TAK jelas siapa yang memulai, jika membuka tiktok tentang Bali, algoritma akan mempertemukan kita dengan FYP yang berbunyi ‘bawa lukamu ke Bali’ yang secara langsung mengukuhkan citra pulau berjuluk dewata itu sebagai tujuan Healing.
Sama seperti Yogyakarta dan Bandung yang kita romantisasi begitu juga Bali bahkan romantisme ini tertuang dalam banyak tulisan oleh penulis-penulis mancanegara, saat menulis artikel saya baru saja menghabiskan buku berjudul “Bali: A Paradise Created” karya Adrian Vickers tentang dialektika antara persepsi masyarakat adat dan imajinasi Barat terhadap pulau merubah citra bali itu, penulis menjuluki Bali sebagai “The last paradise” tempat bertemunya budaya Asia dan Pasifik yang berbeda dari semua kawasan di region tropis.
Di Bali, pesona alam memang berpadu dengan ritus yang selalu bergema seperti Dhanvantari, Dewa Ayurveda yang tak hanya membawa amerta (keabadian), tetapi juga penyembuhan.
Namun pesona ini menyimpan paradoks antara yang sakral dan yang rapuh. Misalnya saja, alam yang menyembuhkan justru rentan terluka oleh tangan manusia yang ia rawat begitupun budaya yang boleh tergerus kesakralannya pada akhirnya Bali sendiri memiliki setumpuk luka yang tak kunjung sembuh bahkan semakin mengangga menunggu ke tahapan kritis, kiranya Dewataku Sayang, Dewataku Malang,
Bagi saya kondisi dan situasi ini memantik refleksi antropologis tentang otentisitas, agensi budaya, dan resistensi. Sebagai bagian dari manusia Bali, tantangan selanjutnya adalah memahami bagaimana yang ekologis, spiritual, dan kultural itu dapat bertransformasi tanpa kehilangan makna dan manfaatnya.
Tattwa, Susila, Acara: Negosiasi Nilai dalam Pusaran Pasar
Dalam kosmologi Hindu Bali, Ada tiga pilar penting peradaban—yaitu Tattwa (filsafat), Susila (etika), dan Acara (ritual)—ketiganya bukan sekadar struktur statis, melainkan sistem dinamis yang terus beradaptasi. Namun, pariwisata massal sebagai produk kapitalisme mempercepat transformasi ketiga pilar ini dengan logika pasar. Pada akhirnya yang ritus harus tunduk pada kalender pariwisata, sebatas event namun dangkal dengan makna.
Acara, seperti Ngaben atau Bhuta Yadnya, seringkali dipentaskan sebagai “atraksi eksotis tanpa makna transendentalnya. Pura Besakih dan Tanah Lot misalnya, menjadi medan pertarungan simbolis, dimana kamera turis menggeser fokus sembahyang. Persoalan etika juga mulai tergerus, saat ini Bali selalu dilanda masalah turis yang berkendak sesukahati, hal ini diperparah dengan warga lokal yang seringkali membiarkan atau malah ikut-ikutan, belum lagi persoalan pendatang yang tidak bisa dihadang akibat dari abainya pemerintah meratakan kesempatan kerja dan kesejahteraan di sekitar wilayah Provinsi Bali.
Bali memasuki fetisisme komoditas
Situasi dan kondisi Bali di tengah gempuran kapitalisme ini pada akhirnya menciptakan realitas sosial baru. dalam perspektif Marx (1867), logika dari akumulasi kapital yang ekspansif itu mengubah relasi sosial dan budaya menjadi relasi komoditas. Melalui konsep fetisisme komoditas, dari Marx kita dapat melihat dan merasakan bagaimana nilai guna (use-value) dari budaya, tradisi, atau bahkan spiritualitas Bali teralienasi menjadi nilai tukar (exchange-value) yang diperdagangkan.
Apa yang esensial—seperti ritual adat, seni sakral, atau hubungan kolektif masyarakat—kini tereduksi menjadi objek konsumsi atau komoditas ekonomi. Yang ekologis berubah menjadi objek private, dan ironisnya Tri Hita Karana, filosofi Bali tentang keseimbangan antara alam, manusia, dan spiritual itu hanya menjadi semboyan tak bermakna, terkadang diseminarkan tanpa diterapkan.
Sawah dan pantai berubah menjadi villa dan beach klub, pohon berusia ratusan tahun harus terbunuh untuk kepentingan industri hiburan, bahkan lautan dipagari atas nama kepemilikan pribadi seperti yang terjadi di sekitar serangan. Pantai yang menjadi andalan pariwisata berubah landskap bak tambang seperti pantai sekitar Bali selatan dan Nusa Penida, maka benarlah perkataan Gary Bencheghib dalam dokumenter yang dibuatnya di Rahayu Project jika Bali kehilangan kepingan surganya setiap hari.
Proses ini tidak hanya mencerminkan dominasi modal atas ruang hidup masyarakat, tetapi juga memperlihatkan kontradiksi dialektis antara nilai-nilai komunal tradisional Bali, pemaknaan akan ekologis, dan imperatif profit kapitalis yang menghisap tenaga kerja dan sumber daya lokal Pulau Dewata.
Pada akhirnya, Bali menjadi bagian dari rantai produksi yang menghisap nilai lebih (Surplus Value) untuk kepentingan pemilik modal atas nama kesejahteraan bersama yang ironisnya masih berdiri di atas ketimpangan dan kertertindasan.
Nyala perlawanan dari yang paling mungkin
Perlu ditegaskan masyarakat Bali tidak menolak pembangunan selama berpedoman pada skala prioritas dan pada dasarnya masyarakat Bali juga tidak tinggal diam menanggapi situasi dan kondisi yang ada. Berpasrah pada keadaan yang menindas jelas bukan sifat alamiah manusia; selalu ada nyala perlawanan dalam setiap kondisi yang dirasa sudah amat buruk.
Dalam perspektif dharma (kewajiban suci) dan adharma (penyimpangan dari kebenaran), perlawanan ini tidak hanya sekadar respons sosial, tetapi juga upaya menjaga keseimbangan kosmis antara rita (keteraturan) dan anrita (kekacauan). Setiap tindakan mempertahankan tradisi, lingkungan, hak, atau nilai budaya adalah wujud dharma (kebaikan)—sebagai tanggung jawab moral untuk melindungi keharmonisan alam, manusia, dan spiritualitas. Sebaliknya, praktik eksploitasi, privatisasi, atau dominasi yang merusak tatanan kolektif merupakan bentuk adharma (kezaliman) yang harus dilawan.
Perihal perlawanan, tidak selalu frontal, tetapi juga tercermin dalam laku sehari-hari. Misalnya, para petani di Bali Utara yang mempertahankan subak—sistem irigasi tradisional berbasis nilai Tri Hita Karana (harmoni dengan Tuhan, manusia, dan alam)—adalah upaya menegakkan dharma dengan menjaga warisan leluhur yang berkelanjutan. Nelayan di Serangan yang melaut melawan batas privatisasi adalah perlawanan terhadap adharma kapitalistik yang mengancam ruang hidup. Begitu pula pemuda-pemudi Bali yang mengangkat isu sosial melalui ogoh-ogoh: mereka mengubah ritual Bhuta Yadnya (upacara penyucian) menjadi medium kritik, menyelaraskan dharma kreatif dengan kesadaran zaman.
Pada akhirnya Bali akan tetap melawan, tetapi dengan caranya sendiri melalui jalan yang selaras dengan nilai-nilai lokal seperti gotong-royong, kreativitas ritual, dan keteguhan hati dan tentu saja agama sebagaimana penegasan revolusioner dari bhagavid ghita yang berbunyi “Yadā yadā hi dharmasya glānir bhavati Bhārata, abhyutthānam adharmasya tadātmānaṁ sṛjāmyaham “, yang artinya “Kapan pun dharma merosot dan adharma bangkit, wahai Bharata, pada saat itulah Aku mewujudkan diri-Ku.”
Seperti api dalam sekam, perlawanan ini mungkin tak selalu bergemuruh, tetapi menyala-nyala dalam kesadaran, empati, dan konsistensi. Dengan demikian, dharma tidak hanya bertahan, tetapi menjadi cahaya penuntun menuju kemajuan Bali yang lebih beradab, bukan semata-mata menjadi surga konglomerat seperti yang direncanakan penguasa, konglomerat, atau penguasa yang sekaligus juga konglomerat. [T]
Penulis: Putu Ayu Sunia Dewi
Editor: Jaswanto