MENANDAI pembukaan pameran “Metastomata : Metamorphosis Manufesto Galang Kangin” di Neka Art Museum, 18 April 2025 yang dibuka oleh anggota DPD, Dr. Ida Bagus Rai Dharmawijaya Mantra, S.E., M.Si – digelar sebuah seni pertunjukan berdurasi sekitar 10 menit.
Pada perhelatan itu, sebuah kolaborasi yang apik disajikan oleh penyair Wayan Jengki Sunarta manakala merespon karya patung Dewa Somawijaya yang berjudul “Kekecewaan”. Sementara itu – perupa Made Gunawan merespon dengan permainan serulingnya.
Pertunjukan ini berangkat dari keresahan terhadap renovasi bangunan bersejarah yang sering kali dilakukan tanpa mempertimbangkan kesadaran sejarah dan budaya lokal. Ini, banyak terjadi dalam renovasi pura-pura tua di Bali. Alih-alih melestarikan, renovasi yang tidak bijak justru dapat menghapus jejak sejarah yang seharusnya tetap terjaga.
Dalam konteks ini, Wayan Jengki Sunarta menghidupkan puisinya yang berjudul “Situs Candi”, yang menggambarkan ..//bayangan candi sebagai wujud masa silam yang meleleh dalam kenangan bocah gembala//... Puisi ini mengangkat refleksi tentang perjalanan spiritual dan sejarah yang terjalin dalam pahatan purba, serta bagaimana manusia berinteraksi dengan warisan budaya mereka.
Malam itu, Jengki Sunarta tampil total, dan menunjukkan kepiawaiannya dalam seni teater. Ia menghidupkan kata-kata dalam bentuk ekspresi tubuh, suara, dan interaksi dengan ruang.
Sementara itu, Made Gunawan, yang memainkan musik seruling, menghadirkan elemen suara yang memperkuat atmosfer kegelisahan dan harapan. Musiknya menciptakan suasana yang mendalam, membawa penonton ke dalam perjalanan emosional yang penuh refleksi.

Made Gunawan dan Jengki Sunarta pada pertunjukan pembukaan pameran “Metastomata : Metamorphosis Manufesto Galang Kangin” di Neka Art Museum
Beberapa teman sastra yang menikmati repertoar ini, menyebutnya sebagai ‘teaterikal puisi’. Ada juga yang menyebutnya ‘dramatisasi puisi’. Maksudnya adalah bentuk seni pertunjukan yang menggabungkan puisi denganelemen teater, seperti ekspresi tubuh, intonasi suara, musik, dan pencahayaan sederhana.
Pertunjukan yang menggabungkan unsur puisi, teater, musik, dan seni visual ini menciptakan pengalaman yang multidimensional dan penuh makna. Dalam hal ini, Jengki tidak hanya membacakan puisi, tetapi ia juga memainkan ekspresi tubuh dan suara, dan menjadikannya bagian dari seni pertunjukan yang lebih bermakna.

Jengki Sunarta pada pertunjukan pembukaan pameran “Metastomata : Metamorphosis Manufesto Galang Kangin” di Neka Art Museum
Jengki berhasil memvisualisasikan puisinya melalui gerakan dan atmosfer panggung. Ia menghidupkan kata-kata dengan intonasi yang dramatik, gestur yang ekspresif, dan interaksi dengan properti panggung. Sementara itu, musik Made Gunawan memperkuat suasana, menciptakan efek emosional yang mendalam.
Pertunjukan diawali dengan orasi singkat oleh pematungnya, selanjutnya penyair Wayan Jengki Sunarta keluar dari gerbang candi dengan kostum hitam dan berkerudung kain ‘poleng’. Sembari membaca puisi, ia mengelilingi beberapa patung karya Dewa Soma yang tertata di panggung, dekat dengan beberapa obor yang melengkapi property panggung. Jengki, membaca dengan totalitas dan ekspresi yang mendalam.
Api dalam pertunjukan ini bisa diinterpretasikan sebagai simbol transformasi dan pembaruan, sekaligus sebagai metafora bagi kehancuran yang terjadi akibat renovasi yang tidak bijak. Ini bisa kita rasakan pada teks puisinya ; ..//berbunyi “karma karena punarbhawa, tak paham kapan awal kapan akhir//.., yang semakin memperkuat kritiknya tentang “ketidakpastian sejarah dan siklus kehidupan.
Mengutip Julia Kristeva, seorang teoretikus, ahli linguistik, kritikus sastra, filsuf dan psikoananlis kelahiran Belgia. Ia menjelaskan tentang intertekstualitas, bahwa sebuah teks tidak pernah berdiri sendiri, melainkan selalu berhubungan dengan teks-teks lain. Dalam konteks ini, puisi “Situs Candi” dapat dilihat sebagai bagian dari dialog dengan sejarah, mitologi, dan tradisi Bali (secara tekstual).
Ini bisa kita simak, Jengki mengangkat simbol-simbol seperti candi, arca dewa, ritual, dan masih banyak lagi diksi-diksi yang memiliki makna mendalam dalam kebudayaan Bali. Puisi ini kemudian bertransformasi menjadi seni pertunjukan yang menggabungkan beberapa anasir dan menciptakan pengalaman intertekstual yang lebih luas. Jika tak keberatan, saya berpendapat bahwa Jengki piawai mengubah “narasi tekstual” menjadi “narasi teatrikal”

Jengki Sunarta menunjukkan naskah puisi Situs Candi
Dalam puisi “Situs Candi”, Jengki menggunakan berbagai perangkat stilistika seperti metafora, repetisi, dan personifikasi untuk menciptakan suasana yang penuh refleksi. Misalnya, frasa “Bayangan candi: wujud masa silam yang meleleh” menunjukkan penggunaan metafora yang menggambarkan bagaimana sejarah dan kenangan dapat larut dalam waktu. Dalam pertunjukan, elemen visual seperti api dan gerakan tubuh memperkuat efek stilistika ini, menciptakan pengalaman yang lebih mendalam bagi penonton.
Dalam seni pertunjukan ini, saya menyebut penggayaannya sebagai ekspresionisme. Sebab berfokus pada ekspresi emosional yang kuat dan penggunaan simbol-simbol yang menggugah perasaan. Dalam pementasan “Kekecewaan” ini ekspresi tubuh, suara, dan musik digunakan untuk menyampaikan kegelisahan dan harapan terhadap pelestarian sejarah. Jengki , sebagai penyair, menggunakan intonasi, gerakan, dan interaksi dengan ruang untuk memperkuat pesan puisinya.

Jengki Sunarta pada pertunjukan pembukaan pameran “Metastomata : Metamorphosis Manufesto Galang Kangin” di Neka Art Museum
Pada akhir pertunjukan, Jengki mengajak IB Rai Dharmawijaya Mantra, dan beberapa tokoh lainnya ke atas panggung, untuk suatu acara simbolik oleh Jengki. Puisi “Situs Candi” dihidupkan melalui berbagai ekspresi. Ini adalah contoh bagaimana puisi bisa menjadi lebih dari sekadar teks—ia bisa menjadi pengalaman yang menyentuh dan menggugah.
Dengan menggabungkan teater, musik, dan seni visual, ia menciptakan pengalaman yang tidak hanya estetis tetapi juga penuh refleksi dan kritik sosial. Karya Jengki ini mengajak penonton untuk merenungkan hubungan mereka dengan sejarah, spiritualitas, dan identitas budaya. Selamat bro Jengki, penyair sejati. [T]
Penulis: Hartanto
Editor: Adnyana Ole
- BACA JUGA