TIBA-TIBA ada seseorang yang masuk dalam kerumunan banyak orang. Seseorang itu mengaduh, terus mengaduh. Orang-orang yang berkerumun itu ragu-ragu apakah akan menolong orang yang terus mengaduh itu atau membiarkan begitu saja.
Itulah awal dari cerita yang dimainkan Teater Ilalang SMA Lab Undiksha Singaraja dalam Gelar Seni Bali Mandara Nawanatya II-2017 di Gedung Ksirarnawa Taman Budaya, Denpasar, Sabtu 13 Mei 2017, malam. Cerita itu diambil dari naskah berjudul “Aduh” karya Putu Wijaya.
Usai pementasan Teater Ilalang, tampil anak-anak dari Komunitas Mahima. Komunitas ini menampilkan musikalisasi puisi-puisi dari sejumlah penyair Indonesia. Antara lain puisi ‘Kembalikan Indonesia Padaku (karya Taufik Ismail), Aku Ingin (Sapardi Djoko Darmono), ‘Nyepi’ (Wayan Artawa) dan Dewi Padi (Adnyana Ole). Puisi lainnya ‘Burning Hair’ dan ‘Scizofernia’, keduanya karya Kadek Sonia Piscayanti.
Sejumlah pengamat dan kurator Bali Mandara Nawatya menilai sebagai sebuah pertunjukan, pementasan itu bagus, namun sejumlah pengamat menilai pementasan anak SMA itu perlu pengayaan, perlu proses lebih panjang lagi untuk mencapai pertunjukan yang benar-benar mengandung pengayaan seni.
Penulis sastra, Gde Aryantha Soethama, yang menyaksikan pementasan itu mengatakan, yang ditampilkan anak-anak itu adalah pertunjukan, belum sampai pada pengayaan. Dari pementasan ini terlihat para pemain masih belum memahami dan menghayati setiap kata yang mereka ucapkan. Itu terjadi karena saat ini di kalangan anak muda tak terbiasa membaca teks dengan sungguh-sungguh dan tidak ada proses pengendapan dan menghayati apa yang mereka perankan dan setiap kata yang mereka ucapkan.
Berbeda dengan pengayaan seni. Pada pengayaan seni terjadi proses pengendapan dan perenungan dari setiap kata pada dialog drama dan setiap lirik dari puisi. “Jadi sebaiknya mereka (pemain drama dan musikalisasi puisi –red) perlu memberi jiwa pada setiap kata,” saran Aryantha Soethama.
Kurator Bali Mandara Nawanatya II, Marlowe Bandem tidak sepenuhnya sependapat dengan pernyataan Aryantha Soethama. Menurut Marlowe, penampilan teater Ilalang dan Sanggar Mahima sudah menampilkan pementasan yang bagus dan serius. Mulai dari artistic hingga ke materi yang ditampilkan. “Soal belum ada pengayaan seni, menurut saya itu masih proses pengayaan seni,” bantah Marlo Bandem.
Bantahan Marlo Bandem senada dengan pernyataan pengasuh Komunitas Mahima, Adnyana Ole. Menurut Ole, musikalisasi puisi yang ditampilkan Mahima merupakan bagian dari proses anak-anak muda dalam melakukan pengayaan seni dalam diri masing-masing. “Karena itu bagi saya pentas Nawanatya ini (program Bali Mandara Nawantya II –red) bagian dari berproses menjadi itu. Bukan puncak dari kemampuan mereka,” terang Adnyana Ole.
Ole menuturkan bukti berproses itu dari komposisi pemain. Mayoritas yang tampil Sabtu malam itu adalah anak-anak Mahima yang baru. “Bukan tim yang mementaskan musikalisasi tahun lalu di sini (Bali Mandara Nawanatya I –red),” tutur Adnyana Ole.
Sementara itu, kurator Bali Mandara Nawanatya II, Mas Ruscitadewi memuji tata artistik pementasan Teater Ilalang. “Bagus dan dapat dijadikan contoh bagi teman-teman teater di Denpasar,” puji Mas Ruscita. (T/rilis)