Dewasa ini para perupa khususnya kaum muda sedang bergejolak dalam mengeksplorasi teknik, media, hingga narasi dan wacana untuk menemukan jati dirinya. Menariknya berbagai lintas bidang keahlian juga tampak bermunculan dan turut serta meramaikan khasanah seni rupa kontemporer saat ini.
Munculnya media sosial dan ruang belajar terbuka berbentuk komunitas, studio dan lain-lain, dengan ragam kecenderungan menjadi gerbang yang terbuka lebar untuk semua orang yang ingin memasuki medan sosial seni rupa. Ini membuktikan tidak ada sekat ketat yang membatasi aktivitas pameran seni agar hanya boleh dilakukan oleh orang yang mengenyam pendidikan seni secara formal saja. Melainkan tergantung bagaimana kemampuan dan pencapaian seorang perupa atas wacana dan visual yang menjadikannya siap dalam laga perhelatan seni rupa khususnya kontemporer.
Sebuah ruang bersejarah yang aktif berkontribusi terhadap perkembangan seni rupa di Bali, yaitu Sika Gallery—yang bertempat di jalan raya Sanggingan, kecamatan Ubud, kabupaten Gianyar—telah menggelar 2 program pameran pasca kondisi pandemi covid-19 yang hampir 1 tahun membekukan segala aktivitas luring (luar jaringan) di seluruh dunia dan Bali khususnya.
Salah satunya yang masih berjalan hingga 25 April 2021 mendatang yaitu program pameran bertajuk “Bali Emerging Artist 2021” yang dikurasi oleh Dwi Setyo Wibowo dan meloloskan 17 perupa lintas disiplin dari 100 lebih peserta Open Call. Peserta pameran ini diantaranya yaitu Anis Kurniasih, Andre Yoga, Deny Kurniawan, Dewa Made Johana, I Gusti Dalem Diatmika, I Gede Sukarya, I Kadek Djunaidi, I Made Surya Subratha, I Putu Sastra Wibawa, I Putu Yoga Sathyadi Mahardika, I Wayan Aris Sarmanta, I Wayan Piki Suyersa, I Wayan Sudarsana, Kuncir Sathya Viku, Lilu Herlambang, Rama Indirawan, Vincent Chandra. Beberapa dari mereka ada yang berlatarbelakang seni rupa murni, pendidikan seni rupa, DKV, bahkan sastra.
Salah satu yang menarik perhatian penulis dalam pameran ini yaitu salah 4 dari peserta pameran yang 2 diantaranya, Dewa Made Johana dan Vincent Chandra merupakan alumni dan 2 lainnya, Deny Kurniawan dan Putu Yoga Satyadhi merupakan mahasiswa aktif dari prodi pendidikan seni rupa Undiksha. Mereka ikut serta dalam pameran ini dengan keahlian yang beragam seperti, Dewa Made Johana misalnya yang memiliki keterampilan dalam seni grafis yang tergabung dalam Studio Grafis Undiksha yang kini juga menjadi salah satu staf di Black Hand Gang, salah satu studio grafis yang berada di desa Mas, Ubud.
Dalam pameran ini ia menghadirkan karya grafis berjudul “The War” dengan tehnik intaglio relif print menggunakan plat kuningan yang menghasilkan efek menarik. Karya ini merupakan edisi pertama dari total 2 cetakannya, di dalamnya dapat kita temui gambar berupa 3 pesawat terbang, prajurit membawa senjata, dan ujung atas candi kurung (gerbang tradisional masyarakat Bali).
Johana seperti tengah berusaha mengenang peristiwa peperangan pada masa penjajahan di Bali atau boleh jadi ia sedang ingin meminjam konteks ‘perang’ yang lalu untuk menggambarkan kondisi dunia saat ini. Terlepas dari itu, teknik yang ia terapkan ternyata sangat asing dilakukan dibandingkan teknik grafis pada umumnya seperti cetak cukil dan cetak sablon yang cukup digemari dalam praktik kesenian grafis di Bali. Dalam pameran ini Johana seolah tengah melanjutkan misi dari komunitas dan studio tempat ia bekerja untuk memperkenalkan perkembangan grafis yang sangat menarik untuk dinikmati dan dipelajari kepada publik.
Mengaitkan penggalan cerita mitologi Hindu dengan pengalaman pribadinya, Vincent Chandra yang kini juga mulai melejit sebagai penulis muda seni rupa, tampil dalam pameran ini dengan menghadirkan instalasi sekaligus karya interaktif yang berjudul “I Found Myself in Gunatama”. Karya ini terdiri dari 1 lukisan bermedium kertas padi yang digantung di dinding ditemani oleh beberapa buah objek seperti lukisan potrait orangtuanya, koper, kuas-kuas, kertas padi kosong, dan arak beras.
Dalam karyanya ia berusaha melakukan apropriasi atas karya I Gusti Made Deblog berjudul “Lahirnya Gunatama” yang berkisah tentang kehidupan seorang Gunatama yang semenjak kecil hanya diasuh oleh seorang ibu saja. Disisi ini Vincent melihat ada kemiripan antara dirinya dengan kisah Gunatama tersebut, mereka berdua sama-sama tengah merindukan sosok seorang ayah.
Sementara objek-objek yang ia bawa, semisal koper, salah satu benda yang ia bawa dari rumahnya di Medan ke Bali untuk memulai studi seni rupa nya di Undiksha. Salah satu yang ia bawa untuk mencari jati dirinya di rantauan dari satu tempat ke tempat yang lain dan selalu mengingatkan dirinya pada keluarga, objek ini baginya merekam seluruh perjalanan tersebut.
Kuas dan kertas padi pun menjadi salah satu media interaksi yang ia sediakan kepada pengunjung untuk turut menginterpretasi ulang karyanya. Minuman beralkohol/ arak beras lalu mewakili memorinya tentang Singaraja, tempat awal ia belajar dan menemukan potongan identitasnya di Bali. Lalu pada lukisan potrait orang tuanya, ia memilih menggambarkan sosok ayahnya dengan tanpa wajah untuk menjelaskan dirinya yang tidak memiliki memori secara langsung tentang ayahnya, baik bagaimana karakter dan sifatnya.
Mengangkat pengalaman pribadi sebagai latar belakang karya tidak hanya dilakukan oleh Vincent. Dalam karya Deny Kurniawan—yang kini masih berstatus sebagai mahasiswa tingkat akhir di Undiksha—berjudul “After Production” juga menampakkan narasi tentang identitas. Dengan media cat minyak diatas kanvas, karya dengan pendekatan realistiknya menghadirkan sebuah objek pria yang sedang memakan tahu, bagian atas objek ini terpotong secara tegas melalui insert objek serupa mesin jenset.
Deny menjelaskan bahwa tahu telah lekat dengan kesehariannya sedari dulu karena keluarganya merupakan salah satu produsen tahu terbesar yang berada di daerah Banyuwangi. Dari berbagai persoalan yang ia temui dalam usaha keluarga ini ia lalu tertarik untuk mengangkatnya menjadi sebuah objek lukisan, dengan teknik dan kemampuan mumpuninya yang telah ia latih sejak lama. Namun inovasi dalam mengolah bentuk kanvas atau cara penyajian karyanya rasanya dapat untuk dieksplorasi lagi, agar menjadi pembeda antara karya Deny dengan karya realis lainnya, karyanya mesti lebih ‘gila’ lagi.
Sementara I Putu Yoga Sathayadi, yang tergabung dalam kelompok O-prasi mencoba mengenalkan kembali karya prasi yang dulu umumnya di sajikan dalam model perlembar menjadi gambar utuh dalam rangkaian lontar. Prasi adalah salah satu seni gambar yang dulu kerap digunakan layaknya ilustrasi, melengkapi karya sastra ataupun kitab dan pengobatan tradisional, dengan media daun rontal yang telah melalui proses pengolahan kemudian ditoreh dengan pisau pengerupak (mirib pisau untuk pembuatan prasi). Yang menarik Yoga dapat menghadirkan torehan yang kecil dan sangat mendetail di karya-karyanya, kombinasi torehan dan kerokan yang menimbulkan dimensi akibat gradasi hitam dan gubahan bidang segitiga, segi enam yang menarik.
Lihat misalnya karyanya yang berjudul “Soma Anggara Kuningan” dan “Redita Pon Gumbreg”. Dengan objek pawukon Bali yang telah Yoga reinterpretasi ulang ke bentuk stilir tumbuhan dan wayang di lengkapi dengan teks aksara bali berisikan wuku sesuai yang digambarkan Yoga. Atas usaha-usaha yang dilakukan oleh kaum perupa muda serupa Yoga ini, terbukti dalam beberapa waktu belakangan ini prasi sedang hangat diperbincangkan kembali oleh instansi-instansi dan komunitas yang tertarik dengan keunikan seni prasi.
Keempat perupa yang terdiri dari mahasiswa dan alumni pendidikan seni rupa Undiksha, pun ingin ikut membuktikan eksistensi mereka. Sambil tetap mengemban spirit pendidik mereka pun ingin memperdalam teknik dan kemungkinan yang ada dalam medan seni rupa. Semangat ini patut kita apresiasi karena kita ketahui Undiksha dengan latar pendidikan dengan iklim keseniannya yang berbeda, hampir jarang bertemu dan bergesekan dengan wacana hingga persoalan seni rupa terkini, sehingga Bali Emerging Artis 2021 ini dapat menjadi pemantik yang positif untuk seluruh perupa muda Bali agar berkesempatan untuk memperkenalkan diri terutama hasil eksplorasi teknik dan gagasannya kepada publik. Dalam pameran ini pun banyak nilai yang dapat kita petik dari karya-karya tiap peserta, masing-masing mereka tengah membangun wacana dan narasi yang beragam yang tentu amat menarik untuk diulas.[T]