— Catatan Harian, Sugi Lanus, 16 Januari 2024.
“… takdir itu tidak bisa diketahui hari ini. Takdir itu ketahuan nanti. Seperti hari ini saya tidak pernah tahu apakah kelak saya jadi presiden atau tidak. Yang tahu adalah, yang saya yakini adalah siapa yang jadi presiden besok sudah dicatat di sana, tinggal kita berikhtiar dan punya kemampuan lebih…” demikian Ganjar Pranowo bicara takdir di Pondok Pesantren Alif Baa, Kecamatan Bawang, Kabupaten Banjarnegara, Senin (15/1/2024).
Kalimat yang diucapkan ini senada dengan apa yang disampaikan dua hari sebelumnya, dalam acara ‘Doa Lintas Iman untuk Indonesia Lebih Baik’ di DBL Arena, Surabaya, Jawa Timur, Sabtu (13/1/2024) malam: “Pilpres besok itu yang menang sudah kelihatan… Karena sudah digariskan di atas sana. Tugas kita semuanya adalah berikhtiar. Ada ikhtiar langit yang kita lakukan. Inilah spirit yang kita bawa untuk membawa kemenangan dengan penuh martabat… Kita rapatkan barisan. Kita akan berjuang sekuat-kuatnya. Kita akan berjuang sejujur-jujurnya…”.
Apakah bawah sadar seorang Ganjar Pranowo ketika bicara ‘takdir’?
Ganjar adalah warga NKRI yang kebetulan berdarah Jawa, kutipan dan pemahaman tentang ‘takdir’ itu pun diakui berasal dari orang tuanya — yang juga kebetulan keduanya juga berdarah Jawa.
Dalam budaya Jawa dan Bali ada sebuah kidung atau tembang berbahasa Jawa Kuno (atau lebih dikenal secara tradisional sebagai bahasa Kawi) yang bertutur tentang ‘takdir’ secara sangat seksama. Kidung ini berjudul KIDUNG HARSA-WIJAYA yang berkisah tentang kebangkitan Majapahit.
Di tengah kemelut dan penyerbuan-kudeta berdarah atas Raja Kertanegara yang menjadi raja Kerajaan Singosari, tidak terbayang siapa yang akan melanjutkan tampuh kekuasaan di Jawa (?)
Putri bungsu raja Kertanegara diculik oleh pasukan penyerbu yang mengkudeta. Sementara putri sulungnya dievakuasi atau diselamatkan oleh Dyah Wijaya atau secara umum dikenal sebagai Raden Wijaya (dalam naskah ini disebut sebagai Harsa-Wijaya), meminta perlindungan masyarakat Madura, melintasi selat menuju pulau Madura, dilindungi oleh Arya Wiraraja pemimpin rakyat Madura.
Dari data sejarah Kertanegara diperkirakan dikudeta dengan cara penyerbuan berdarah pada tahun 1292 masehi. Trah raja-raja Kediri yang berkuasa sebelum berdirinya Kerajaan Singosari merasa bahwa merekalah yang lebih berhak atas tahta di Jawa. Mereka bersatu membentuk pasukan dan sepakat menjatuhkan raja yang berkuasa ketika pasukan kerajaan tidak sedang di pusat kerajaan, sedang melakukan ekspedisi ke Melayu, yang dikenal sebagai Ekspedisi Pamalayu.
Semua tokoh dalam Kidung Harsa-Wijaya terikat takdir.
Pemimpin pemberontakan dan penggulingan berdarah terhadap raja Kertanegara adalah Jayakatong, bupati penguasa singgasana Kediri. Jayakatwang atau Jayakatong bernafsu membangkitkan kembali kerajaan leluhurnya, yaitu Kadiri. Tetapi ‘takdir’ berkata lain, tidak berselang setahun usai kudeta, ia disapu oleh ‘takdir’ ada pasukan kekaisaran Mongol datang menuju Jawa mau menghukum Kertanegara yang sudah tewas, akhirnya bergerak menuju istana Jayakatwang dan membumi hanguskan pusat pemerintahannya.
Nama Jayakatwang juga sering disebut sebagai nama Sanjaya, Haji Katong, Jayakatyeng. Berita Tiongkok menyebutnya sebagai Ha-ji-ka-tang.
Jayakatwang yang dengan kudeta berdarah meraih kekuasaan di Jawa pun tumpah darahnya sendiri oleh ‘takdir’ penyerbuan Mongol yang diboncengi oleh Raden Wijaya.
Kakawin Nagarakretagama dan Kidung Harsawijaya memberikan informasi bahwa Jayakatwang adalah keturunan Kertajaya yang tidak lain adalah raja terakhir Kadiri. Naskah Pararton menjelaskan pada tahun 1222 Kertajaya dijatuhkan oleh Ken Arok. Kekalahan ini menyebabkan Kadiri menjadi bawahan Singhasari, dengan bupatinya adalah Jayasabha putra Kertajaya.
Selanjutnya tahun 1258 raja Jayasabha digantikan putranya yang bernama Sastrajaya. Tahun 1271 raja Sastrajaya digantikan putranya, yaitu Jayakatwang. Sebagai raja bawahan ia mencari peluang menguji ‘takdir’ dengan menyerang istana raja Kertanegara yang pasukannya sedang dikirim ke Sumatera dalam ekspedisi Pamalayu.
Mirip kata Ganjar, “… takdir itu tidak bisa diketahui hari ini. Takdir itu ketahuan nanti…” Dan begitulah, Jayakatwang oleh ‘takdir’ memenangkan pengepungan istana Kertanegara. Tapi ia tidak oleh ‘takdir’ tewas dalam penyerbuan tentara Mongol yang diboncengi Raden Wijaya untuk membalaskan kematian mertuanya.
Kata yang umum digunakan dalam bahasa Jawa Kuno dan Jawa Tengah untuk ‘takdir’ adalah ‘widhi’. Kata ini adalah serapan dari bahasa Sansekerta, yang artinya mencakup ‘aturan, hukum; takdir, takdir; sang Pencipta’.
‘Widhi’ dalam bahasa Jawa yang disamakan sebagai ‘ketetapan’ adalah ‘pangdan’, yang diterjemahkan oleh Zoetmulder sebagai ‘urutan, pengaturan, disposisi, sebab-akibat’ (Zoetmulder 1982: 358), atau ‘panitah’ (predestinasi), sesuai dengan kata kerja ‘anitah’ mengandung arti ‘mengatur’ (Zoetmulder, 1982: 2022).
Raden Wijaya atau Dyah Wijaya atau Harsa-Wijaya oleh penulis Kidung Harsa-Wijaya disebutkan memang ‘takdir’-nya memang Harsa-Wijaya akan menjadi raja pendiri dinasti besar. Menurut Stuart Robson, seorang peneliti mumpuni naskah Jawa Kuno — dalam artikelnya yang dimuat dalam ‘Indonesia and the Malay World, Vol. 28, No. 82, Tahun 2000, Hal. 250’ — menilai bahwa Kidung Harsa-Wijaya adalah kidung Jawa Kuno yang memberikan ilustrasi ‘takdir’ dengan sangat menarik. “Takdir adalah keputusan para dewa (atau surga), sesuatu yang tidak dapat diubah atau ditolak, sesuatu yang sulit dijelaskan. Kadang-kadang kelihatannya tidak berperasaan (‘lalis’ dalam Jawa Kuna), dan kadang-kadang menguntungkan kita. Kita hanya harus menerimanya. Sejak awal sudah ditetapkan bahwa Wijaya akan menjadi raja, dan hal itu harus terjadi. Dalam kebijaksanaannya, Jaya Katwang pun menyadari hal tersebut, dan memanfaatkannya sebagai kesempatan untuk menjalankan tugasnya sebagai seorang pejuang. Tanda-tanda tertentu menjadi saksi atas apa yang telah ditetapkan ‘takdir’, dan sang suci Mpu Santasmrti, juga mengetahuinya, berkat wawasannya. Dengan cara ini Wijaya berhasil menjadi raja bukan karena haknya atau karena keahliannya, namun karena itu adalah takdirnya.”
Dalam percakapan dalam kidung, Kertanegara dan Jaya Katwang sadar akan dirinya jika terjatuh itu pasti karena ‘widhi’ atau sang takdir, sebuah ‘pangdan’ ketetapan yang sudah tercatat di atas. Mereka pada detik-detik terakhir hidupnya memahami jika ‘takdir’ telah menjemputnya. Dan ikhtiarnya adalah “mati sebagai satria” dengan gagah menjemput kematiannya. Medan laga dan kematian dalam sebuah pertempuran adalah jalan masuk ke “Wisnu-loka” atau surga yang dihuni oleh Bhatara Wisnu.
Kertanegara yang berpaham Śiwa-Buddha memahami jalan takdirnya memasuki Śiwa-Buddha-loka adalah kematiannya dalam jiwa satria tanpa penyesalan dan kesedihan menghadapi kematiannya. Tarung sampai titik kesadaran akhirnya. Raja Jayakatwang yang banyak dukungan dan di atas angin merendahkan Harsa-Wijaya yang sebatas pelarian yang berlindung di Madura. Bahkan disebutkan bahwa trah Raden Wijaya lebih rendah dari Jayakatwang. Tapi siapa sangka ketika Raden Wijaya meminta perlindungan dan bantuan dari Arya Wiraraja pemimpin Madura, datang pasukan Mongol yang bisa dimanfaatkan untuk menghancurkan Jayakatwang? Jayakatwang pun sebagai satria dengan kebesaran jiwa menyambut kematiannya.
Pasukan Mongol datang ke Jawa untuk mencari dan menghukum raja Kertanegara yang telah menghina dan menyakiti utusan Mongol. Namun ‘takdir’ berkata lain, pasukan ini malah mau diarahkan oleh Raden Wijaya untuk menyerang istana Jayakatwang yang telah menggulingkan Kertanegara.
Ganjar berkata “takdir telah ditulis di atas sana”, senada dengan isi Kidung Harsa-Wijaya. Bahwa memang sudah ketetapan ‘panitah’ dan ‘pangdan’ jika seseorang nantinya dilahirkan menjadi raja atau mendapatkan kedudukan tertentu. Bukan karena Raden Wijaya trahnya lebih tinggi dibandingkan Jayakatwang, bukan pula karena ia lebih mahir memimpin pasukan dan terbukti berpengalaman menaklukkan Maharaja Kertanegara yang ahli perang dan terkenal luar biasa sakti. Raden Wijaya (Harsa-Wijaya) menjadi raja Jawa karena ‘panitah’ yang sudah ditulis di atas.
Takdir — ‘Panitah’, ‘Pangdan’, ‘Widhi’ — telah menulis di atas sana jalan hidup Raden Wijaya. Mpu Santasmrti yang membantu pelarian Raden Wijaya dan putri Kertanegara melihat “ikhtiar langit” bahwa kelak Raden Wijaya akan menjadi raja besar pendiri dinasti. Mpu Santasmrti menyembunyikan Raden Wijaya sementara waktu untuk selanjutnya diarahkan untuk mengungsi dan meminta perlindungan ke Arya Wiararaja yaitu bupati Madura. Di sana Raden Wijaya bukan hanya mendapat perlindungan tapi ia mendapat penasehat kaliber tertinggi bernama Arya Wiraraja. Di pulau Madura ini ia menyusun siasat. Bupati Madura ini memberikan usulan dan masukan ke Raden Wijaya untuk memanfaatkan kedatangan pasukan Mongol untuk menyerbu istana Jayakatwang.
Nantinya ‘takdir’ menyebabkan Raden Wijaya mendirikan kerajaan Kerajaan Majapahit. Kebangkitannya atas bantuan Arya Wiraraja, ia pun memberikan kekuasaan dan wilayah Lumajang ke timur sebagai wilayah yang dikola oleh Arya Wiraraja. Ini sebabnya pula di wilayah Jawa Timur bagian timur sampai kini banyak warganya asal dari Madura. Ini adalah perjanjian antara Raden Wijaya (Jawa) dan Arya Wiraraja (Madura) untuk berbagi kekuasaan ketika awal pendirian Majapahit.
Mpu Santasmrti yang mampu ‘mengintip suratan takdir yang di atas’ memberi petunjuk bahwa Raden Wijaya akan meraih kemenangan dengan menyatukan kekuatan Jawa dan Madura.
Kebangkitan dan didirikannya Majapahit oleh Raden Wijaya yang menjadi rajanya yang pertama dengan memakai nama Krtarajasa adalah tema sentral Kidung Harsawijaya. Takdir (‘widhi’) yang menyurat Raden Wijaya sebagai raja pendiri Majapahit yang ternama. Ia menjalani takdirnya.
Sayangnya, bangsa besar NKRI ini, yang konon didirikan di atas pondasi kebesaran warisan negara kerajaan Majapahit, tidak paham dan punya rasa hormat pada ‘kebesaran takdir’ yang telah dijalani Raden Wijaya — pendiri negara Majapahit. Di tengah-tengah diagung-agungkan kebesaran Kerajaan Majapahit, Candi Simping yang menjadi monumen suci untuk mengenang dan memuliakan pendiri kerajaan Majapahit dibiarkan berserak tidak dipugar. Menyedihkan.
Candi Simping atau Candi Sumberjati terletak di Dusun Krajan, Desa Sumberjati, Kecamatan Kademangan, Kabupaten Blitar, Jawa Timur: Apakah menunggu ‘takdir’ untuk dibangun kembali dari serakannya yang tersisih?
Candi Simping yang terbengkalai runtuh adalah pendharmaan Raden Wijaya raja pertama Kerajaan Majapahit dan sekaligus pendiri Kerajaan Majapahit yang berpulang tahun 1309. Candi ini diagungkan secara tertulis dalam naskah utama peninggalan Majapahit yaitu lontar Kakawin Negarakertagama yang berbunyi:
“rin saka matryawuna linaniran narendra, drak pinratista jinawimbha siren puri jro, antahpura ywa panlah rikanan sudarmma, saiwapratista sira teki muwah ri simping”
(Nag. 47:3)
[Pada tahun 1231 Śaka/1309 Masehi, wafatlah sang raja (Krtarajasa Jayawarddhana), lalu dirinya diarcakan dalam wujud Jina di istana bagian dalam, Antahpura demikian tempat peringatan (baginya) di sana (merupakan) pen-dharma-an yang indah, (adapun) arca Saiwa untuk penghormatannya ditempatkan di Simping].
Dalam tradisi suci di Majapahit pendirian candi biasanya bertepatan dengan 12 tahun berpulangnya yang dimuliakan. Diperkirakan 12 tahun setelah berpulang bangunan candi suci di Simping didirikan dan diresmikan, yaitu tahun 1321 Masehi. Bertepat dengan itu dilangsungkan upacara śraddha roh yang berpulang memasuki alam kedewataan.
Sargah 70 Kakawin Nagarakrtagama menyatakan :
“irikang anilastanah saka nrpeswara warnnanen, mahasahas i simping sanhyan darmma rakwa siralihen, saha widiwiwidanasin lwir/nin saji krama tan kuran, prakhasita sang adyaksamujaryya rajaparakrama.”
[Kegiatan raja pada tahun Saka 1285 Śaka (1363 M), berkunjung ke Simping ke tempat candi suci pen-dharma-an yang dipindahkan, bermacam persembahan (widi-widana) dengan berbagai persajian lengkap, tidak ada yang kurang, dipimpin oleh sang adyaksa terkemuka bernama Rajapaparakrama memimpin upacara pemujaan yang agung].
“rasika nipunen widya tatwopadesa siwagami sira ta manadistane san sri nrpa krtarajasa duweg inulahaken tan prasada gopura mekala prakasita sang aryyanama krung prayatna wineh wruha”.
[Upakara suci berdasarkan pengetahuan suci Tatwopadesa dan Siwagama, dialah yang “menstanakan” memuliakan yang berpulang sang raja Krtarajasa (Raden Wijaya), dengan membangun prasada (candi pemuliaan roh suci) beserta gapura dan pagar keliling, ternama ia dengan nama Aryya Krung, sangat ulet-gigih-bersemangat dan pengetahuannya lengkap].
Apakah Candi Simping yang dahulu megah akan dipugar dan bangkit kembali megah menunggu ‘takdir’ yang dibahas Ganjar?
Kata Ganjar, sudah ditulis di sana: “Tugas kita semuanya adalah berikhtiar. Ada ikhtiar langit yang kita lakukan. Inilah spirit yang kita bawa untuk membawa kemenangan dengan penuh martabat…”
Pada tahun 1363 lampau — seperti dikisahkan dalam manuskrip lontar Nagarakertagama — masyarakat Jawa nyekar ke Candi Simping dengan kemegahannya. Pada tahun 2023 saya 2 kali nyekar ke Candi Simping dalam lacur, duduk merenungi ‘takdir’ di antara serakan batu candi yang tidak terurus.
Apakah ketakmenentuan ini sudah ‘takdir final’ atau masih menunggu ‘takdir lanjutan’? Saya yakin serakan tak menentu Candi Simping ini tidak final. Ini sementara. Saya yakin pada akhirnya akan muncul kesadaran terang dan bangkit berdiri kembali dengan megah. Seperti serakan candi ini. Diperlukan ikhtiar sungguh-sungguh untuk mampu berdiri menjadi bangsa bermartabat. [T]
BACA artikel lain dari penulisSUGI LANUS