DI media tatkala.co ini, sempat ada dua seniman Bali yang menanggapi wacana diskusi Suluh Tulis yang memacak tema “Gambelan Bukan Musik”. Dua-duanya, saudara I Ketut Pany Ryandhi dan Gede Yogi Sukawiadnyana. Mereka sama-sama mempersoalkan dan mempertanyakan—sekaligus membantah—pendapat Gigih Alfajar Novra Wulanda dan Kadek Anggara, dua narasumber dalam diskusi tersebut, yang mengatakan bahwa gamelan itu bukan musik.
Maka terjadilah polemik di tatkala.co tentang musik dan gamelan dengan pembaca yang lumayan banyak. Sayangnya, polemik itu berlangsung singkat. Setelah Kadek Anggara memberi tanggapan dalam satu tulisan yang cukup panjang, polemik itu terhenti. Barangkali akan berlanjut, dan hal itu sepertinya sedang ditunggu-tunggu pembaca.
Sebagai seorang pembaca, tentu saja saya sangat senang dengan polemik yang terjadi. Senang maksudnya bukan kepada keributannya, tapi karena dapat membaca pikiran-pikiran para seniman yang sudah, maupun yang akan terlibat nantinya. Bukankah menyenangkan pula mendapati silang-pendapat, ragam gagasan, di tengah kesenian atau kebudayaan kita hari ini yang seolah kering dan beku?
Sebuah polemik produktif yang berkualitas di tengah peradaban manusia yang acuh ini, memang seperti menemukan sumber air di padang pasir: langka. Mengingat, khususnya di Bali, setidaknya sependek pengetahuan saya, hari ini nyaris tak ada polemik (perang wacana) yang terjadi, entah di dunia kesenian, sastra, maupun kebudayaan secara umum. Jika pun ada, mungkin, itu bukan karena adu gagasan atau silang-pendapat yang dapat dipertanggungjawabkan secara keilmuan, tapi lebih karena persoalan pribadi antarseniman.
Jika mau mengulik sejarah, setidaknya yang terjadi pada abad ke-20-21, banyak polemik yang terjadi, entah terkait dengan kebudayaan, kesenian, maupun kesusastraan. Artinya, polemik bukanlah barang baru dalam ketiga hal yang disebutkan tadi.
Pada 1930-an, misalnya, sebagaimana kita ketahui bersama, sebuah polemik kebudayaan terjadi. Awalnya Sutan Takdir Alisjahbana (selanjutnya ditulis STA), yang menulis artikel berjudul “Menuju Masyarakat dan Kebudayaan Baru: Indonesia-Prae Indonesia” di majalah Pujangga Baru (1935).
Menurut bacaan saya, secara garis besar, dalam artikel tersebut, STA membagi dua babakan perjalanan Indonesia: pra-Indonesia dan zaman Indonesia sebagai produk baru—meminjam bahasa STA—yang “merupakan ciptaan generasi abad kedua puluh, sebagai penjelmaan kebangkitan jiwa dan bangsa”.
Dalam kesimpulannya, penulis novel Layar Terkembang itu mengajak orang-orang Indonesia untuk tidak melihat ke belakang ataupun mengulang gaya berpikir yang menyebabkan bangsa besar ini terjajah. STA menulis, “… sekarang tiba waktunya mengarahkan pandangan kita ke Barat”.
Artikel itu kemudian memantik Sanusi Pane, Purbatjaraka, Sutomo, Tjindarbumi, Adinegoro, M. Amir, dan Ki Hadjar Dewantara (KHD), membuat tanggapan yang beredar diberbagai media massa saat itu, seperti Pujangga Baru, Suara Umum, Bintang Timur, Pewarta Deli, dan Wasita.
Saat ini, tulisan polemik itu dapat dibaca dalam buku berjudul Polemik Kebudayaan: Pergulatan Pemikiran Terbesar dalam Sejarah Kebangsaan Indonesia (2008). Kita patut berterima kasih kepada Achdiat K. Mihardja yang telah dengan insaf mengumpulkan rekaman perdebatan tersebut.
Dalam sekapur sirih buku tersebut, Mihardja menulis: “Polemik antara Sutan Takdir Alisjahbana dengan lawan-lawannya adalah salah satu pernyataan tentang adanya unsur-unsur reaksi di dalam kebudayaan feodal yang sudah beku itu. Namun, sekalipun para polemis itu berhadap-hadapan sebagai pihak berselisih, dalam satu hal mereka itu adalah sependapat bahwa kebudayaan kita yang telah beku itu harus dibikin cair supaya mungkin bergerak lagi, mengalir terus ke arah muara kesempatan”.
Kendati sama-sama keras kedua belah pihak berpolemik dengan argumentasi masing-masing, sebagaimana disampaikan Ahmad Kurnia dalam Polemik Kebudayaan: Pertikaian dan Pertukaran Gagasan (2022), yang tidak boleh terlupakan oleh kita ialah kedua pihak sama-sama ingin mencari arah yang terbaik untuk masa depan bangsa Indonesia dengan berlandaskan ketulusan, kejujuran, dan kesantunan.
Mengenai hal tersebut, ada kutipan menarik dari pernyataan Ki Hadjar Dewantara, “Kami tidak tahu siapa yang akan menang; aliran ‘futura’ atau aliran ‘realita’; anak cucu kitalah yang akan dapat menetapkan. Akan tetapi, keturunan kita niscaya akan berterima kasih dan akan bisa menghargai pihak kita, asalkan mereka tahu bahwa pertentangan yang sudah berakhir itu, berlangsung dengan kejujuran dan ketulusan”.
Saya membayangkan, polemik “gamelan bukan musik” ini nantinya juga akan menyenangkan jika berlangsung dengan kejujuran, ketulusan, dan kesatuan. Saya yakin, setiap seniman yang terlibat, pasti memiliki kredibilitas—dan, tentu saja, otoritatif—dalam kedua bidang tersebut, yakni musik dan gamelan.
Selain peristiwa Polemik Kebudayaan tahun 30-an, dalam sejarah kebudayaan Indonesia modern, gejolak juga pernah terjadi antara tahun 1950-1965—fenomena yang menurut Alexander Supartono paling dikenal dan dianggap paling tidak jelas pada saat yang bersamaan.
Polemik yang terkenal dengan “Peristiwa Manikebu” ini, kemudian diartikan bermacam-macam, sesuai dengan kepentingan masing-masing interpretator, dan terutama sesuai dengan tingkat kesempatan (atau kemampuan) mengakses bahan sejarah sezaman.
Polemik yang oleh Taufik Ismail dan D.S. Muljanto disebut “prahara budaya” itu melibatkan seniman dan cendekiawan Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat) dengan orang-orang Manifes Kebudayaan (Manikebu) yang menolak politik sebagai panglima di bidang seni.
Sayangnya, sebagaimana disampaikan Alexander Supartono dalam Lekra vs Manikebu: Perdebatan Kebudayaan Indonesia 1950-1965 (2000), peristiwa perdebatan itu lebih mengesankan pertentangan pribadi antarpelaku-pelakunya daripada pertukaran gagasan kebudayaan. Dengan situasi seperti itu, sejarah sosialnya tidak terungkap karena tertutup oleh bias-bias persoalan pribadi.
Dalam dunia sastra, kita ingat polemik “sastra daerah” vs “sastra dunia” yang disulut oleh Ajip Rosyidi pada tahun 50-an. Dan sekitar 1970, mendiang Abdul Hadi melontarkan gagasan “Kembali ke Akar, Kembali ke Sumber” yang, dalam esai Abdul Hadi: Kembali ke Akar, Kembali ke Sumber (majalah Tempo 2024), Maman S. Mahayana menulis, “… belakangan dianggap sebagai gerakan (sastrawan) Angkatan 70.”
Dari sana kemudian muncul polemik tentang sastra Islam, sastra sufistik, profetik, dan beberapa istilah lain yang erat hubungannya dengan tasawuf. Maman menulis, Abdul Hadi, Sutardji Calzoum Bachri, Fudoli Zaini, Kuntowijoyo, dan Taufik Ismali—sekadar menyebut beberapa nama—adalah tokoh-tokoh yang terlibat dalam polemik itu. Lembaran Dialog harian barita Buana yang diasuh Abdul Hadi membuka peluang lebih luas polemik itu terus bergerak.
Kita ingat, setahun setelah polemik gagasan tersebut, Arief Budiman dan Ariel Haryanto, keduanya dosen Universitas Kristen Satyawacana Salatiga, menjadi inisiator dan perumus tantangan terhadap sentralisme kebudayaan dan preferensi atas “sastra universal”. Mereka menawarkan “sastra kontekstual”, sekalipun dengan definisi dan argumen yang berbeda—yang membuat kecewa penyair Saut Situmorang saat membaca tulisan-tulisan Arif Budiman tentang “sastra kontekstual” dalam buku susunan Ariel Haryanto.
Menurut Ayu Utami dalam Keunggulan Seni dalam Pemulihan Kehidupan (2023), beberapa pokok pemikiran mereka (Arief dan Ariel) antara lain: 1) Bahwa sastra atau seni Indonesia tidak merakyat. 2) Klaim “sastra universal” yang diusung banyak kritikus di Jakarta mengandung bias Barat dan kelas menengah kota yang bukan membentuk mayoritas rakyat Indonesia. 3) Sastra/seni harus dipahami atau diciptakan dalam konteks masyarakatnya.
Tentu masih banyak sekali polemik yang lahir dari wacana-gagasan kesenian, sastra, dan kebudayaan di Tanah Air yang menyumbang bangun wacana, seperti diskusi sastra yang ramai pada awal 90-an karena pengaruh teori posmodernisme, yang antara lain ditandai oleh pidato Nirwan Dewanto pada saat Kongres Kebudayaan di TIM, Jakarta, atau setelah itu, kita juga ingat polemik sastra pedalaman (meski tidak muncul ke permukaan).
Atau yang lebih baru, polemik antara wacana “sains dan agama” yang dipantik oleh AS. Laksana (Sulak) atas materi Goenawan Mohamad (GM) dengan judul “Sains dan Beberapa Masalahnya”, yang disampaikan GM pada saat diskusi peringatan hari kebangkitan nasional tahun 2020 oleh Ikatan Dokter Indonesia dengan tema “Berkhidmat pada Sains”.
Perdebatan itu terkumpul dalam buku Sains, Filsafat, Agama, Pandemi: Sebuah Polemik di Media Sosial (2020), yang juga memuat tanggapan Ulil Abshar Abdalla, Hamid Basyaib, Lukas Luwarso, F. Budi Hardiman, Hasanudin Abdurakhman, Bambang Sugiharto, Nirwan Ahmad Arsuka, Taufiqurrahman, Budi Munawar Rachman, Farid Gaban, dan Fitzgerald Kennedy Sitorus, atas polemik tersebut.
Perlunya Berpolemik
Sudah barang tentu sebuah polemik akan menghasilkan sesuatu yang baik dan buruk. Baik jika polemik yang dibangun berangkat dari wacana-gagasan yang dapat dipertanggungjawabkan secara akademik. Dan buruk jika dibangun atas dasar persoalan atau sentimen pribadi. Untuk itu, berpolemik bisa jadi penting dilakukan jika wacana-gagasan dalam suatu kebudayaan sudah dirasa mengering, banyak kekeliruan, atau terjadi kemandekan kreativitas dalam dunia kesenian.
Namun, seiring waktu melaju, berpolemik mendalam yang berbasis keilmuan tentang suatu permasalahan, entah melalui tulisan di media massa, perdebatan di kampus, atau wacana di media sosial, menurut sebagian orang, lebih baik dihindari.
Banyak lembaga pendidikan—meski tidak semua—yang tidak menginginkan civitas akademiknya terlibat dalam suatu polemik. Mereka menganggap bahwa berpolemik adalah suatu yang lebih dekat dengan bau permusuhan, perpecahan, dan sebutan negatif lainnya. Maka jadilah penumpukan pikiran seragam di kelas, di laci, dan di rak-rak kepala mahasiswa. Pikiran akademisi menjadi tumpul dan biasa-biasa saja.
Hari-hari ini kampus senantiasa tentram dan tenang, tiada riak dan gelombang. Agar suasana kampus tentram, civitas akademis harus punya pendapat seragam dengan para dosen, doktor, atau profesor (raja-raja kecil) yang feodal. Semua langkah dan sepak terjang mesti pas dengan ukuran yang sudah ditentukan terlebih dahulu. Kok sampai ada yang berbeda pendapat sekecil apa pun, itu adalah sebuah ancaman. Pantas dikasih nilai E.
Raja-raja kecil itu menjaga kondisi status quo-nya begitu cermatnya. Begitu sempurnanya status quo itu tercipta, dan saking tentramnya, kampus tampak sedang tidur nyenyak baik siang maupun malam. Menurut raja-raja kecil itu, lebih baik civitasnya tidur nyenyak daripada bangun dan bikin gaduh, bikin berisik saja. Padahal, kampus merupakan salah satu—jika bukan satu-satunya—sumber mata air gagasan, ide, wacana, teori, metode, dan yang lainnya.
Berpolemik—yang sehat, tentu saja—dapat menambah wawasan kelimuan dan menjadi ruang uji atas ide, gagasan, atau argumen yang kita hasilkan. Seperti dalam dunia kesenian misalnya, selain menghasilkan banyak gagasan dari berbagai sudut pandang keilmuan dan referensi, polemik bisa juga menjadi salah satu tolok ukur, sejauh mana pemikiran seniman (yang akademik) dalam dunia ide atau gagasan (wacana) di luar dunia penciptaan (garapan) karya dan ladang pertanggungjawaban atas karya yang dihasilkan.
Secara umum, dan normatif sebenarnya, berpolemik dapat membangun daya analitis individu terkait dengan keahlian untuk menyimak dan memahami lawan polemik. Juga menumbuhkan kemampuan dalam menyampaikan argumentasi secara logis dengan bahasa atau gestur sikap yang santun, dan merangsang keterampilan dalam berpikir kritis, serta meningkatkan keterampilan dalam melihat sesuatu dari perspektif yang lain.
Sampai di sini, menurut saya, sebagaimana dalam judul, sebuah polemik dalam kesenian, sastra, maupun kebudayaan secara umum, juga perlu dilakukan, selagi itu menghasilkan wacana-gagasan produktif yang dapat mendukung kemajuan dan kesehatan ekosistem ketiganya. Tetapi, jika polemik malah menimbulkan permusuhan, perpecahan, persaingan pengaruh, klaim kebenaran, sebagaimana terjadi dalam dunia politik, kreativitas menjadi mandek, lebih baik ditinggalkan, buang-buang waktu saja.
Bukankah seorang filsuf dan fisikawan Thomas Kuhn dalam bukunya yang fenomenal, The Structure of Scientific Revolution (1962), sudah mengingatkan kita bahwa “semua manusia hanya sanggup menciptakan ‘paradigma’ kebenaran, bukan Wajah Kebenaran itu sendiri; hanya bisa meraih fakta, bukan Realitas”?
Polemik-polemik yang lampau itu, dengan spektrum tema dan mutu perdebatan yang berbeda-beda, meninggalkan sesuatu yang layak dikenang karena melibatkan perbincangan ide yang, bagaimanapun, menarik dan cerdas.
Di masa lampau polemik juga berlangsung panas, menegangkan, penuh passion, dan ini yang penting, tanpa cacian dan cercaan (meskipun harus diakui, dalam debat antara Lekra dan lawan-lawannya, aspek kekerasan verbal sedikit muncul, meski jauh lebih berkualitas dibanding dengan debat nonproduktif dalam dunia politik kita hari ini).
Perdebatan “gamelan bukan musik” saya pikir juga akan menciptakan semacam wacana-wacana cerdas yang keluar dari alam pikir para seniman. Ini saya anggap baik, dan perlu, dalam dunia kesenian. Mengingat, sebuah polemik yang sehat dan produktif, selain akan menghasilkan wacana akademik yang dapat dijadikan sebagai bahan pembelajaran, juga membuat dunia kesenian menjadi lebih dinamis, demokratis, dan tentu saja menyenangkan.
Sebagai pembaca, kita sama-sama berharap, polemik ini lebih mengedepankan aspek keilmuan, alih-alih nanti lebih banyak berisi cercaan dan insinuasi (tuduhan), sementara gagasan tentang musik dan gamelan sendiri sangat tipis di sana. [T]