BULELENG adalah hamparan pantai sepanjang 144 kilometer. Sebagian besar penduduknya tersebar di dataran rendah dekat laut. Tapi anehnya, dari penduduk yang berjumlah sekitar 800 ribu, hanya 5 ribuan orang (0,67 persen) bermata pencarian sebagai nelayan, sedangkan petani ikan (pembudi daya) sekitar 1.000 orang (0,13 persen). Belakangan memang ada peningkatan pembangunan di bidang perikanan, namun tampaknya tidak cukup signifikan dibandingkan perkebunan (kopi dan cengkeh), misalnya.
Cobalah perhatikan pula, dari 9 kecamatan di kabupaten ini, hanya dua kecamatan yang tidak bersentuhan dengan laut, yakni Kecamatan Sukasada dan Busungbiu. Selebihnya, 7 kecamatan (Tejakula, Kubutambahan, Seririt, Sawan, Buleleng, Banjar, dan Gerokgak) memiliki wilayah pantai. Sangatlah aneh jika potensi laut dan kemaritiman tidak digarap dengan baik.
Padahal, siapa pun paham belaka, sejak lebih dari seribu tahun lalu Buleleng telah dikenal sebagai kawasan pelabuhan, tempat tinggal para nelayan tangguh, tempat merapat kapal-kapal dari berbagai wilayah di Nusantara. Sejarah mencatat, pelabuhan di kawasan Buleleng telah hidup sejak zaman Kerajaan Warmadewa. Sebuah prassati yang terbuat dari perunggu dengan tegas menyatakan adanya pembagian komoditas yang boleh dikirim ke Den Bukit (Buleleng). Tentu saja untuk dikapalkan keluar Bali melalui pelabuhan di Den Bukit.
Di zaman Belanda pun Buleleng menjadi pelabuhan tempat bersandarnya kapal-kapal wisata. Dari sinilah wisatawan memulai “petualangannya” di Bali nan eksotik di sekitar tahun 1930-an.
Lalu, siapa yang bisa menyangkal bahwa Buleleng adalah laut, pantai, dan karena itu membentuk masyarakatnya hidup dalam balutan budaya maritim? Karena itu, kesadaran berbudaya maritim harus ditumbuhkan terus agar tidak terjadi penyimpangan berlanjut dalam setiap penetapan program kemasyarakatan. Harus ada penyadaran kuat tentang konsekuensi menjadi manusia maritim yang menjadi bahan dasar dalam menata cara hidup dan kebudayaan yang berbasis pada dunia laut dan pesisir.
Secara khusus, saya sependapat dengan Radhar Dahana yang disampaikan Hilmar Farid dalam orasi kebudayaannya di Dewan Kesenian Jakarta (2014). Manusia-manusia yang hidup berkembang dalam dimensi spasial perairan secara alami akan menjadi kelompok masyarakat hibrid, yang berpikiran terbuka, adoptif, sekaligus adaptif. Tatanan sosial, ekonomi, dan politik sebagai produk budaya maritim tentunya akan memiliki kekhasan tersendiri dan berbeda dengan produk budaya yang lahir di atas konteks alam yang lain.
Secara adab, budaya maritim lebih toleran terhadap perbedaan-perbedaan karena interaksinya yang lentur dan intens antara satu kelompok dengan kelompok yang lain. Hal ini tidak seperti budaya daratan yang dipenuhi konflik dan peperangan berkat kondisi geografis dan geologis yang memaksa mereka untuk melawan atau menguasai manusia, binatang, atau lingkungan di sekitar mereka.
Seorang pakar sejarah maritim, Adrian Lapian mengatakan, secara politik masyarakat maritim mempercayakan kepemimpinan pada orang-orang yang benar-benar kompeten dan memiliki kepedulian kepada survival dan kesejahteraan mereka. Bukan kepada orang-orang yang hanya pintar bersolek menjadi pesohor atau memiliki tumpukan kapital.
Kehidupan di laut penuh bahaya, pemimpin yang dibutuhkan adalah pemimpin yang telah ditempa sejarah perjuangan dan ujian panjang dan terbukti mumpuni. Mobilitas vertikal cepat tanpa perjuangan mustahil terjadi. Ini adalah perkara hidup dan mati. Keselamatan mereka, para rakyat, taruhannya.
Dalam masyarakat maritim, interaksi yang terjalin antara mereka dengan pemimpin yang ada di daratan bukanlah seperti kebanyakan cerita mengenai hubungan raja dan rakyatnya pada kerajaan-kerajaan daratan. Hubungan yang berlangsung adalah hubungan yang setara.
Seperti yang terjadi di masyarakat Bajau di Indonesia timur yang berdagang dengan sultan, saling mempertukarkan barang kebutuhan. Masyarakat mendapat kain dari sultan, dan sebagai bayaran mereka menukarnya dengan tripang, ikan, dan sebagainya. Mungkin penting menelusuri kembali pola hubungan antara Ki Barak Panji Sakti dengan masyarakat pesisir di Buleleng saat ia mulai membangun pemerintahannya hingga ketika ia mampu menghimpun banyak orang dari berbagai latar belakang sosio kultural menjadi sebuah pasukan tangguh yang mampu memporak-porandakan kerajaan mapan seperti Jembrana dan Blambangan.
Sepertinya, apa yang digambarkan tentang budaya maritim itu pernah dilalui oleh sebagian masyarakat Buleleng. Sangatlah layak untuk melakukan kajian lebih mendalam. Sudah saatnya Undiksha (perguruan tinggi paling terpandang di Buleleng) lebih serius melakukan kajian ini.
Sangat mungkin, kajian ini akan memberi kita ruang untuk berpikir ulang mengenai ambisi membangun bandar udara dengan melakukan reklamasi. Sangat mungkin kajian ini nantinya akan menghasilkan pikiran untuk kembali membesarkan pelabuhan yang ada di Buleleng: Biarlah Sangsit menjadi tempat bertambat kapal-kapal nelayan dan di sekitar wilayah itu dibangun industri perikanan. Sedangkan Celukan Bawang dikembangkan menjadi pelabuhan peti kemas, mengambil alih sebagian fungsi Pelabuhan Benoa yang dikhususkan menjadi pelabuhan pariwisata.
Sebagai penutup, menarik juga menyampaikan kembali pendapat Radhar Dahana tentang sistem pendidikan masyarakat maritim.
Dalam sistem perguruan maritim, kata Radhar, guru adalah teladan dalam acuan dan perilaku—tidak sebatas menjadi acuan dalam intelektual, moral, dan spiritual saja. Seorang guru tidak memiliki nilai apabila tidak mampu mewujudkan keilmuannya dalam tataran perilaku.(T)