BELAKANGAN ada sebuah fenomena baru muncul di Buleleng. Yaitu, munculnya berbagai festival di berbagai tempat. Seperti wabah, seperti virus menular, festival terus muncul sambung-menyambung. Menjangkiti nyaris seluruh sendi yang ada di Buleleng.
Festival kini bukan hanya pekerjaan pemerintah kabupaten. Ada yang diselenggarakan komunitas, desa, bahkan pemerintahan di tingkat kecamatan juga punya gawe festival. Pokoknya semua berlomba-lomba membuat festival. Malahan sembilan kecamatan di Buleleng katanya akan menyelenggarakan festival masing-masing.
Gawe festival ini sebenarnya seperti pisau bermata dua. Jika festival dikonsep dengan baik, tentu berdampak positif bagi masyarakat. Pertama, seni budaya menjadi lebih menggeliat. Kedua pariwisata akan semakin bergairah. Ketiga, jika seni budaya menggeliat dan pariwisata semakin bergairah, perekonomian daerah semakin berputar karena dapat pemasukan dari pajak. Utamanya sih pajak hotel dan restoran.
Tapi jika tidak dikonsep dengan baik, atau sekadar diselenggarakan saja, ini bisa jadi masalah di kemudian hari. Festival, pekan seni, atau apalah namanya, menjadi sebuah kegiatan yang menjemukan. Itu-itu saja. Ujung-ujungnya dicap sebagai pemborosan anggaran. Boro-boro dapat pemasukan, menonton saja jadi eneg, mual dan malas.
Sambung-Menyambung tapi Sama
Sebenarnya bibit-bibit wabah festival itu sudah muncul dari tahun 2013. Buleleng Festival yang diselenggarakan pertama kalinya, berlangsung spektakuler. Buleleng Festival waktu itu melengkapi sejumlah kegiatan serupa di Buleleng, seperti pasar rakyat saat HUT Kota, Utsawa Merdangga Gong Kebyar, Pesta Kesenian Bali, juga Sail Indonesia dan Festival Lovina.
Buleleng Festival awalnya didedikasikan untuk menunjukkan potensi seni tradisi di Bali Utara yang memang beda dengan Bali Selatan. Seni tradisi Bali Utara tidak mendapat tempat yang cukup di Bali Selatan, sehingga tak dikenal. Akhirnya dibuat Buleleng Festival untuk menyediakan panggung yang layak dan megah bagi penggiat seni tradisi.
Jadi saat itu Buleleng Festival memang bukan disiapkan untuk menyajikan hingar-bingar musik modern. Tapi hakikatnya memaksa penonton menyaksikan garapan-garapan seniman asli Buleleng. Hasilnya bukan hanya spektakuler, malah menjadi pemicu lahirnya festival-festival baru.
Setelah tahun 2013, mulai bermunculan festival-festival baru. Seperti Festival Danau Buyan tahun 2014 yang didedikasikan untuk pengembangan pertanian. Festival ini kemudian bermetamorfosis menjadi Twin Lake Festival pada tahun 2015, dan masih berlangsung pada tahun ini.
Kemudian muncul festival-festival di tingkat desa seperti Festival Anturan dan Festival Tejakula. Tahun 2015 muncul lagi Buleleng Bali Dive Festival yang didedikasikan sebagai wadah pengembangan maritim dan konservasi kelautan.
Belakangan pada tahun 2016 ini, ajang festival menjadi begitu semarak. Saya bahkan kesulitan menghitung ada berapa banyak event yang tercatat dalam buklet kalender event tahun 2016. Ada Festival Baleganjur, Festival Pesantian, Mekorot Festival, Wanaralaba Festival, Buleleng Endek Carnival, dan banyak lagi event-event lainnya.
Yang paling menarik bukan saja foto juga jadwal demi jadwal. Tapi tagline dengan tema “Buleleng Enjoy the Difference”. Setelah diartikan di google translate, kurang lebih artinya “Nikmati Perbedaan di Buleleng”.
Di luar festival-festival itu, ternyata masih ada festival lain yang muncul di setiap kecamatan. Diawali dari Kecamatan Sukasada yang menyelenggarakan Gebyar Seni Budaya Sukasada (Gasebu). Kemudian Kecamatan Seririt menggelar Festival Seririt Perdana (Fesrida). Belum selesai Fesrida, Kecamatan Gerokgak menggelar Festival Budaya Kecamatan Gerokgak (Fesbuker). Sebentar lagi Kecamatan Kubutambahan akan menggelar Passbukrya. Kata itu adalah singkatan dari Pagelaran Aksi Seni Budaya Kubutambahan Berkarya.
Kabarnya Kecamatan Busungbiu juga menggelar festival serupa. Sebentar lagi Kecamatan Sawan juga digosipkan membuat festival pada bulan Oktober. Kecamatan Buleleng dan Kecamatan Tejakula? Entahlah. Sederet festival-festival itu saja sudah cukup padat. Apalagi waktunya berdekatan dengan Twin Lake Festival, Buleleng Festival, Pasar Rakyat di bulan Agustus, dan Festival Lovina.
Dengan padatnya agenda festival, pentas seni, pekan budaya, dan berbagai namanya itu, kini muncul fenomena lain. Masyarakat mulai jenuh dengan agenda yang begitu banyak. Bukan hanya karena waktunya yang saling berdekatan. Tapi kegiatannya yang nyaris mirip satu sama lain. Nyaris tidak ada bedanya. Instansi yang mengurus festival pun sepertinya kesulitan mengatur keinginan menyelenggarakan festival yang begitu membuncah.
Harus Dikonsep Matang
Festival atau pentas seni, harus dikonsep dengan matang. Harus memiliki perbedaan dengan festival satu dengan yang lain. Festival di Gerokgak, tentu harus berbeda dengan festival di Kubutambahan. Buleleng Festival tentu harus berbeda dengan Denpasar Festival atau Sanur Village Festival. Twin Lake Festival harus berbeda dengan Festival Pertanian Badung. Buleleng Bali Dive Festival juga tidak boleh sama dengan Legian Beach Festival.
Jika festival-festival itu sama, siapa yang mau nonton festival ke Buleleng? Sudah jauh, jalannya berkelak-kelok, buat mabuk, eh pagelarannya sama dengan yang ada di Denpasar. Turis entah itu domestik atau mancanegara, pasti memilih datang ke festival-festival yang ada di Bali Selatan.
Sebelum festival-festival di Buleleng yang seabreg itu dilanjutkan, ada baiknya pemerintah melakukan mapping terhadap festival dan agenda seni budaya yang ada di Buleleng. Pemetaan itu bukan hanya soal jadwal, tapi juga soal konsep. Jangan sampai festival A dan festival B sama. Jangan-jangan festival Z nanti juga sama konsepnya. Jika sama, lebih baik dijadikan satu saja.
Evaluasi Target Capaian
Selain itu festival yang sudah diselenggarakan juga harus dievaluasi target dan capaiannya. Twin Lake Festival misalnya, apa festival itu sudah benar-benar berhasil mempromosikan produk pertanian di Buleleng? Jika benar sudah, apa iya investor korporasi mau membeli produk Buleleng. Sebagai gambaran saja, Festival Pertanian di Petang, bukan hanya mendatangkan transaksi ekonomi, tapi juga kontrak jangka panjang bagi petani untuk memasarkan produknya.
Lantas Buleleng Bali Dive Festival, apa sudah berhasil sebagai ajang promosi potensi maritim di Buleleng dan ajang konservasi maritim? Kalau konservasi maritim, rasanya tidak perlu diragukan lagi. Tapi promosi potensi maritim? Mari tanyakan dengan pengusaha perikanan yang ada di Gerokgak, entah skala tambak atau skala pabrik.
Buleleng Festival, apa iya sudah memunculkan perbedaan seni budaya yang ada di Bali Utara? Apa iya seni tradisi di Bali Utara sudah benar-benar diberi tempat di panggung glamour dan megah? Atau masih tersisih di sudut? Kalau hanya menghadirkan hingar bingar musik dan seni kontemporer, sudah pasti kalah dengan Sanur Village Festival, sekian banyak jazz festival di Bali Selatan, dan pastinya kalah dengan Soundrenaline.
Lantas festival-festival di kecamatan, apa iya sudah berhasil menggairahkan seni budaya yang ada di masing-masing kecamatan? Atau hanya sekadar diselenggarakan “biar bapak senang”?
Hal yang dilakukan di Sukasada sepertinya patut diadopsi. Masing-masing desa habis-habisan pada ajang baleganjur. Pertanyaan kemudian muncul, setelah juara di sana, lalu apa? Apa bisa tampil di Buleleng Festival? Apa bisa tampil saat parade baleganjur di PKB? Tidak ada yang bisa menjawab.
Saya membayangkan seni budaya di masing-masing kecamatan, benar-benar didedikasikan untuk menggairahkan kecamatan. Seniman di masing-masing desa fokus membuat sebuah garapan, untuk menyajikan yang terbaik.
Ketika masing-masing kecamatan membuat pentas parade balenganjur, saya membayangkan pemerintah kabupaten menyelenggarakan parade baleganjur tingkat kabupaten. Juaranya berhak menjadi duta kesenian Buleleng pada ajang PKB. Dengan catatan, garapan yang sudah dipentaskan di kecamatan dengan garapan di kabupaten, tidak boleh sama.
Begitu pula dengan parade gong kebyar, yang akhirnya berujung di utsawa merdangga gong kebyar. Dengan begitu gairah berkesenian di desa semakin semarak. Garapan juga menjadi semakin kaya. Seniman akan semangat, semangat seperti tim sepakbola menghadapi sebuah liga, agar bisa promosi ke tingkat yang lebih tinggi.
Tapi jika festival-festival dibiarkan begitu saja, tanpa ada evaluasi lebih lanjut soal target capaiannya, jangan salahkan festival yang ada di Buleleng dianggap membosankan dan buang-buang anggaran. Ingat, capaian keeberhasilan sebuah festival bukan hanya dari kuantitas kunjungan atau kuantitas perputaran uang belaka. Tapi juga kualitas dan capaian dari visi misi festival itu sendiri. (T)