GELOMBANG penguatan sastra dan budaya Bali, kembali datang dari kalangan anak-anak muda di Pulau Dewata. Mereka memaparkan pengalamannya dalam menulis buku atau kegiatan lain yang berhubungan dengan menulis, membaca dan menggali budaya. Mendengarkan pengalaman dan keseriusan mereka dalam menjaga sastra tentu menjadi angin segar bagi Bali, terkait dengan pelestarian sastra dan budaya Bali di daerah sendiri.
Paling tidak, itulah yang tergambar dalam Press Call Bali Berkisah yang berlangsung di Lobby ARTOTEL Sanur pada Kamis, 20 Maret 2025. Acara Press Call ini, serasa sebagai pemanasan menyambut Festival Berkisah yang akan berlangsung pada Sabtu dan Minggu, 22-23 Maret 2025 yang memilih Graha Yowana Suci sebagai venue utama. Sebab, narasumber yang hadir tampak bersemangat memaparkan pengalaman mereka, bahkan menginspirasi peserta yang hadir.
Mereka adalah Made Chandra seorang perupa muda yang mengeksplorasi wayang Kamasan, Putu Tiwi seorang penulis dan akademisi dengan fokus pada sosiologi gender dan budaya, Wangsa Loka seorang Travel Content Creator yang menuangkan pengalaman perjalanannya dalam buku “Kelana, Paths Will Guide You toFind the Soul” yang segera terbit, serta Carma Mira, penulis dan dosen Sastra Jawa Kuno di Universitas Udayana, yang akan meluncurkan kumpulan cerpen berbahasa Bali berjudul “Blabur ring Pasisi Sanur” di Bali Berkisah.

Acara Press Call Bali Berkisah
Dalam acara tersebut menampilkan suara-suara baru dalam dunia literasi, seni, dan budaya Bali, sehingga terkesan lebih bersengat. Hal itu membuktikan, Bali Berkisah tidak hanya merawat kisah-kisah lama, tetapi juga membuka ruang bagi generasi muda untuk menginterpretasikan ulang warisan budaya mereka. Festival ini seakan mengajak aak-anak muda untuk berperan aktif dalam menciptakan narasi Bali yang relevan di masa kini dan masa depan.
Acara Press Call Bali Berkisah kali ini memang lebih hangat. Peserta yang datang kebanyakan anak-anak muda, dan berlangsung di hotel mewah. Lukisan berbagai ukuran yang terpajang di dinding lobby menambah suasana semakin hangat. Apalagi, para peserta bisa minum kopi atau teh serta mencicipi kue yang disuguhkan pengelola hotel. MC yang sekaligus sebagai moderator itu kemudian memanggil pada narasumber muda itu untuk tampil di depan.
Made Chandra, pemuda asli Bali yang lahir dan besar di Palembang yang kini baru 3 tahun menetap di Bali memaparkan tentang Wayang Kamasan sebagai objek eksplorasi. Ia menjadikan budaya seni rupa, utamanya cerita Wayang Kamasan menjadi medium untuk berkarya. “Saya menjadikan Wayang Kamasan sebagai medium berkarya dan menjadikan aktivitas berkesenian saat ini,” papar anak muda yang kini berstatus sebagai mahasiswa ISI Bali.
Memilih Wayang Kamasan, dilalkukan sejak ia mulai belajar di kanmpus seni milik masyarakat Bali itu. “Saya yang lama hidup di luar Bali, ingin belajar seni budaya Bali, khususnya dalam seni lukis. Saya melakukan ini, juga karena merasa Wayang sebagai seni lukis yang mempunyai aspek kesejarahan. Wayang Kamasan ini menjadi bahasa dan bisa konstektual dengan jaman ini. Konstektual itu kan tak berhenti. Maka mengali kesejarahan seni wayang yang pastinya berimplikasi terhadap kehidupan sekarang,” paparnya.
Made Chandra – seorang perupa muda asal Bali. Dalam berkarya ia kerap menggunakan wayang Kamasan sebagai bagian dalam eksplorasinya. la berusaha untuk menarik sejauh mungkin bagaimana tradisi bisa menjadi subjek yang bisa berbicara tentang sesuatu di luar dirinya. Selain berkarya ia kerap menulis beberapa catatan kecil perihal budaya, tradisi maupun seni rupa.
Putu Tiwi memaparkan karya bukunya yang melawan bahasa patriaki yang telag terbit tahun lalu. Buku ini, merupakan adaptasi dari sekripsi S1 saat ia kuliah di Unud. Ia lebih banyak memaparkan keputusan lenbih banyak diampil oleh kaum laki-laki. “Aku tumbuh dalam lingkungan yang semua keputusan diambil oleh laki-laki. Aku berpikir, aku hidup dan besar, tetapi tidak bisa mengambil keputusan. Kenapa lagi-laki selalu mejadi yang utama?” tanyanya.
Putu Tiwi – menyelesaikan pendidikan terakhirnya di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Padjadjaran. Ia memiliki ketertarikan pada bidang sosiologi gender dan sosiologi budaya. Buku terakhirnya, Melawan Bahasa Patriarki diterbitkan pada tahun 2023 oleh Penerbit Semut Api.
Wangsa Loka yang pekerjaannya mengunjungi tempat-tempat baru dan menemukan banyak orang menjadikan sebuah pengalaman. Sebagai wanita, ia memaparkan pengalamannya pergi ke India sendirian. Saat itu, ia bukan meminta ijin tetapi memberitahukan orang tuanya untuk traveling ke India. “Saya kaget, ayah ternyata mengatakan kamu harus berani,” uvapnya menitukan suara ayahnua.
Wangsa Loka kemudian menegaskan, sebagai perempuan mesti memiliki hati merdeka. Jangan terkunhkung pada satu tempat, jangan pula menganggap kenaran itu mutlak sebagai kebenaran. “Jangan-jangan kenenaran itu berdasarkan kesepakatan bersama,” ungkapnya.
“Ini adalah momen yang berharga, bukan hanya untuk mempelajari sastra atau mengetahui agenda yang telah dijadwalkan, tetapi juga kesempatan terbaik untuk membangun koneksi. Saya yakin orang-orang yang datang ke Bali Berkisah bukanlah sembarang orang. Tidak semua orang tertarik pada dunia penulisan atau sastra, sehingga kehadiran mereka di Bali Berkisah menunjukkan adanya ketertarikan yang mendalam. Acara ini bukan sekadar wadah yang telah disediakan, tetapi juga ruang bagi kita untuk bertumbuh dan membangun jaringan yang mungkin akan menentukan siapa kita di masa depan,” ujar Wangsa Loka.
Wangsa Loka – Seorang perempuan asal Bali yang berkarir sebagai Travel Content Creator selama tiga tahun terakhir, ia berkelana mengunjungi tempat-tempat baru dan bertemu banyak orang yang mengubah hidupnya. Seluruh pengalaman berkesan itu ia tuangkan dalam sebuah buku yang akan segera terbit berjudul Kelana, Paths Will Guide You to Find the Soul.
Carma Mira yang dosen Ilmu Budaya di Unud memaparkan buku yang “Ngatosang Ulungan Bulan, dan kumpulan cerpen yang akan diluncurkan di Bali Berkisah. Ia lebih banyak mengajak anak-anak muda untuk mempertahankan sastra Bali modern di tengah globalisasi, yang menjadi tantang kini. Selain itu, anak-anak muda yang rendah minat membaca sastra Bali modern, minim ada di sekolah termasuk toko-toko buku. “Ini juga berpengaruh anak-anak muda jarang membaca sastra Bali modern,” imbuhnya.
“Generasi muda memegang peran penting dalam menjaga eksistensi sastra Bali, namun kontribusi mereka tidak harus dilakukan dengan cara yang sama. Sastra Bali begitu luas, dan setiap individu dapat berkontribusi sesuai minatnya—menjadi pencipta, penikmat,mendukung lewat media digital, atau membangun komunitas literasi. Yang terpenting, sastra Bali terus hidup dan berkembang melalui berbagai cara,” ujar Carma Mira.
Carma Mira – adalah seorang penulis dan dosen di Program Studi Sastra Jawa Kuno, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Udayana. Bukunya yang berjudul Ngantosang Ulungan Bulan meraih hadiah Sastra Rancage untuk sastra Bali modern tahun 2024. Kumpulan cerpen berbahasa Balinya, Blabur ring Pasisi Sanur akan diluncurkan di Bali Berkisah.
Acara press call ini juga diisi dengan pembacaan puisi oleh tiga pemenang yang telah melalui proses seleksi. Mereka adalah Ni Made Agustini Ayu Candri Pratiwi (SMA N 1 Kubu), Ida Ayu Saira Suamba (SMP Taman Rama Jimbaran), dan Luh Putu Ira Vinaya Putri (SDN 2 Dangin Puri).



Pembacaan puisi oleh tiga pemenang penulisan puisi
Selain di Graha Yowana Suci, Festival Bali Berkisah ini juga akan berlangsung di ARTOTEL Sanur dan The Meru Sanur, sementara program sekolah akan diadakan di SDN 11 & 15 Dauh Puri Denpasar. Sebagai sister festival dari Ubud Writers & Readers Festival, Bali Berkisah hadir sebagai ruang perjumpaan bagi anak muda untuk menyelami kekayaan sastra dan budaya Bali.
Festival Bali Berkisah
Festival ini tidak sekadar merayakan literasi, tetapi juga menjadi wadah eksplorasi isu sosial-budaya melalui diskusi, karya kreatif, serta pertemuan lintas disiplin seni. Dengan semangat kebersamaan dan kolaborasi, festival ini berupaya menyebarkan kecintaan pada sastra, budaya, dan kearifan lokal Bali kepada generasi penerus.
Selama dua hari penuh, Bali Berkisah akan menghadirkan 37 penulis, seniman, dan budayawan muda Bali yang akan berbagi kisah dan wawasan dalam berbagai format acara, termasuk mendongeng, bincang-bincang inspiratif, lokakarya kreatif, tur sejarah, peluncuran buku, diskusi sastra, hingga pertunjukan seni.
Festival ini juga menjadi kesempatan istimewa bagi para penikmat sastra untuk bertemu dengan penulis senior Bali, seperti Wayan Jengki Sunarta, Tan Lio Ie, dan Mas Ruscita Dewi.
Tidak hanya dari Bali, festival ini juga mengundang nama-nama besar, termasuk Dee Lestari dan Henry Manampiring, yang akan turut serta dalam percakapan lintas budaya.
“Ada begitu banyak kisah berharga dari Bali, baik yang berasal dari tradisi maupun yang muncul dalam realitas sosial saat ini, yang perlu dirawat dan dibagikan ke generasi berikutnya. Festival ini lahir dari keinginan untuk menciptakan ruang bagi penulis, seniman, dan masyarakat untuk terus menggali, mendokumentasikan, serta menghidupkan kembali cerita-cerita ini. Harapannya, ini tidak hanya menjadi ajang apresiasi, tetapi juga sarana untuk melahirkan kisah-kisah baru yang akan terus beresonansi di masa depan,” ujar program manager Bali Berkisah, Gustra Adnyana.
Acara ini mencakup pameran seni, piknik sastra, pembacaan puisi, serta klub buku yang tersebar di beberapa titik di Denpasar, Kuta, dan Seminyak. Selain itu, Bali Berkisah turut menyelenggarakan lomba menulis puisi yang mendapat antusiasme tinggi dari puluhan siswa-siswi tingkat SD, SMP, dan SMA se-Bali.
Inisiatif ini bertujuan untuk merangkul komunitas di luar lingkaran sastra konvensional, membuka ruang dialog baru, serta menemukan lebih banyak pencerita yang siap berbagi kisahnya tentang Bali.
“Bali Berkisah lahir dari kecintaan kami terhadap sastra dan budaya Bali, serta semangat untuk menghadirkan ruang bagi generasi muda dalam merayakan dan mengembangkan warisan mereka. Festival ini bukan hanya tentang kata-kata, tetapi juga tentang membangun komunitas, berbagi cerita, dan menginspirasi satu sama lain. Kami berharap Bali Berkisah menjadi tempat di mana tradisi dan inovasi bertemu, melahirkan kisah-kisah baru yang akan terus hidup di masa depan,” Janet DeNeefe, Pendiri Yayasan Mudra Swari Saraswati dan Ubud Writers & Readers Festival.
Festival ini terselenggara berkat dukungan dari Kementerian Kebudayaan Republik Indonesia dan Lembaga Pengelola Dana Pendidikan melalui Program Pemanfaatan Hasil Kelola Dana Abadi Kebudayaan Tahun 2024. Dipersembahkan oleh Yayasan Mudra Swari Saraswati dan Ubud Writers & Readers Festival, festival ini diharapkan menjadi tonggak penting dalam merawat dan mengembangkan ekosistem sastra serta kebudayaan Bali di tengah arus perubahan zaman. [T]
Reporter/Penulis: Nyoman Budarsana
Editor: Adnyana Ole
- BACA JUGA: