“Henry Manampiring kembali dengan dua buku yang berbeda namun sama kuatnya. SAJAKSEL: Kumpulan Sajak Urban, Korporat, dan Start-Up adalah eksplorasi barunya dalam menulis puisi, lengkap dengan ilustrasi karyanya sendiri, sebuah langkah keluar dari zona nyaman yang selama ini ia bangun. Sementara 50 To 20: Pesan dari Paruh Perjalanan adalah refleksi paling personalnya, berisi pesan-pesan untuk dirinya yang lebih muda, penuh kebijaksanaan yang dikumpulkan seiring waktu. Dikenal lewat Filosofi Teras dan The Alpha Girl’s Guide, penulis akan mengajak kita menyelami dunia barunya, dari sajak hingga renungan hidup.”
Begitulah kata-kata perkenalan dalam TOR yang dikirim panitia acara Bali Berkisah kepada saya. Saya dieri kehormatan untuk menjadi pemandu pada sesi diskusi buku Henry Manampiring dalam acara itu.
Saya ingat betul, terakhir kali saya bertemu dengan Henry Manampiring saat closing night acara Singaraja Literary Festival 2024 yang digelar Komunitas Mahima di bulan Agustus lalu. Waktu itu sedang bergegas menuju mobil, dan saya juga bergegas menghampirinya. Buku Filosofi Teras sudah ready ditandatangani. Sayangnya, saya tak sempat mengambil foto bersama. Tak enak rasanya menyita banyak waktunya. Terlebih Mas Henry pasti benar-benar lelah. Hari sudah hampir tengah malam, dan kami sudah berkegiatan seharian.
Tak pernah kemudian saya membayangkan bahwa saya akan berada dalam satu panel yang sama dengan Mas Henry. Di awal bulan Maret tahun ini, Gustra Adnyana dari Yayasan Mudra Swari Saraswati tiba-tiba menghubungi. Lewat pesan WhatsApp, ia mengajak saya untuk menjadi bagian dari acara Bali Berkisah akan diselenggarakan lagi setelah terkahir kali diadakan 2 tahun lalu. Saya di-offer untuk menemani Henry Manampiring bercerita tentang 2 buku kembarnya yang diterbitkan baru-baru ini – Sajaksel dan 50 to 20: Pesan dari Paruh Perjalanan. Gila, ini out of the blue banget sih. Segera tawaran baik ini saya sambut sepenuh hati, mengkonfirmasi untuk siap menjadi bagian dari perayaan literasi dan seni yang lumayan bergengsi ini.
Jadilah Sabtu, 22 Maret 2025, di lantai 3 Graha Yowana Suci, Denpasar, saya berada di panggung yang sama dengan Henry, membahas 2 buku terbarunya dalam panel bertajuk “Dari Sajak Urban ke Renungan Hidup: Sajaksel dan 50 to 20: Pesan dari Paruh Perjalanan”. Mantap gak tuh? Malam minggu saya rayakan dengan sangat produktif.
Sajaksel: Eksplorasi Baru Henry Manampiring dalam Dunia Puisi
Banyak yang tak menduga Henry Manampiring akan menulis sajak. Ia dikenal sebagai penulis dengan gaya bertutur yang santai, lugas, dan penuh humor, menggunakan bahasa yang kasual dan mudah dicerna, membuat topik yang berat atau filosofis menjadi lebih ringan dan relatable bagi pembaca umum. Tentu, ia akan sangat berjarak dengan metafora-metafora puitis yang kadang susah dimengerti maknanya. Setidaknya, itulah yang saya pikirkan.

Saya ( kanan) sebagai pemandu dalam sesi diskusi buku bersama Henry Manampiring | Foto: Dok. Bali Berkisah
Namun, tahun ini Henry Manampiring justru hadir dengan buku kumpulan sajak. Like, seriously ini beneran? Saya bercerita dengan salah satu teman saya, ia juga seorang penulis, dan pembaca buku-bukunya Henry Manampiring. Berbeda dengan saya, ia justru tidak terkejut sama sekali. Lho, kok bisa? Menurutnya, sebagai seorang yang menekuni filosofi, Henry Manampiring memiliki pemikiran yang sangat mendalam. Jika ia menulis sajak, malah itu terasa seperti perpanjangan bentuk dari refleksi yang ia jalani, namun dengan bumbu-bumbu kata yang menjadikan penyampaiannya lebih ekspresif dan emosional.
Henry Manampiring mengaku tak pernah terbayangkan akan menulis sajak. Berbeda dengan 50 to 20 yang memang sudah direncanakan untuk ditulis dan diterbitkan sejak lama, ide menulis sajak justru hadir saat ia menghadiri Singaraja Literary Festival 2024, saat ia dengan takjub mendengarkan Willy Fahmi Agiska dan Aan Mansyur membacakan puisi-puisi mereka di malam penutupan acara. Kedalaman makna yang ada dalam puisi-puisi tersebut menjadi titik awal inspirasinya untuk mencoba menulis sajak. Dari yang coba-coba, sampai akhirnya menerbitkan buku. Di samping itu, salah satu alasan lain yang ia sebutkan malam itu adalah karena rasa cintanya kepada kata, kan rasa cinta itulah yang membuatnya mengeksplorasi cara-cara baru dalam bermain kata.
Sajaksel merupakan gabungan dari 2 kata yang berbeda. Sajak dan Jaksel (Jakarta Selatan). Lalu, mengapa Jaksel? Henry bercerita soal Jakarta Selatan yang beberapa waktu lalu menjadi bahan roasting oleh para komika tanah air. Bahkan tak sedikit meme-meme soal Jaksel yang berseliweran di media sosial. Menurutnya, Jakarta Selatan bukan sekadar lokasi geografis, tetapi juga fenomena sosial dan budaya yang khas. Jakarta Selatan sering dianggap sebagai pusat gaya hidup urban, kelas menengah ke atas, dan tren-tren kekinian.
Ada beberapa fenomena unik soal Jaksel, di antaranya “Jaksel Talk atau bahasa Jaksel” – anak Jaksel terkenal suka mencampurkan bahasa Indonesia dengan bahasa Inggris, “Hustle Culture”, anak Jaksel kerap dikaitkan dengan gaya hidup sibuk, entrepreneur, startup, dan networking, yang selalu berbicara soal kerjaan, bisnis, atau investasi, sampai ke fenomena takut terlihat miskin lengkap dengan sewa menyewa Iphone dan lanyard bertuliskan dan berlogokan BUMN untuk buka puasa bersama.
Henry Manampiring memandang perilaku-perilaku absurd tersebut tidak hanya terjadi di Jaksel, tapi juga banyak terjadi di tempat-tempat lainnya, dan akan lebih mudah diingat jika dikaitkan dengan sebuah tempat atau kelompok tertentu. Sehingga lahirlah Sajaksel, sajak-sajak yang menceritakan keresahan dan dinamika kehidupan urban di Jakarta Selatan yang ia temui dari 25 tahun berkarier di dunai korporat dan start-up.
Sejak buku sajaknya diterbitkan, Henry mendapat banyak pesan masuk dari para pembacanya. Mereka mengaku sajak-sajak yang ditulisnya sangat Jleeebbb, relate dengan kehidupan atau realita sesungguhnya. Jaksel menjadi metafora yang membungkus banyak hal, mulai dari gaya hidup penuh pengakuan, hubungan sosial yang serba instan, percintaan yang dangkal, dan ketidakpastian hidup, realitas kehidupan modern yang penuh tekanan meskipun dari luar terlihat glamor, dan sebagainya. Kaum “Jaksel” ada dimana-mana, di seluruh penjuru Indonesia. Jaksel is not a place, it’s the people.
“Yang Sopan” kata Editor dan Tragedi 1998
Ada satu hal menarik yang Henry ceritakan saat ia menulis Sajaksel. Editor memintanya untuk tidak menggunakan kata ‘K****l’ di dalam bukunya. Kenapa? Karena tidak sopan. Pembacanya nanti akan terbatas. Sehingga ia disarankan untuk memakai kata lain. Padahal, menurut Mas Henry, kata ‘K****l’ sejatinya kata yang menggambarkan sesuatu yang indah.
Secara sosial, penggunaan kata ‘K****l’ memang dianggap tidak sopan, digunakan dalam konteks makian atau ekspresi emosional. Padahal, dalam seni atau sastra,kata-kata kasar sering digunakan sebagai bentuk ekspresi, kritik sosial, atau untuk menggambarkan realitas tertentu. Penggunaannya bisa jadi memiliki makna yang lebih dalam dan menohok. Pada akhirnya, kata ‘K****l’ tersebut disensor dengan mengganti 4 huruf di dalamnya dengan tanda bintang.
“Saya justru merasa kata ‘K****l’ yang disensor dengan tanda bintang jadi lebih bagus, lebih berkelas.” ujarnya sambil tertawa.
Ketika kita melihat “K****l,” otak tetap bisa menebak maksudnya, tapi penyamaran itu menciptakan efek yang lebih “halus” atau “sopan.” Ini mirip dengan bagaimana sensor dalam media membuat sesuatu terasa kurang vulgar meskipun maksudnya tetap sama. Selain itu, kata yang disamarkan sering kali terasa lebih elegan atau berkelas karena memberi ruang bagi pembaca untuk mengisi sendiri, tanpa harus langsung dihadapkan dengan kesan kasar dari kata aslinya. Ini seperti trik psikologis, ketika sesuatu tidak disebutkan secara eksplisit, justru bisa terasa lebih puitis atau misterius.
Oh, jadi begitu alasannya. Saya awalnya sempat mengira kata ‘K****l’ terkesan lebih elegant dan berkelas, karena ada bintang di dalamnya, sebagaimana saat seseorang memberikan review, semakin banyak bintangnya, semakin berkelas keadaannya. Berarti saya salah mengira.

Henry Manampiring (kiri) | Foto: Dok. Bali Berkisah
Meskipun Sajaksel lebih banyak berbicara tentang fenomena urban masa kini, kehadiran Sajak “1998” di dalam bukunya menunjukkan bahwa Henry Manampiring juga ingin merefleksikan sejarah. Sajak “1998” menjadi pengingat bahwa di balik gemerlapnya kehidupan urban di Jakarta, terutama di Jakarta Selatan, ada sejarah kelam yang sering terlupakan.
Di balik gaya hidup modern, coffee shop aesthetic, anak muda yang berbicara dengan aksen campuran Inggris-Indonesia, dan budaya hustle yang sibuk mengejar karier atau eksistensi sosial, terbaring trauma kolektif peristiwa 1998 yang penuh darah, ketakutan, dan pengorbanan. Di balik segala kemegahan Jakarta, mall, dan apartemen mewahnya, ada jalan-jalan yang dulu menjadi saksi bisu demonstrasi besar, kerusuhan, dan tragedi kemanusiaan, ada cerita mahasiswa yang ditembak, ada ketakutan yang pernah melumpuhkan kota, ada pembakaran dan penjarahan, ada persekusi, kekerasan fisik dan seksual terhadap satu etnis, ada kehancuran ekonomi, ada korban jiwa.
50 to 20: Sebuah Surat dari Masa Depan untuk Masa Lalu
Henry Manampiring mengaku menulis 50 to 20 karena ia menyadari ia sudah memasuki fase tua, setidaknya lebih tua dibanding generasi muda yang sedang menghadapi usia 20-an. Di bulan Agustus nanti, ia akan menginjak usia 50, dan baginya usia 50 bukanlah usia yang muda lagi. Tapi Henry masih terlihat muda lho. Apa sih rahasianya, Mas?
Nah, dalam bukunya itu, ia bercermin pada perjalanan hidupnya, pada kesalahan, pencapaian, serta pelajaran berharga yang ia dapatkan, dan ingin membagikannya kepada generasi muda agar mereka bisa belajar lebih awal dari pengalamannya. Tidak ada yang salah bagi anak muda untuk belajar dari pengalaman generasi sebelumnya. Justru, itu adalah cara cerdas untuk menghindari kesalahan yang sebenarnya bisa dihindari. Mendengar perspektif dari mereka yang sudah lebih dahulu melewati fase-fase kehidupan tentu saja dapat membantu untuk menghadapi tantangan hidup.

Henry Manampiring (kiri) | Foto: Dok. Bali Berkisah
Henry menyadari bahwa setiap orang punya latar belakang, kondisi, dan perjalanan hidup yang berbeda. Oleh karena itu, ia tidak menulis 50 to 20 sebagai aturan baku, melainkan sebagai pesan yang ia harap bisa ia sampaikan kepada dirinya sendiri ketika masih muda. Buku ini ibarat “surat dari masa depan” yang berisi refleksi dan wawasan yang mungkin bisa membantu anak muda menghadapi tantangan hidup dengan lebih baik. Dalam perjalanan hidupnya selama 50 tahun, tentu ada banyak sekali pelajaran yang ia kumpulan. Sehingga menjadi tantangan sendiri dalam menentukan 50 pesan yang akan dimasukan ke dalam buku tersebut. Ia memilih pesan-pesan yang masih relate dengan pembacanya dan tetap relevan bagi generasi muda saat ini. Masalah seperti pencarian jati diri, karier, percintaan, dan kebahagiaan tetap menjadi tantangan bagi anak muda dari generasi ke generasi.
Setiap Orang Terlahir dengan Previlese
Menurut Henry, setiap orang terlahir dengan privilese, meskipun bentuknya bisa berbeda-beda. Ada yang punya privilese finansial, pendidikan, jaringan sosial, atau bahkan sekadar privilese berupa wajah cantik dan ganteng, kesehatan dan kesempatan untuk belajar.
Saya seketika teringat dengan salah seorang teman saya di Ubud. Ia seorang juru masak dari Korea Selatan. Saat membuat masakan Korea untuk saya, ia berkata bahwa zaman dulu orang-orang besar dari kekaisaran selalu makan menggunakan sendok, garpu, atau sumpit yang terbuat dari perak. Ya, hanya orang-orang yang terlahir tersebut yang menggunakan alat makan berwarna silver, dan itu adalah sebuah previlese. Ia berkata suatu hari nanti ia ingin membuka sebuah bistro bernama “Silver Spoon”. Apakah karena makanan yang ia buat adalah makanan kerajaan? Bukan. Ia justru ingin mengatakan kepada orang-orang bahwa selama kita bisa makan dan tidak kelaparan, itu adalah sebuah previlese. Persoalan denga napa kita makan, sendok emas, perak, atau kayu, itu bukan perkara bentuk. Hhhhm, betul juga.

Henry Manampiring (kiri) | Foto: Dok. Bali Berkisah
Kembali ke Henry Manampiring, ia menekankan bahwa hidup bukan sekadar soal mendapatkan “kartu bagus” atau “kartu jelek,” tetapi bagaimana seseorang memainkan kartu yang mereka miliki sebaik mungkin agar bisa mencapai kemenangan dalam hidup. Pesan ini sangat relevan bagi generasi muda saat ini, yang sering merasa terbebani dengan perbandingan sosial di era media digital. Daripada hanya fokus pada keterbatasan atau ketidakadilan, Henry mengajak anak muda untuk lebih fokus pada apa yang bisa mereka lakukan dengan sumber daya yang ada. Ini adalah perspektif yang realistis tapi tetap optimis, bahwa setiap orang punya peluang untuk sukses dengan strategi yang tepat.
Pentingnya Berinvestasi Lebih Cepat
“Mas, jika ada mesin waktu dan kita bisa kembali ke usia 20-an hanya untuk sehari, apa satu hal yang Mas ingin lakukan atau ingin ubah?’” tanya saya kepada Henry.
Ia tertawa, kemudian mengatakan bahwa jawaban yang akan ia berikan bukanlah sebuah jawaban yang inspirasional.
“Saya akan membeli saham BCA,” jawabnya disambut riuh gelak tawa dari para peserta acara.
Iya, jawabannya memang tidak inspirasional, tapi sangat menekankan sebuah pesan penting, yaitu cepatlah berinvestasi. Ia ingin kembali ke masa lalu untuk membeli saham BCA karena ia sadar betapa besar nilai investasi itu jika dilakukan sejak dini. Investasi, terutama dalam bentuk aset seperti saham, bisa memberikan keuntungan luar biasa dalam jangka panjang. Jika saja ia membeli saham BCA saat usianya 20-an, sekarang pasti ia sudah kaya betul.
Dalam bukunya, Henry juga menekankan bahwa berinvestasi tidak hanya soal mulai lebih cepat, tetapi juga harus disertai kecerdasan dan kewaspadaan. Dalam 50 to 20, ia mengingatkan bahwa investasi yang baik bukan hanya tentang menaruh uang di sembarang tempat, tetapi juga memahami strategi yang tepat.


Berfoto bersama Henry Manampiring | Foto: Dok. Bali Berkisah
Tak terasa, sudah satu jam berlalu sejak diskusi Sajaksel dan 50 to 20 bersama Henry dimulai. Lho, cepat sekali ya? Rasanya baru 10 menit saking seru dan menariknya pemaparan yang disampaikan langsung oleh penulisnya. Tidak hanya membahas isi buku, tapi juga mengintip proses kreatif di balik penulisan dua buku tersebut, mulai dari bagaimana ide awalnya muncul, tantangan yang dihadapi, hingga keputusan-keputusan unik seperti penyensoran kata dalam Sajaksel yang ternyata justru memberi nilai estetika tersendiri.
Saya sejujurnya masih penasaran, apakah Henry berencana menulis sekuel dari dua buku ini? Mungkin Sajaksel Part II dengan perspektif baru tentang kehidupan urban yang terus berkembang, atau 60 to 30, kelanjutan dari 50 to 20 yang mengupas perjalanan hidupnya satu dekade ke depan? Jika dilihat dari antusiasme dan energi yang Henry tunjukkan sepanjang diskusi, rasanya tidak menutup kemungkinan akan ada karya-karya baru yang lahir dari pemikirannya.
Sesi diskusi pun sampai di penghujung acara. Saya menyimpulkan dengan sangat singkat, padat, dan penting: “Beli bukunya Henry Manampiring, stand buku ada di belakang. Nanti kita ikut book signing bareng-bareng ya.” Karena setelah mendengar langsung cerita di baliknya, rasanya membaca buku ini akan menjadi pengalaman yang jauh lebih kaya dan bermakna.
Tentang Bali Berkisah
Bali Berkisah 2025 adalah ruang perjumpaan bagi anak muda Bali untuk menyelami kekayaan sastra dan budaya Bali. Sebagai sister festival dari Ubud Writers & Readers Festival, Bali Berkisah bukan sekadar perayaan literasi, tetapi juga wadah eksplorasi isu sosial-budaya melalui diskusi, karya kreatif, serta pertemuan lintas disiplin seni.
Dengan semangat kebersamaan dan kolaborasi, festival yang diselenggarakan oleh Yayasan Mudra Swari Saraswati ini berupaya menumbuhkan kecintaan terhadap sastra, budaya, dan kearifan lokal, serta memperkenalkan suara-suara baru dalam dunia literasi dan seni di Bali.
Festival ini dapat terselenggara berkat dukungan dari Kementerian Kebudayaan Republik Indonesia dan Lembaga Pengelola Dana Pendidikan melalui Program Pemanfaatan Hasil Kelola Dana Abadi Kebudayaan Tahun 2024, serta Graha Yowana Suci sebagai ruang inspiratif bagi generasi muda.[T]
Penulis: Julio Saputra
Editor: Adnyana Ole