HARI itu, Wantilan Sekretariat DPRD Kabupaten Badung tampak dipadati oleh para orang tua yang menyaksikan anak-anaknya tatkala mementaskan pagelaran seni. Tidak hanya para orang tua, para undangan lain dari berbagai kalangan juga turut antusias menyaksikan pertunjukan tahunan yang dipersembahkan oleh Maha Bajra Sandhi.
Barangkali ini adalah pagelaran seni paling rumit yang pernah saya saksikan. Segala unsur seni melebur menjadi satu kesatuan dalam pementasan itu. Mulai dari unsur tari, musik (gamelan), pewayangan dan teatrikal, serta sastra dipadupadankan menjadi sebuah pagelaran seni yang memukau dan memesona.
Tidak banyak yang bisa saya deskripsikan tentang pagelaran seni tersebut, karena memang rumit dan mengandung nilai-nilai filosofis yang amat mendalam. Saya hanya bisa takjub menyaksikan anak-anak kecil itu menabuh (bermain gamelan), menari, dan mekidung (olah vokal) bersama. Mereka tampak begitu lihai menyajikan pementasan itu, tidak tampak sedikitpun keraguan, jejak-jejak langkah dan gerak-gerik mereka selalu pasti.
Kala itu, Maha Bajra Sandhi menggelar pertunjukan tahunannya dalam kegiatan Renungan Suci dan Dialog Imajiner 7 Abad Bhinneka Tunggal Ika “Wisuddha Republikanisme Demokrasi” di Wantilan Sekretariat DPRD Kabupaten Badung, pada Senin, 30 Desember 2024. Dalam kegiatan ini, Maha Bajra Sandhi yang didirikan oleh Ida Wayan Oka Granoka menghadirkan pementasan “Kaputusan Garba Emas” yang diikuti dengan paparan langsung dari sang maestro budaya dan serangkaian diskusi.
Pementasan “Kaputusan Garba Emas” | Foto: tatkala.co/Dede
Acara yang dihadiri oleh Wakil Bupati Badung I Ketut Suiasa dan didukung oleh Pemerintah Kabupaten Badung ini mementaskan “Kaputusan Garba Emas” yang menampilkan para anak didik Maha Bajra Sandhi yang kini diampu oleh Ida Ayu Arya Setyani–putri sulung Granoka yang juga pengajar di ISI Denpasar, bekerja sama dengan Sanggar Pancer Langit yang menampilkan ragam rupa talenta khas pola asuh Maha Bajra Sandhi.
Pertunjukan yang berlangsung sepanjang 20 menit itu kebanyakan melibatkan anak-anak yang begitu bertalenta, sedari dini mereka sudah bisa menyajikan pagelaran seni yang serumit itu. Barangkali di masa mendatang, merekalah yang diharapkan mampu menjaga ekosistem seni dan local genius di Bali. Mereka adalah bibit-bibit unggul seniman hebat kelak.
Pementasan “Kaputusan Garba Emas” | Foto: tatkala.co/Dede
Wantilan Sekretariat DPRD Kabupaten Badung saat itu sudah seperti taman bermain bagi mereka, anak-anak itu begitu menguasai arena pentas. Tidak terlihat sedikitpun keraguan ataupun kebingungan dari mereka. Anak-anak itu menembang dengan nyaring, menari dengan luwes, dan menabuh dengan apik.
“Yang kita lihat dari pertunjukan anak-anak Maha Bajra Sandhi tadi adalah sebuah pertunjukan totalitas dari unsur gerak, rupa, dan sastra. Anak-anak bisa menari, bermain gamelan, wayang, di mana pola pelatihan semacam ini kini semakin jarang dilakukan,” tutur Prof. Dr. I Wayan Dibia, SST., M.A., Guru Besar Emeritus ISI Denpasar, yang menjadi salah satu pembicara dalam sesi diskusi bertema “Fenomena Sinergi Konvergensi Seni-Agama-Sains”.
Pementasan “Kaputusan Garba Emas” | Foto: tatkala.co/Dede
Prof. Dibia mengatakan, ia sangat mengapresiasi Granoka, yang masih kukuh mengadakan pelatihan semacam ini. “Karena kita tidak tahu, apakah anak didik ini nantinya akan jadi penari, penyanyi, atau sastrawan, biarkan bakat mereka yang nanti akan memperlihatkan. Namun, dasar pelatihan semacam ini sangat penting untuk masa depan seni pertunjukan di Bali,” katanya.
Ida Ayu Arya Setyani, yang akrab disapa Dayu Ani, pun mengamini bahwa dalam proses tumbuh kembang dalam keluarga, Granoka selalu mengondisikan kelima anaknya untuk mempelajari seluruh unsur seni.
“Kami dikondisisikan untuk bisa bermain gamelan, mekidung (olah vokal), dan menari. Walau pada akhirnya, tidak semua dari kami bisa menguasai semua, namun ini menjadi pengalaman estetis ke depan. Dari dulu ia juga mengajarkan, kami harus belajar pada semua mahaguru. Ini menjadi bentuk pengkondisian untuk menuju kompetensi penuh,” papar Dayu Ani.
Para audience mengabadikan pementasan “Kaputusan Garba Emas” | Foto: tatkala.co/Dede
Pementasan “Kaputusan Garba Emas” | Foto: tatkala.co/Dede
Pengkondisian ini pula yang diterapkan dalam Maha Bajra Sandhi yang didirikan pada tahun 1991 dan komunitas Bumi Bajra yang didirikan pada 2009. Hal ini tak lepas dari tiga tataran konsep pemikiran Granoka yang mencakup idealisme, supremasi kearifan budaya timur, dan dharmatakama atau ekonomi spiritual yang menjadi landasan dalam setiap kegiatan Maha Bajra Sandhi maupun Bumi Bajra.
Pemahaman ini kemudian dijabarkan dalam kurikulum Garba Emas, yang diejawantahkan dalam konsep musik–yang menjadi gerbang pertama untuk memantik jiwa-jiwa yang hendak dipupuk; linguistik–seiring pertumbuhan perkembangan anak yang dalam fase memaknai; dan mistik–subsistem yang ada pada hampir semua sistem religi untuk merasakan menyatu dengan semesta. Ketiga hal ini diimplementasikan lewat lima hal, yakni olah musik, olah vokal, olah gerak, olah prana, dan olah rasa. Tujuan akhirnya adalah untuk membentuk manusia unggul yang berguna untuk sesama dan semesta atau Pregina Maguna. Dalam hal ini, unsur seni, agama, dan sains melebur dalam satu ikatan utuh.
Pementasan “Kaputusan Garba Emas” | Foto: tatkala.co/Dede
Sesi foto bersama seusai pementasan “Kaputusan Garba Emas” | Foto: tatkala.co/Dede
“Apakah Maha Bajra Sandhi ingin melahirkan seniman? Jawabannya, tidak. Kata kuncinya adalah garba, dalam Bahasa Indonesia berarti rahim. Dalam hal ini, Maha Bajra Sandhi melahirkan manusia yang berjiwa murni melalui seni. Membangun hubungan antara manusia yang berjiwa murni dengan alam sekitarnya, dengan tujuan akhir somia (tenang, tenteram),” ujar Wayan Juniarta, yang menjadi moderator salah satu sesi diskusi.
Itu sebabnya, tambah Juniarta, Sutasoma selalu diangkat kembali dalam berbagai pertunjukan Granoka. Tujuan dari pendidikan seni multidimensional (seni, agama, dan sains) ini untuk melahirkan manusia yang jiwanya dipenuhi keindahan. “Sehingga ketika mereka besar, akan memilih jalan Sutasoma–bukan jalan dunia, melainkan jalan peradaban,” ujar Juniarta. [T]
Reporter/Penulis: Dede Putra Wiguna
Editor: Adnyana Ole