Festival Sastra Bali Modern—pertama dan terbesar di dunia—dibuka dengan diskusi kelayakan sekaligus pertanggungjawaban karya oleh juara satu dan dua lomba Timbang Buku Sastra Bali Modern. Peserta duskusi yang merupakan masyarakat pembaca, penikmat dan pelaku, dan peserta umum bisa menanyakan hal-hal terkait karya yang berbentuk esai kritik sastra atau proses atau kemantapan diri menerima juara. Secara garis besar, festival yang digelar selama satu bulan (tak penuh) dan melibatkan 74 pelaku sastra ini diniatkan untuk merespon dan memberikan apresiasi, sekaligus memelihara hubungan baik, dan hubungan kreatif dengan 60 orang peserta Lomba Esai Timbang Buku.
Pada umumnya, lomba akan selesai pada penjurian lalu pengumuman kemudian penyerahan hadiah; juara biasanya secara langsung dianggap terbaik—juara satu lebih baik dari juara dua, juara dua lebih baik dari juara tiga, dan menurun sampai akhir. Tentu Festival ini berniat lebih. Juara tidak selesai sebagai juara, bahkan tidak menutup kemungkinan untuk mendiskusikan, layak-tidaknya juara, dan penting-tidaknya juara khususnya dalam ekosistem Sastra Bali Modern hari ini.
Meskipun telah melewati perdebatan paling sengit sejagat sastra Bali Modern, dengan juri kawakan, yaitu Made Adnyana Ole, sastrawan, wartawan, dan founder Tatkala.co; Gde Aryantha Soethama yang merupakan wartawan, penulis esai, dan cerpenis; serta akademisi, kritikus, dan penulis, yaitu I Made Sujaya, tentu masih ada residu yang patut untuk diperdebatkan kembali.
Diskusi yang berlangsung pada 5 Februari 2022, melalui zoom meeting ini berlangsung dengan percakapan dan pertanyaan-pertanyaan menarik dari peserta—akhirnya, obrolan tidak hanya pada karya timbang buku, tapi juga menyinggung situasi Sastra Bali Modern dan sistem penjurian pada lomba terkait kumpulan karya yang dikupas oleh pembicara. Dalam konteks ini, juara dianggap sebagai satu strategi untuk melontarkan wacana tertentu. Alhasil, pertanyaan ini mengantar peserta dan pembicara untuk mempercakapkan lomba sebagai satu ekosistem pembangun wacana, di mana lomba, sedikit tidak, berperan dalam konstruksi wacana dalam kepenulisan.
Di awal diskusi, pembicara sempat melempar satu pernyataan, bahwa tema yang diangkat dalam karya sastra Bali Modern cenderung pada kisah mistik, seolah-olah, untuk membicarakan Bali harus melalui konteks itu, sebagaimana narasi yang mengatakan bahwa membicarakan Bali mesti membicarakan adat, padahal ada berbagai isu kontemporer yang tidak kalah penting untuk dibahas, begitu juga dengan tatapan penulis dalam penokohan yang hampir serupa. Tampaknya, ada satu kemapanan cara pandang dalam dunia kepenulisan Sastra Bali Modern yang mesti diguncang untuk beranjak pada pengangkatan isu dan teknik menulis.
Ada pula satu terma yang layak untuk direnungkan, yaitu realitas Bali hari ini yang tidak lagi hidup dalam kerangka berpikir bahasa yang tunggal. Masyarakat Bali sebagaimana masyarakat belahan dunia lainnya merupakan masyarakat bilingual, dan rupanya, dalam analisis karya ditemukan bahwa ada berbagai pengaruh dari bahasa lain yang masuk dalam karya sastra Bali Modern. Tentu saja, jika karya sastra dipandang sebagai satu representasi realitas, tentu cara pandang ini perlu ditimbang dalam penulisan karya sastra Bali Modern.
Rupanya peserta memiliki berbagai hal menarik untuk dibicarakan dalam forum ini, semisal satu lemparan protes oleh peserta lain terkait pandangan juara yang dianggap begitu-begitu saja. Peserta tersebut mengatakan sebagai berikut: “Hal yang saudara sampaikan itu sudah pernah dibahas para pelaku sastra Bali Modern, adakah tatapan lain yang saudara temukan?” Protes peserta tersebut. Tentu saja, kemampuan Made Nurjaya dan Wulan Dewi Saraswati tidak perlu diragukan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan dari para peserta. Tapi sebelum itu, mari kita lihat latar belakang dua juara ini.
Made Nurjaya adalah seorang guru. Ia menulis hal-hal post positifistik tentang kebudayaan serta religiusitas masyarakat Bali, aktif dalam mempublikasi jurnal ilmiah, salah satunya Gama Tirtha Ideology, Hegemoni Kekusaan Raja Klungkung Melalui Pemahaman Mitos Ratu Gede Nusa Penida, dan lain sebagainya. Naskahnya yang dibincangkan dalam Festival Sastra Bali Modern ini berjudul “menaja risalah maya: antara popularisme dan hedonisme dalam nyujuh langit duur bukit” mendapat juara satu.
Wulan Dewi Saraswati yang merupakan juara dua dalam lomba ini merupakan penulis, sutradara, pendiri sekaligus creative director Komunitas Aghumi. Naskah dramanya dihimpun dalam antologi “Penjarah” terbitan Dinas Kebudayaan Provinsi Bali 2017, menulis naskah film pendek “Samsara”. Antologi puisinya bertajuk Seribu Pagi Secangkir Cinta (Mahima Institute Indonesia, 2017). Naskahnya yang dibincangkan dalam Festival Sastra Bali Modern ini berjudul “corak estetika mistik dalam kumpulan naskah drama mamula”.
Peserta yang mengharapkan tatapan lain dari peserta itu ditanggapi oleh Nurjaya dengan upaya Carma Citrawati dalam “Cerpen Dadong Raja”. Dalam cerpen itu, Nurjaya menemukan usaha Carma untuk merekonstruksi cara pandang umum terhadap konstruksi nilai yang mapan, yaitu usaha melihat sisi lain citra ilmu pengleakan. Sementara Wulan Dewi Saraswati menebalkan bahwa tidak ada hal baru di dunia ini, dan yang kita lihat baru barangkali kolaborasi dari hal-hal yang sudah ada, dan dalam buku kumpulan naskah drama yang ditemui Wulan terletak pada upaya beberapa penulis menghilangkan kadar “seram” pada hantu-hantu yang masuk dalam cerita. Sementara itu, kebaruan lain adalah usaha penulis memandang hal-hal mistis dan pandangan hari ini.
Pecakapan yang hangat ini tampaknya mampu membuat peserta bertahan, meskipun diskusi berlangsung selama kurang lebih dua setengah jam, dengan jumlah peserta sebanyak rata-rata peserta yaitu 29 orang.
Berikut traffic peserta diskusi edisi pertama: