Ketika bertemu dengan Razan Wirjosandjojo di Temu seni Tari Indonesia Bertutur 2022, saya merasa wajahnya sangat familiar, dan “Sepertinya kami pernah bertemu,” pikir saya. Setelah berbincang-bincang pada beberapa kesempatan, saya baru tahu bahwa Razan—begitu biasa ia disapa—pernah mengajar untuk salah satu kelas di kampus saya. Ya, di kampus. Walaupun waktu itu ia baru lulus SMA.

Razan Wirjosandjojo dalam Sesi Sharing Method di Gunung Kawi
Razan memang sudah akrab dengan aktivitas kesenian sejak kecil. Ketika SD, ia sudah suka melukis, dan ketika SMP—ketika film step-up muncul dan sedang booming di Jakarta—ia mulai berkecimpung di dunia tari secara otodidak. Memang dari kecil Razan lebih suka dengan hal-hal yang berhubungan dengan ketubuhan dan karena itu dari segala jenis kesenian yang dijalani Razan, menari menjadi salah satu yang ia tekuni kemudian hari, dan secara bertahap, ia mulai berjejaring dengan teman-teman penari lainnya, hingga ia bekerja sebagai penari dan pengajar di Gigi Art of Dance Jakarta.

Puri Senja (kiri) dan Razan Wirjosandjojo (kanan) dalam Sesi Sharing Method di halaman hotel Amatara Agung Raka, Ubud
Sebagai usahanya untuk masuk lebih mendalam dan profesional di dunia tari, razan memutuskan untuk berkuliah di ISI Surakarta. Dari sana, ia mendapat wawasan baru tentang tari sebagai suatu produk dan wujud dari kebudayaan, dan hal itu menciptakan banyak pertentangan pada diri Razan. Di ISI Surakarta, ia mempelajari tari tradisi Jawa yang secara fisik sempat ia rasa sulit.
Setelah lulus dari ISI, Razan mempelajari banyak hal yang mengokohkan praktiknya dalam tari. Dan, ketika percakapan kami berlangsung, ia menekankan bahwa bagaimana ekspresi tubuh tidak dibatasi oleh bentuk fisik saja, tapi menjadi sesuatu yang lebih luas lagi, dan merepresentasikan tubuh itu sendiri.

Penampilan Bagus Bang Sada dan Razan Wirjosandjojo di Teges Kanginan dalam Program Kunjungan Budaya
Ide bisa muncul di mana saja. Percayalah. Ketika mencari gagasan, Razan selalu menelisik hal-hal yang dekat dengan sekelilingnya. Lalu, ia akan berangkat menuju pertanyaan-pertanyaan, kemudian mengkritisi hal-hal yang menjadi gagasannya, seperti: untuk siapa karya itu diciptakan, bagaimana dampak yang diharapkan dari karya yang akan digarap, dan sebagainya. Dari hal-hal tersebut, ia merajut semuanya menjadi sebuah gagasan utuh.
Kurang lebih 4 tahun hidup nyantrik di Studio Plesungan membuat pola pikir Razan berubah dari sebelumnya, dan saya bertanya pada Razan, “Apa yang berubah?” Ia menjawab dengan tenang sebagaimana pembawaannya sehari-hari. “Satu hal yang aku pelajari dari Studio Plesungan adalah seni itu terafiliasi dalam hidup kita. Itu bukan omong kosong.” Katanya.
Sebagai seniman, ia berpendapat bahwa apa yang kita lakukan adalah seni. Bahkan dari cara menyapu pun bisa dianggap sebagai seni. Seni bukan hanya dilihat dalam konteks tari-tarian, lukis-lukisan, nyanyi-nyanyian saja, tapi cara kita melihat kehidupan pun bisa dibilang sebagai seni itu sendiri. Mendengar hal ini, cukup membuat saya terkekeh-kekeh, memutar kepala sebelum akhirnya saya bergumam, “sepakat”.
Ternyata apa yang dikatakan orang banyak ada benarnya, bahwa “Hidup adalah panggung sandiwara” dan saya melihat Razan sebagai seniman yang berada di atas panggung tersebut. Seakan ia selalu siap untuk menunjukan sesuatu dari hal yang dilakukannya. Hal ini pun saya rasakan ketika mengobservasi Razan selama acara Temu Seni Tari Indonesia Bertutur yang diadakan oleh Kemendikbudristek ini.
Ada sebuah aura presensi yang terpancar begitu kuat pada dirinya. Entah itu hanyalah pembawaannya yang tenang tetapi mengintimidasi atau memang itu adalah sebuah dramaturgi yang sengaja Razan ambil untuk menunjukan diri. Saya hanya bisa menebak.

Penampilan Razan Wirjosandjojo di Mandala Wisata, Desa Bedulu dalam Sesi Presentasi Pertunjukan Tari
Saya percaya bahwa Razan memiliki sejarah latihan yang terbentang cukup lebar, dan ia menyebutkan beberapa seniman yang menginspirasinya hingga saat ini. Katsura Kan, seorang seniman Butoh—sebuah bentuk teater tari Jepang yang mencakup beragam aktivitas, teknik, dan motivasi untuk tarian, pertunjukan, ataupun gerakan—salah satu orang yang menginspirasinya. Baginya, Katsura Kan menarik dari segi caranya pengajaran; Katsura Kan tidak berhenti pada vokabuleri saja, tetapi Katsura Kan justru mampu mentranslasi imajinasi ke dalam tubuhnya.
Elemen Butoh yang Razan pelajari ketika ia melihat Katsura Kan bisa saya lihat secara langsung di pertunjukan Razan. Pada pertunjukannya, Razan membawa seekor ayam hidup dan ia menari bersama ayam itu. Dapat terlihat jelas, Razan terpengaruh oleh estetika Butoh di pertunjukan ini. Saya seakan-akan dibawa balik lagi pada tahun 1959 untuk melihat ulang salah satu karya butoh pertama yang berjudul “Kinjiki” dari Tatsumi Hijikata.
Razan tidak pernah terpaku terhadap tema-tema tertentu saja dalam berkesenian. Baginya, ia sendiri bagaikan ikan yang tahu dirinya sedang berenang di air, tetapi tidak bisa melihat air itu sendiri. Saat ini, Razan sedang tertarik dengan fenomena subkultur alay dan bagaimana tersentralisasinya ruang hidup orang-orang Indonesia di kota-kota besar.

Razan Wirjosandjojo (kiri), Priccilia Elizabeth Monica Rumbiak (tengah), Kurniadi Ilham (kanan) dalam sesi Presentasi Pertunjukan Tari di Mandala Wisata, Desa Bedulu
Tidak hanya itu, saat ini ia sedang bereksperimen tentang menghidupkan kembali memori orang mati melalui tubuh. Gagasan ini terinspirasi dari kenangan ayah Razan. Tapi hal yang ia tekankan adalah ia menghindar untuk membuat karya yang “bagus”.
Baginya, hasrat untuk menciptakan karya yang bagus akan menghancurkan esensi dari karya itu sendiri. Sebab, keinginan untuk menciptakan hal yang bagus kadang membuat kita cenderung memasukan hal-hal yang tidak perlu, “Kadang karya-karya masterpiece itu berangkat dari hal yang sederhana,” tambahnya.
Berbicara langsung secara intim dengan Razan cukup menarik bagi saya. Ia paham betul apa yang ia lakukan saat berkesenian selama ini. Barangkali, hal ini ada kaitannya dengan dirinya yang cukup banyak bergaul di berbagai macam ekosistem kesenian.
Jujur, pertemuan singkat kami di acara Temu Seni Tari Indonesia Bertutur yang terselenggara di Bali ini memberikan bekas yang cukup panjang bagi hidup saya sendiri. Saya tidak sabar untuk melihat perkembangan Razan dan apa yang akan ia lakukan ke depan. [T]