Cerpen: Fatah Anshori
“Dalam tradisi Yahudi empat puluh hari sebelum, bayi lelaki dilahirkan. Dilangit ada suara yang meneriakkan siapa wanita yang kelak akan di kawininya. Aku tahu ini sudah lama, aku tidak sengaja mendapat sobekan kertas kuno yang terselip di buku karangan orang Michigan.”, Begitu terang Yanto Bujang dengan ketus saat aku dan teman-temanku mengejeknya, bahwa jodohnya telah meninggal di kandungan.
“Tapi dalam tradisi Jawa itu tidak ada, Yan. Sudah ku bilang jodohmu itu telah meninggal di kandungan.”, Teman-teman ku kembali tertawa, setelah salah seorang kembali mengejek Yanto Bujang, tukang semir sepatu yang setiap siang mampir di warung kopi samping sekolah kami. Siang itu Untuk kesekian kalinya Yanto menjadi bahan tertawaan kami, anak-anak SD yang nakalnya amit-amit.
Seperti biasanya usai mampir ngopi, Yanto Bujang kembali melanjutkan pekerjaannya. Keliling kampung untuk mencari orang yang butuh jasanya sebagai tukang semir sepatu. Dengan sepeda Jengki karatan itulah, ia setiap hari keliling kampung. Lelaki itu sudah terlalu tua untuk menjadi pengantin baru saat ini. Lihat saja rambutnya sudah banyak yang memutih, dan kerutan di wajahnya sudah mulai terlihat. Namun hingga kini ia tak kunjung punya istri. Itulah kenapa ia di panggil Yanto Bujang, sebenarnya namanya hanya Yanto. Tapi karena kami anak-anak yang amit-amit nakalnya dan serampangan maka kami sepakat menamainya dengan Yanto Bujang.
***
“Hei Yanto Bujang, apa sudah kau temukan jodohmu?”, Aku kembali tertawa setelah puas mengejek Yanto yang kudapati sedang menyemir sepatu di teras rumah warga. Tiba-tiba telingaku terasa sakit yang luar biasa, Ibuku menjewer telingaku dengan keras. Yanto melihat ke arahku dan tersenyum.
“Maaf Pak Yanto, anak ini memang kurang ajar.”, Sambil tersenyum ibuku menganggukkan kepala ke arah Yanto Bujang. Kemudian ia membalas serupa seperti yang dilakukan ibuku padanya, mungkin itu berarti, ah tak apa, wajar anak kecil.
“Ayo Din, jalan. Sebentar lagi sampai.”, Ibuku kembali mengajakku melanjutkan perjalanan ke sawah di selatan kampung. Disanalah kami, anak-anak desa menghabiskan hari minggu, yakni dengan membantu orang tua di sawah. Mencabuti rumput, menjaga padi dari burung-burung pipit yang suka merusak, atau jika ada galengan yang rusak terpaksa aku harus mencangkul untuk memperbaiki pembatas sawah itu, agar air tak pergi kemana-mana.
“Kita sudah sampai, Le!”, Ibuku meletakkan bakul di gubuk bambu yang dibuat bapak ku saat Allah belum memanggilnya. Kicau burung pipit sesekali terdengar di antara batang padi yang terhampar di sawah. Sepertinya mereka sudah memulai pertengkaran dengan kami. Burung-burung itu jika dipandang lekat-lekat memang manis. Namun jika kau adalah petani yang memiliki ladang padi berhektar-hektar, maka burung ini serupa mimpi buruk yang menghantuimu tiap malam.
Sorenya, setelah adzan ashar berkumandang kami beringsut pulang. Melewati sawah-sawah warga yang masih hijau. Kaki-kaki kami menapak jalan kecil yang terbujur di antara sawah-sawah. Kelepak burung seskali terdengar di atas sana. Angin sore itu berhembus lirih menyapu gerah yang menggeliat di tubuh kami.
Saat aku memandangi wajah ibuku yang tengah berjalan dibelakangku. Pandangannya tertuju jauh ke seberang sawah. Aku lantas membalikkan badan lagi, sambil berjalan aku mencoba mencari apa yang sedang dilihat ibuku barusan. Aku memandang lekat-lekat, di kejauhan seorang laki-laki tengah berdiri di tengah-tengah padang ilalang, menghadap ke barat sambil menengadahkan tangannya, serupa orang berdoa sehabis sholat. Lelaki tirus terlihat khusu’ seolah sedang melantunkan mantra-mantra penting kepada langit di sore itu.
“Apa ibu tahu siapa lelaki itu?”, Tanyaku pada ibu yang juga melihat Lelaki itu dibelakangku sambil berjalan.
“Sebentar lagi matahari surut, sebaiknya kau pandangi jalan didepanmu itu. Kita harus cepat, Le!”
Sore itu, aku merasa ada yang sedang disembunyikan ibu padaku.
***
Malam harinya usai sholat maghrib, kulihat dari serambi masjid Yanto Bujang mengayuh sepedanya melintasi jalan setapak di depan masjid. Sepedanya meluncur pelan dari selatan ke utara bagai perahu yang terbawa aliran sungai. Suara rodanya berderit terdengar serupa tikus yang tercekik lehernya. Dibawah cahaya malam yang remang-remang kuperhatikan mukanya layu, kuyu, dekil, dan seakan muka itu menanggung beban yang beratnya tak tertanggungkan lagi. Kuperhatikan lelaki bujang itu hingga tubuhnya hilang di belokan jalan.
“Hei, bocah jangan bengong saja. Nanti kau bisa kesambet!”, Tiba-tiba gamparan keras telapak mendarat dipunggungku. Aku terkejut, tubuhku terlonjak seketika itu. “Apa yang kau perhatikan, Din?”, Rudi masih tertawa melihat ekspresi tubuhku yang terkejut barusan.
“Ah tidak, bukan apa-apa, Rud.”
“Sudahlah aku tahu apa yang kau lihat barusan.”, Rudi menyeringai kearahku. “Apa kau sudah mendengar desas-desus warga tentang lelaki bujang penyemir sepatu itu?”
“Apa Rud?”, Aku mendekatkan badan pada Rudi. Hanya sekali saja pantatku yang menempel di lantai masjid kugeser ke kanan aku sudah nerada tepat di samping Rudi.
“Baik dengarkan, aku tak akan mengulang. Saat matahari hampir lengser di langit sebelah barat. Yanto Bujang akan segera menuju ke hamparan padang ilalang yang berada di selatan kampung. Disana ia menengadah ke langit, dan berbicara kepada langit. Orang-orang menganggap Yanto sudah tidak waras karena menyembah langit. Ayahku bilang, aku harus hati-hati dengan Yanto, dia itu sesat.”
“Udin, Rudi giliran kalian mengaji!”, Aku tersentak, Pak Ustadz memanggil. Sudah tiba giliran kami maju ke depan dan mengaji.
Serambi masjid ramai. Tiap kali usai magrib anak-anak berkumpul disini dan mengeja Al-Quran di bawah bimbingan Pak Ustadz. Lelaki yang baru tiga bulan menetap didesaku ini membawa perubahan banyak bagi desa. Kini warga desa semakin banyak yang pergi ke masjid untuk sholat berjamaah, paling tidak barisan dalam sholat kini menjadi tiga hingga empat shaf. Sebelumnya paling banyak hanya dua shaf itupun hanya sholat magrib. Diluar sholat itu, jumlah jamaah paling hanya enam tujuh orang. Selanjutnya adalah kami, semenjak ada Pak Ustadz kami mendapat jadwal mengaji usai sholat magrib, biasanya usai magrib kami lantas meninggalkan masjid dan bermain di sepanjang jalan desa. Dan anak-anak perempuan sekarang kebanyakan suka memakai kerudung jika keluar rumah.
Juga perubahan yang terjadi pada Yanto, semenjak kedatang Ustadz, Yanto semakin jarang ke masjid, bahkan satu bulan terakhir Ia sekalipun tak pernah menginjakkan kaki ke masjid ditambah ada isu bahwa ia sekarang menjadi sesat, karena telah menyembah langit setiap sore di selatan desa.
Usai sholat Isya kami pulang menuju rumah masing-masing. Malam itu aku pulang dengan tanda tanya besar yang meggantung dikepalaku. Apa yang membuat Yanto semakin aneh? Apa ada hubungannya dengan Pak Ustadz?
***
Beberapa hari yang lalu, Suhana resmi dijodohkan dengan Pak Ustadz. Keduanya dipertemukan dalam acara lamaran, yang dibuat oleh keluarga Suhana. Dalam acara itu keluarga Pak Ustadz tidak bisa datang lantaran jauh di luar pulau. Acara itu hanya dihadiri orang-orang penting desa, semisal: Pak Lurah, Modin, Ketua RT, dan kawan-kawannya itu.
Semua orang menyetujui rencana pernikahan itu. Kata orang-orang keduanya adalah pasangan yang cocok. Pak Ustadz dengan tampang rupawan kearab-araban. Sementara Suhana perempuan desa yang kecantikannya selalu jadi pembicaraan pria-pria bujang di warung kopi. Sangat beruntung pria yang dapat menikah dengannya, begitulah kata pria-pria bujang itu. Meski masih seumuran anak SD paling tidak aku sudah tahu mana itu perempuan cantik dan tidak. Dan Suhana sudah pasti perempuan cantik, lantaran sering diperbincangkan namanya oleh para lelaki.
Namun perlu kukatakan pada kalian, ketika acara lamaran itu berlangsung. Saat aku sedang memakan Nagasari mataku mendapati wajah Suhana tak serupa orang bahagia, malahan sebaiknya. Rona wajahnya serupa orang yang baru saja mendengar kabar kematian. Sepertinya Suhana tak suka dengan rencana kedua orang tuanya.
“Nduk sudah waktunya kau menikah, ingat usiamu sudah dua puluh lima tahun.”, Kata ibu Suhana saat acara lamaran tengah berlangsung. Namun Suhana hanya diam ketika itu. Tanggal pernikahan sudah ditetapkan dengan perhitungan jawa. Kemudian orang-orang pada mengangguk setuju.
Saat itu kulihat seluruh warga desa yang tak diundang berdiri mengerumuni rumah Suhana. Kami saling berdesakan melihat kedalam rumah. Beberapa ada yang mengintip lewat jendela, salah satunya adalah Rudi. Namun pada acara itu tak kudapati Yanto Bujang disitu. Padahal biasanya ia selalu hadir dalam acara seperi ini.
***
Dua minggu kemudian, desaku ramai. Alunan lagu dangdut menggema di sepanjang pagi. Membuat telingaku sakit seperti di tarik-tarik. Sekarang adalah hari H berlangsungnya acara pernikahan Pak Ustadz dan Suhana. Orang-orang desa, tua muda, besar kecil, laki-laki perempuan. Semuanya berkerumun mengitari terop dimana akan dilangsungkannya akad pernikahan.
Di hari Minggu pagi inilah, acara itu akan dilangsungkan. Rudi, pagi-pagi sekali datang kerumah untuk mengajakku melihat acara resepsi pernikahan ini. Memang seperti inilah kebiasaan orang-orang didesaku. Mereka gemar sekali menghadiri keramaian, salah satunya acara resepsi pernikahan. Paling tidak nantinya kita bisa makan enak jika menghadiri acara besar semacam ini.
Aku dan Rudi sekarang duduk di sebuah kursi yang menghadap kearah dua mempelai sedang duduk. Disebuah panggung semacam podium kecil tak terlalu tinggi, disitulah nantinya akad pernikahan akan dilangsungkan. Pak Ustadz dan Suhana sekarang tengah duduk bersanding sambil mengenakan pakain adat Jawa, kali ini blangkon tersemat di kepala guru ngaji kami. Sementara Suhana pantas sekali mengenakan kebaya berwarna putih, amat serasi dengan warna kulitnya yang juga cerah. Pemandangan di podium itu dipercantik dengan hiasan semacam taman bunga-bunga yang ditanam didalam pot. Dijejer melingkari podium. Sesekali mereka berdiri dan menyalami warga yang sedang mengucapkan selamat untuk keduanya. Namun entah mengapa aku melihat seakan ada keganjilan disitu. Seperti saat acara lamaran tempo hari.
“Din, apa kau melihatnya?”, Kata Rudi disampingku.
“Melihat apa Rud?”
“Jangan bodoh kau!”
“Aku tak mengerti apa yang kau maksud!”
“Bodoh kau, jelas-jelas tercium aroma keterpaksaan di acara pernikahan ini. Lihat wajah Suhana, Din. Ia seolah sedang menanggung beban yang amat berat. Sekalipun tak kutemui senyum tersemat di bibirnya sejak tadi.”
Ternyata Rudi juga melihatnya. Kemudian baru kusadari semua orang yang duduk dikursi yang berada disekitar kami juga membicarakan perihal ini. Sesekali kudengar orang berbisik, membicarakan keganjilan ini. Diantara desas-desus orang, kulihat Pak Ustadz amat sangat bahagia dengan pernikahan yang akan halal dalam hitungan menit.
Namun tiba-tiba terdengar suara ricuh diantara orang-orang yang berkerumun mengitari terop. Beberapa orang berdiri sambil berjinjit memandang kearah kerumunan. Apa yang sebenarnya sedang terjadi. Kedua pengantin terlihat gelisah. Tiba-tiba dari kerumunan itu seorang lelaki tirus yang tidak asing lagi di mata kami keluar dan merangsek ke acara resepsi. Penampilannya sungguh tak enak dipandang. Barangkali ia baru bangun tidur, dan belum mandi, bahkan sekedar cuci muka, ia tak sempat. Bajunya kusut, celana jinsnya kumal.
Seleruh pasang mata tertuju ke arah Yanto Bujang yang sedang merangsek masuk mendekati podium. Dimana akan dilangsungkannya akad pernikahan.
“Suhana, Aku tahu kau tidak suka dengan pernikahan ini.”
Suhana hanya diam tertunduk.
“Jika seperti ini kau hanya membohongi dirimu sendiri, agar orang-orang disekitarmu senang. Sementara kau tidak. Apa itu yang disebut baik?”
Orang-orang tersentak, mata Bapak Suhana melotot seakan ingin menampar mulut Yanto Bujang. Dan Suhana hanya diam menekurkan wajahnya.
“Asal kau tahu Suhana, langit selalu membisikkan namamu setiap kali aku bertanya padanya. dan kau adalah perempuan yang dijanjikan langit kepadaku. Jadi ayo ikut denganku Suhana, kita akan bahagia bersama-sama.”
Amarah orang-orang semakin memuncak. Beberapa orang disekitarku terlihat geram. Sesekali terdengar makian keluar dari mulut mereka. Tak beberapa kemudian dua petugas keamanan yang berbadan tinggi besar masuk sambil membawa pentungan ditangannya. Yanto tidak menyadari. Dia masih melanjutkan omongan. Dengan sigap dua orang tadi meringkus Yanto, serupa orang hendak membuang anak kucing. Yanto diseret-seret. Dia meronta, namun itu percuma saja. Orang-orang tak ada yang nembelanya. Malahan terlihat gembira. Syukurlah pengganggu itu sudah disingkirkan, mungkin seperti itulah kalimat yang tersemat di kepala orang-orang ini.
Diluar terdengar teriakan-teriakan sarkastik. Kerumunan terjadi beberapa saat di sana. Dari tempatku duduk sesekali terdengar jeritan kesakitan. Aku tahu itu suara Yanto yang sedang dihakimi warga. Sementara di podium, upacara pernikahan baru saja usai dilangsungkan. Orang-orang berhamburan menyalami pengantin, begitu juga denganku. Namun yang masih membuatku penasaran adalah ucapan Yanto baruasan. Apa mungkin langit bisa berbicara pada Yanto?
***
Beberapa bulan usai pernikahan Suhana, langit selalu menangis pada sore hari. Yanto Bujang juga tak pernah terlihat lagi menyemir sepatu warga. Rumahnya yang berada di dibawah pepohonan bambu juga terlihat tak berpenghuni, terasnya penuh dengan ayam yang berterbangan kesana kemari. Tahi-tahi ayam pun berhamburan disekita teras. Jika kau melintasi jalan didepan rumah itu. Dengan segera kau akan memegangi hidung. lantaran aroma yang sama sekali tidak enak.
Menurut kabar yang sering melintas, di Padang ilalang selatan kampung tercium aroma busuk serupa bangkai. Namun tiap kali orang mendekati dan mencari asal muasal bau itu. Mereka tidak menemukan apa-apa. Dan konon ketika langit menurunkan hujan pada sore hari. Akan nampak dari kejauhan Lelaki yang menengadah ke langit.
“Itu adalah Lelaki yang menagih janji kepada langit.”, Kata seorang warga yang kutemui di pematang jalan menuju masjid. (T)