun ibukota
Menjadi saksi pertikaian
Kau berjanji berjaga di gerbang kehidupan dan kematian
/3/
Mengapa kau berduka ?
Aku rela menyaru dalam tubuh manusia
Memulai perjalanan dari sudut sunyi sekali pun
Memastikan mercusuar nusantara terjaga
/4/
Buah Pala. Kau tahu rasanya ?
Kecaplah dalam lidahmu
Kau akan merasa tetap hidup
Diantara asin peluh kuli-kuli di pelabuhan
Atau diantara lolong tangis Dewi Amaravati
Saat giginya tanggal
/5/
Nujummu selalu jadi kompas
Jarum jam dalam jiwamu berpacu dengan
Waktu reinkarnasi
Sebab kau sangatlah peduli
Pada jejaring laba-laba di sudut langit istana
Laksana arus pikirmu yang tajam
/6/
Napak tilas. Bumi Swarnadwipa kau pilih
Diantara tempat di peta
Kau abadi memilih lahir dari rahim nusantara
Bersulih ke riuh dunia untuk satu cita-cita
Tegaljaya, Maret 2017
CARA MENGENANGMU
Seperti itulah aku senantiasa mengenangmu
Kuntum-kuntum kenangan kami mekarkan
Memilah dan memilih buku-buku diantara debu-debu kotak usang
Kukecup peluhmu untuk mengumpulkan tekad atau
Menarik canda tawamu ke lingkaran energiku agar
Menyala semangat yang taksa
Kucatat cuaca dan peringai hari keenam bulan Juli
Mengaksarakan jiwamu dalam sayapku
Mematangkan barisan doa
Dan mencelupkan roti tawar ke dalam susu yang manis
Kuniatkan menguapi dingin dengan memahami kepergianmu
Sebab jika tak demikian,
Stigma ini akan selalu tertatah di hitam yang liang
Seperti itulah aku senantiasa mengenangmu
Menghidangkan kematian dalam nampan waktu
Membersihkan lumut-lumut di atas batu pijak yang licin
Dan mengarak jiwamu di setiap kata dalam puisi
Sebab Tuhan selalu lahir dari jiwamu paling ceruk
Kerobokan, Juni 2017
POHON PUISI
Di hatiku tak boleh apa pun dan siapa pun mencatat luka
Tidak juga kau
Kau boleh mampir di tamannya
Menulis puisi dan tawa dari serbuk kehidupan
Mestilah kau menumbuhkan segala yang patut
Bukan menciptakan jarak dan melabeli
Terang atau gelap
Pantas atau tidak
Dua tiga pelor mungkin mampir
Namun tak akan berdiam lama
Sebab pohon-pohon puisi mengusirnya sebelum kau melapar
Dalam rasa asing
Di hatiku kata-kata tak boleh mati
Meski puting beliung menari
Mestilah kutiup ruh dalam kata yang mati suri
Agar ia tetap nyala pohon-pohon puisi
Bangkit dari kefanaan yang hujan
Tegaljaya, Juni 2017
TELAGA AGENG LINGSAR
Titipkanlah kalimat permohonan dalam koin-koin ini
Terbanglah lalu berendamlah di dasar telaga
Dingin air telaga akan memeram segala permohonan
Sebelum terbang ke langit ketujuh
Seorang perempuan menangis di tepi telaga
Memohon anaknya kembali
Ia titipkan nama anaknya dalam koin dan
Karam dalam perayaan kematian
Bersenyawa dengan air mata dan bayangan yang
Ia ciptakan sendiri
Di telaga ini air mata menjelma lumut-lumut di dasarnya
Emosi bersulih menjadi bebatuan
Menciptakan jarak antara bumi dan langit
Perempuan itu kuyup dalam tangis
Sebab lima tahun kemudian langit terbelah
Tongkat yang menjelma ikan
Membagikan ruh anak-anak dalam tubuhnya
Ia menjerit dalam rasa hampa
Lalu ia berhenti menangis
Ketika sepotong cahaya lahir dari koin-koin
Dan saat itu juga ia berhenti
Menciptakan bayangan sendiri
Tegaljaya, Juni 2017
SUNGAI DI BELAKANG RUMAH
Cuaca mengeras di wajahmu
Membentuk lintasan dosa dan doa
Matahari selalu berdetak menjauh dari matamu
Rumpun alis rebah memisahkan berkas-berkas rindu yang sekarat
Lidahmu sayup-sayup menggemakan nyanyian ibu
Antara lelap dan jaga
Lalu
Kau pulang ke sungai di belakang rumah
Merumahkan kental sesal yang mengganggu tidur
Kau hanyutkan air mata, kata-kata berikut pertanyaan-pertanyaan
Sungai itu yang dulu jernih
Kini keruh oleh limbah
Sebab keras kepalamu telah berkeping-keping
Daun-daun canging berhamburan memungut lendir-lendir sesal
Molekul-molekul air menanti dengan sabar
muntahan lapili jiwamu
juga mantra-mantra ganjil dari mulut berbau kencur
Kau berjanji akan meminangnya menjadi puisi
Sebab ia telah melahirkanmu setiap hari
Ia pun berjanji akan membawamu
Ke luas lepas samudera tak berbatas
Tegaljaya, Juni 2017
SEPASANG KUNANG-KUNANG
Mengawali perjalanan ini
Kita tak mau berhitung kecuali kesanggupan
Untuk saling melengkapi
Kita berharap ada pagi yang lain
Tak pincang lagi dengan irama baru
Duduk di serambi senja
Menatap kemilau langit
Melahirkan nyanyian dari uap kopi
Menepikan kerikil-kerikil yang menahan
Telapak kaki
Kita dapat mengingat
Ayat-ayat dalam kitab
Yang menyala di ufuk waktu
Atau bagian tubuh yang mulai bertumbuh
Sehingga saat sabit cuaca menyayat
Kita tetap bisa tersenyum
Sebab kita tak ingin terlambat
Memekarkan kuntum jiwa
Sebelum cangkang senja renta dan retak
Kita tak ingin hanya menafsir lalu
Mengarang cerita sendiri
“ Terlalu boros energi,” Katamu
Lebih baik menjadi sepasang kunang-kunang
Berbagi cahaya
Sebab bukan hanya kita yang tumbuh
Melainkan semesta
Tuka, Juni 2017