KEMATIAN adalah upaya pembebasan jiwa menuju Tuhan. Lantas siapa yang berani menemani mati? Kelompok Sekali Pentas berani melakukannya melalui musikalisasi puisi.
Musikalisasi puisi ‘Siapa Berani Menemani Mati’, mereka pentaskan di Gedung Ksirarnawa, Taman Budaya, Denpasar, Minggu malam 14 Mei 2017 dalam acara Bali Mandara Nawanatya II – 2017.
Kelompok Sekali Pentas membawakan sembilan puisi. Heri Windi Anggara selaku arranger-nya. Kesembilan puisi itu Ngigau (karya Frans Nadjira), Kayu Cendana (Ki Dusun), Kopi Sehabis Hujan (Ost. Cemara Hujan: Kopi Untuk Cinta), Sia-sia (Chairil Anwar) dan Para Peminum (Sutardji Calzoum Bachri).
“Untuk puisi Para Peminum ini kami mencoba bereksprimen bersama grup Judicial Review,” ujar Heri Windi.
Ada juga, Lagu Orang Kalah (D. Zawawi Imron), Gendingan Buung (Tatukung), Di Dalam Dada (Subagio Sastrowardoyo) dan Selamat Pergi Hari Ini ) Radhar Panca Dahana).
Penampilan panggung musikalisasi ini melibatkan Heri Windi Anggara, Monique Anastasia Tindage, Tria Hikmah Pratiwi, Cathlin Florencia, Yustina Maria Owa dan Nando Khrisnayana. Adapun featuring nya antara lain Yuniorika, Simbha Baskara, Judicial Review dan Robin Lehnsherr.
Soal konsep garapan dan performance kelompok Sekali Pentas, menurut kurator Bali Mandara Nawanatya II, Kadek Wahyudita dan pegiat sastra, Muda Wijaya, sudah menarik dan apik. “Heri punya konsep sendiri dalam menggarap musikalisasi puisi. Hanya saja dia harus banyak komunikasi dalam menyampaikan lagunya,” ujar Muda Wijaya.
Selain itu Muda Wijaya memberi catatan khusus soal pencahayaan yang masih terasa kurang kuat membangun suasana panggung.
Tidak hanya Muda Wijaya yang menyoroti soal pencahayaan, Wahyudita dan pengamat seni, Prof. Dr. I Wayan Dibia,SST, MA, juga memberi catatan hal itu. “Selain itu perlu diperhatikan soal olah vocal. Saya lihat kurang terjadi olah vocal yang kuat dan saling memperkuat antar vocalis yang ada,” apreasiasi Dibia.
Adapun catatan lain dari Wahyudita agar kelompok Sekali Pentas juga memperhatikan ekspresi vocalis yang tampil agar tidak datar ketika belum mendapat giliran melantunkan puisi. “Satu lagi, manajemen panggung secara utuh perlu diperhatikan. Di antaranya, jangan sampai di tengah atau di jedah penampilan orang di luar panggung naik ke panggung. Biarlah pementasan mengalir utuh dari awal hingga akhir,” pesan Wahyudita.
Teater Tiga
Sementara itu pementasan Teater Tiga dari SMAN 3 Denpasar yang tampil lebih awal menampilkan operet. Operet ini mengisahkan seorang cucu yang belajar di kota dan hanyut dengan dunia anak muda yang gemerlap. Hanya saja si cucu harus balik ke desa untuk menyelamatkan sang kakek. Tetapi terlambat sang kakek tewas, ini kemudian menyadarkan si cucu kembali ke jalan yang benar dan meneruskan tanggungjawab sang kakek sebagai Bendesa.
“Saya apresiasi semangat anak-anak berteater. Tetapi saya terganggu dengan pilihan kata dalam dialog yang seharusnya tak pantas diucapkan di pentas,” apresiasi Dibia sembari memuji penampilan sang kakek yang alamiah.
Dibia mengakui pemakaian lipsinc saat pementasan memang mengandung resiko besar. Resiko itu berupa ekspresi yang berlebihan dalam tokoh-tokohnya di atas pentas. Jadi terasa tidak pas. Itu yang dirasakan Dibia saat menonton pementasan Teater Tiga. “Dan tadi memang banyak kata tanpa jiwa terlihat di panggung,” jelas Dibia.
Adapun kurator Bali Mandara Nawanatya II, Mas Ruscita Dewi memberikan catatan soal jalan cerita. “Secara ide cerita menarik. Hanya saja logika cerita ada yang salah,” kritik Mas Ruscita. (T/rilis)