BEBERAPA hari ini, perbincangan antar seniman di Buleleng diramaikan dengan penampilan tari Wiranjaya yang dibawakan oleh Sekaa Gong Darma Pradangga, Desa Tukadmungga, Buleleng, dalam ajang Pesta Kesenian Bali (PKB) 2024 di Taman Budaya Bali, Denpasar, Sabtu, 23 Juni 2024. Meskipun tidak se-“fyp” penampilan grup Baleganjur duta Kabupaten Jembrana dengan “Raja Buduh-nya”, penampilan Wiranjaya grup ini cukup membuat beberapa kalangan seniman Buleleng tegang bin meradang.
Sabtu malam itu di Taman Budaya Bali, tepat pukul 19.30, MC dari perwakilan masing-masing duta mulai bersua pertanda perhelatan mebarung Gong Kebyar akan segera dimulai. Seperti biasa, ribuan penonton yang berjubel memenuhi tribun tak mau kalah saing dengan suara MC yang tentu tidak proporsional jika dibandingkan dengan keriuhan para penonton. Mayoritas dari mereka mulai adu mulut dengan celotehan-celotehan banyol tak tentu arah, saling ejek, memberi semangat pada jagoannya, serta berbagai jenis keributan mulut bak bunyi “bramara”.
Perhelatan mebarung yang malam itu mempertemukan duta Buleleng dan Gianyar, diawali oleh penampilan Sekaa Gong Darma Pradangga dengan komposisi musik “Gagak Gora” karya seniman muda Buleleng, Komang Trisna Ardiana. Sebagai penampil kedua, dengan mengambil posisi sebelah selatan panggung, duta Kabupaten Gianyar juga menampilkan satu genre yang kurang lebih sama, yakni tabuh kreasi pepanggulan. Saya lupa nama komposisi yang dibawakan, setidaknya Saya ingat komposisi itu karya adik kelas ketika kuliah di ISI Denpasar, namanya Komang Winantara, seniman muda dari Batuan, Gianyar.
Tari Wiranjaya Duta Buleleng di PKB 2024 | Dokumentasi Panitia Duta Pementasan GKD, Dharma Pradangga
Tibalah saatnya untuk penampilan kedua dari Kabupaten Buleleng, tari Wiranjaya, karya I Ketut Merdana asal Desa Kedis. Dengan perasaan bosan saya menduga-duga penampilan tari Wiranjaya akan biasa-biasa saja, maksudnya, biasa sebagaimana penampilan pada umunya, tak lebih, tak kurang. Namun, saya dibuat lumayan terkejut dengan pemilihan kostum yang sangat berbeda dan tidak lazim. “Waduh, masalah baru lagi ini,” gumam saya dalam hati. Dan memang benar, besoknya ramai sekali.
Di Buleleng, kita (baca: seniman) memang ada kecenderungan gemar ribut urusan originalitas karya. Kesannya, seolah ada seniman berbicara mewakili keberatan sang kreator yang sudah beda alam. Parahnya lagi, keributan-keributan ini berakhir pada sentimen pribadi, tak jarang saling menjelek-jelekan dan sudah masuk ranah privat seseorang, pokoknya tidak solutif.
Jujur, untuk kasus Wiranjaya ini, saya berharap terjadi “keributan” yang lebih “terarah” dan “disiplin”. Disiplin karena yang diributkan adalah “pertengkaran pikiran”. Pikiran hanya disebut pikiran ketika ia dipertentangkan, begitu kurang lebih kata Rocky Gerung. Oleh karena itu, melalui tulisan yang tidak penting ini, saya memilih jalan tengah untuk “berkonflik” pada dua kubu sekaligus; mereka yang dianggap merusak karya leluhur dan mereka yang menganggap diri “pageh” dalam hal menjaga karya leluhur. Sebetulnya saya tidak yakin akan hal ini, tapi saya harus menduga-duga lagi, jangan-jangan yang satunya bermetamorfosis ikut merusak warisan leluhur tanpa disadari. Semoga saja tidak, dan seken-seken tegteg.
Agar tidak terlampau ngawur, saya akan mencoba menguraikan kronologis permasalahan ini, tentunya berbekal informasi yang dimiliki. Sebagai catatan saja, saya tidak berkepentingan untuk berdiri atas nama siapapun. Oleh karenanya, tulisan ini adalah murni pemikiran saya, tanpa tendensi untuk membela salah satu kubu. Semoga saya tidak mengada-ada lagi!
***
Beberapa jam setelah penampilan tari Wiranjaya yang dibawakan oleh grup Dharma Pradangga, kolom pesan WhatsApp saya mulai dijejali berbagai macam pesan. Ternyata dugaan saya tidak jauh meleset; model-model pertanyaannya bervariasi, dari yang singkat berbau sinis, hingga panjang lebar bak latar belakang skripsi.
Ada yang bertanya, “Pan, uling pidan merubah pakaian Wiranjayane?”
Ada juga yang mendesak Dinas Kebudayaan memanggil pelatih tari untuk kemudian diberikan sanksi, pokoknya banyak, dan tidak mungkin saya uraikan pendapat itu satu-persatu.
Satu yang saya sadari, saat itu merasa tidak berdaya untuk menjawab berbagai macam pertanyaan yang menjejali diri. Apalagi di tengah keterbatasan otoritas untuk mengklarifikasi permasalahan yang “biang keroknya” bukan saya.
“Betapa bagus dan eloknya kalau pembina tari Wiranjaya Gede Adi Setiawan alias Sentul yang mengklarifikasi semua ini!” pikir saya saat itu.
Sembari menunggu klarifikasi Sentul dan pihak terkait yang merasa berkepentingan, saya akan memulai substansi tulisan yang barangkali tidak penting ini dengan sebuah pertanyaan yang mungkin juga menjadi tidak penting, “Apakah kita semua sudah benar-benar tatas uning tentang Wiranjaya?”.
Sebagai seorang yang bekerja di wilayah penciptaan seni tari dan musik, Merdana telah menelurkan banyak komposisi kakebyaran. Untuk karya-karyanya, tak perlulah saya sebutkan semuanya di sini.Salah satu di antaranya adalah Wiranjaya.
Wiranjaya tidak begitu populis pada dekade 40 hingga 50-an. Bagaimana tidak populis, nama Wiranjaya (terlepas dari substansi musik dan tari) baru diberikan secara aklamatif oleh Sekaa Gong Banda Sawitra sekitar tahun 1968 (Wawancara dengan Ketut Sumirta, 22 Agustus 2019).
Sebelum tahun 1968, nama Wiranjaya dalam versi yang lebih pendek lebih dikenal sebagai Terunajaya Kedis, maksudnya “Terunajaya-nya Kedis!” bukan Terunajaya style Kedis. Ini dua kasus yang berbeda, dan karena berbeda hendaknya janganlah disamakan! “Terunajaya-nya Kedis” memiliki pengertian sebuah komposisi yang secara substansi berbeda, akan tetapi sengaja dibuat-buat menjadi sama (hirarki struktural musik) dengan Terunajaya-nya Gede Manik. Sementara “Terunajaya style Kedis, adalah komposisi yang sama dengan Teruna-nya Gede Manik, tapi sengaja dibuat berbeda dalam hal ornamentasi. Pengertian ini mungkin saja keliru, dan oleh karenanya, sangat direkomendasikan agar jangan terlalu percaya pada saya.
Jauh sebelum karya Merdana yang satu ini dikenal sebagai Wiranjaya, beberapa informan menyebutkan komposisi ini sebagai Kebyar Buleleng Dauh Enjung. Pendapat dari beberapa informan ini semakin diperkuat dengan pendapat Prof. Pande Made Sukerta yang dalam bukunya mengatakan bahwa, “[…] Beliau (Putu Sumiasa) juga menyempurnakan Tari Wiranjaya yang diciptakan pada tahun 1947 yang sebelumnya disebut Kebyar Buleleng Dauh Enjung dengan cara pemadatan dengan tidak menghilangkan esensi tarian tersebut” (2009:128).
Kalau mau jeli, kita akan mendapati ketidak-konsistenan dalam upaya penamaan komposisi ini; dari Kebyar Buleleng Dauh Enjung, Terunajaya Kedis, dan Wiranjaya. Untuk nama yang kedua saya curiga, itu adalah sebutan spontan (julukan) yang digunakan untuk mengatakan bahwa desa Kedis juga punya Terunajaya yang pada dasarnya berbeda dari Terunajaya-Terunajaya-nya Gede Manik.
Oleh karena itu, mari persempit bahasan ini dengan menggaris-bawahi betapa tidak konsistennya pendahulu kita untuk urusan “nama-menamai” sesuatu yang sesungguhnya tidak penting, namun belakangan ini menjadi semakin penting untuk dipergunjingkan karena masalah identitas. Sesederhana itu.
Tari Kebyar Buleleng Dauh Enjung | Koleksi foto I Ketut Pany Ryandhi
Ternyata, perubahan-perubahan (Wiranjaya) dalam (selanjutnya saya tulis dengan “ketidak-konsistenan”) ini telah kita warisi sampai saat ini. Pada aspek musik misalnya, grup-grup yang berbeda pasti membawakan dengan versi yang berbeda. Jangankan grup yang berbeda, Desa Kedis sekalipun membawakan musik Wiranjaya dengan beragam versi, mulai dari rekaman 1964 (hasil kerja lapangan Ruby Ornstein, seorang etnomusikolog di UCLA), rekaman Bali Stereo (dua kali rekaman), dan yang terakhir saat dibawakan dalam ajang mebarung Gong Kebyar Legendaris tahun 2024 (videonya bisa diakses dengan kata kunci “Gong Kebyar Legendaris Desa Kedis”). Belum lagi padepokan Seni Dwi Mekar (2004), Sanggar Tripittakan, Desa Munduk (2010), Sanggar Seni Wahyu Semara Santhi (2016), ISI Denpasar, Duta Kota Denpasar (2017), yang semuanya menganut mazab “gaya-isme” (gaya Kedis, gaya Munduk, dan tentunya gaya Tukadmungga).
Karena tadi menyebut istilah “gaya-isme” dalam musik, saya wajib menjelaskan istilah yang sesungguhnya dibuat-buat oleh diri saya sendiri. Dalam terminologi musik, terkadang kita harus membedakan antara konten dan gaya. Menurut Bruno Netll, konten berarti gagasan musik individual – dalam terminologi Barat, kita menyebutnya dengan tema – yang termanifestasikan dalam komposisi.
Sementara itu, gaya berarti agregasi karakteristik-karakteristik yang dimiliki oleh suatu komposisi, dan yang juga dimiliki oleh komposisi-komposisi lain dalam kompleks budaya yang bersangkutan. Tentu saja, sebuah komposisi musik tidak dapat eksis tanpa memiliki karakteristik-karakteristik tangganada, melodi, ritme, dan bentuk tertentu. Selain itu karakteristik-karakteristik ini hanyalah abstraksi yang menunggangi item-item musik yang konkrit, yakni konten musik.
Penjelasan di atas memang terkesan sok akademis. Bagi saya ini penting. Penting karena setiap dari kita biasanya berlomba-lomba untuk mengatakaan “musik ini paling otentik”, “paling benar”, “paling original” dan berbagai jenis “paling” yang lainnya.
Dalam musik, otentisitas mengacu pada kualitas, yang membedakan material yang murni dari yang tidak murni. Ini tambah rumit lagi. Untuk itu, mari bicarakan hal-hal yang bisa dilihat saja.
***
Perihal konstum saja kita tidak pernah selesai apalagi hal-hal yang tak terlihat lainnya. Jadi begini, untuk masalah kostum tari Wiranjaya yang dibawakan oleh grup Dharma Pradangga, jujur saya tidak suka. Tolong dicatat, pendapat saya hanya sebatas suka dan tidak suka. Beda konteks kalau yang ditanya soal “benar” atau “salah”, Saya harus melempar pertanyaan ini pada pihak yang merasa berkeberatan, sebab saya tidak punya hak untuk berkeberatan atas karya orang lain. Saya pastikan mayoritas dari pelaku seni di Buleleng (apalagi yang tahu dan pernah menarikan Wiranjaya) tanpa berpikir panjang akan menjawab “salah”. Kalaupun saya memberikan jawaban serupa, “salah”, secara tidak langsung saya harus menunjukkan mana yang benar. Masalahnya, saya mengalami kesulitan untuk mengidentifikasi mana yang benar dan mana yang salah.
Yang nampak di permukaan sejauh mata melihat, masalah atribut (kostum) Wiranjaya memang tidak pernah konsisten. Ketidak-konsistenan ini kita warisi sejak dulu kala. Saya akan mengkompilasi ketidak-konsistenan ini ke dalam beberapa kasus pertunjukan.
Ketidak-konsistenan Pertama. Pada tahun 1975, ketika tampil sebagai utusan Provinsi Bali dalam ajang PMTT (Pesta Musik Tari Tradisi) di Taman Ismail Marzuki-Jakarta, Grup Kebyar Banda Sawitra, di bawah pimpinan Putu Sumiasa membawakan 3 materi pementasan yang di antaranya tari Palawakya, Wiranjaya dan Fragmen Tari Margarana. Event ini sekaligus menjadi peristiwa yang menandai perubahan pertama konstum Wiranjaya, dari yang sebelumnya berpakaian seperti Terunajaya, kemudian berubah menggunakan atribut pakaian Nakula-Sahadewa sebagaimana dijumpai dalam Sendratari Mahabarata.
Karena keterbatasan pendokumentasian waktu itu, beberapa informan yang dimintai keterangan dan bukti otentik pementasan tidak dapat menunjukkan foto dokumentasi pementasan mereka. Bisa dibayangkan sendiri bagaimana atribut Nakula-Sahadewa saat itu.
Ketidak-konsistenan Kedua. Tahun 2004, Padepokan Seni Dwi Mekar menjadi Duta Kabupaten Buleleng dalam ajang Gong Kebyar Mebarung di panggung Ardha Candra, Art Centre, Denpasar. Saat itu, Wiranjaya pertama kali dipentaskan di panggung Ardha Candra, dengan Pak Sutanaya (seniman tari dari Desa Kedis) diasisteni Komang Suariati (saat itu sedang kuliah di ISI Denpasar) sebagai pelatih tarinya. Secara visual (terutama dari aspek atribut kostum), terjadilah perbedaan dalam penggunaan atribut kepala dimana sebelumnya (1975) menggunakan gelungan Nakula-Sahadewa, namun tahun 2004 menggunakan udengan.
Adalah Ketut Darsana (alm), seorang dosen di ISI Denpasar asal Desa Kalisada yang mengubah atribut kepala dengan menggunakan motif udengan. Pertimbangan ini dilakukan sejalan dengan deskripsi tari Wiranjaya yang mengisahkan Si Kembar Nakula-Sahadewa sedang belajar memanah. “Beda halnya kalau Nakula-Sahadewa sedang berada di istana, penari terlihat lebih pantas menggunakan gelungan”, ucap Komang Suariati mengingat penjelasan Ketut Darsana(wawancara dengan Komang Suariati, 25 Juni 2024). Waduh, tidakah ini cocokologi yang justru didapatkan bukan dari kreatornya langsung, Pak Merdana?
Saya tidak akan menjelaskan secara detail, untuk lebih lengkapnya silakan akses link ini: https://youtu.be/bPikRC9BQGE?si=hs_DTUbJFzWfV7AP .
Untuk menghindari kesan sok tahu, saya tidak akan melanjutkan ketidak-konsistenan yang kasat mata ini dengan menguraikan di mana letak perbedaannya. Perhatikan beberapa figur foto di bawah ini :
Sumber foto-foto: Instagram
Foto-foto di atas hanyalah beberapa dari sekian banyaknya ketidak-konsistenan yang luput dari perhatian kita selama ini. Silakan cari sendiri perbedaannya (ini kita masih bicara pada hal-hal yang sidatnya kasat mata)!
Kemana kita selama ini? Saya kira, kita harus berterima kasih pada Gus Adi Sentul, sebab karena orang satu ini, meskipun saya yakin, ia yang dengan kebablasannya, cukup sukses membuat kita ribut. Saya juga berharap lain kali dia tidak berulah seperti ini lagi, sebab “Ini pelecehan! Melanggar Hak Kekayaan Intelektual (HAKI) leluhur kita!” kata sementara orang yang pageh.
Saya mencoba untuk tidak sepakat dengan komentar sebagian besar teman seniman (khususnya di Buleleng, dan beberapa daerah lainnya yang merasa senasib). Dengan melihat kejadian ini sebagai kritik, betapa sebelumnya kejadian seperti ini luput dari perhatian kita, betapa tidak konsistennya kita selama ini.
Jika pageh berbicara pakem, seharusnya kita tidak mentolelir sekecil apapun bentuk perubahan yang terjadi, sebab ia akan menjadi aturan dan pedoman untuk semua. Namun yang terjadi selama ini, kita kerap mengamini perubahan-perubahan yang nampaknya kecil, seperti penggunaan atribut kepala, sabuk, baju, badong, warna pakaian, serta berbagai macam bentuk lainnya. Maka terjadilah seperti hal-hal yang tidak diinginkan ini. Kita baru bicara perkara kostum, belum lagi aspek koreografinya, belum juga musiknya. Bisa dibuat bingung kita semua.
Akhirnya, dari sekian penjelasan yang tidak penting ini, saya ingin menjelaskan bahwa tidak terdapat solusi apapun dari tulisan ini. Sebab saya sadar bahwa saya juga orang yang tidak sekonsisten teman-teman lainnya, percaya dan maafkanlah. [T]