Meceki adalah aktivitas permainan judi dengan memakai media kartu mahyong. Permainan ini sudah menyejarah di Bali. Perkiraan sejarawan saat awal masuknya permainan ini dikaitkan dengan masuknya pengaruh budaya Tionghoa ke Bali yang jejaknya diperkirakan sejak zaman Bali kuno. Terdapat cerita legendaris tentang perkawinan antara Raja Jayapangus dengan putri seorang saudagar/subandar Cina bernama Kang Cing Wie Tahun1181-1269 Masehi. Seiring dengan kisah ini masyarakat Bali pun mulai mengenal alat transaksi berupa pis bolong (uang berlobang). Di dalam kartu ceki-an dipenuhi pula dengan gambar pis bolong. Hal inilah yang menjadi asumsi dasar tentang dikenalnya permainan ceki yang dihubungkan dengan masuknya pengaruh Tionghoa ke Bali.
Istilah meceki terdiri dari awalan me = kata kerja aktif yang berarti melakukan aktivitas, sedangkan kata ceki adalah sebutan lain kartu mahyong. Permainan ini sangat digemari oleh kalangan kerajaan pada zaman raja-raja masih eksis di Bali maupun kalangan rakyat kebanyakan. Sebagai permainan, unsur hiburan menjadi bagian dari permainan ceki. Unsur inilah yang membuat permainan ini berterima dan eksis sampai saat ini.
Salah satu ciri menonjol dari permainan meceki adalah waktu yang diperlukan relatif lama. Bahkan, pemain yang kecanduan bisa bermain sampai rentang waktu 15 jam hanya diselingi istirahat makan, minum atau istirahat sejenak jika dirasa perlu. Karakter permainan yang menyita waktu sangat panjang dilihat dari sisi gender perempuan maka, permainan ini sebenarnya tidak cocok dilakukan oleh perempuan, terlebih perempuan Bali yang diikat dengan kultur Bali yang patriakhis. Sosok perempuan yang ada pada lingkaran kultur patriakhis adalah perempuan rumahan yang tetap bisa menjaga karakter feminim. Sementara, bermain ceki penuh dengan tuntutan yang berdimensi maskulin dari segi waktu, energi/stamina, kecekatan, kekuatan fisik. Namun, realitasnya ada perempuan Bali yang bermain ceki sebagaimana halnya laki-laki Bali.
Secara normatif, perempuan Hindu di Bali dicitrakan sebagai perempuan yang memiliki etos kerja yang tinggi baik kekerabatan (keluarga batih, keluarga Paibon, keluarga Dadya) maupun pada pranata-pranata sosial Bali lainnya seperti Banjar, Desa Adat, Subak, dan pada aktivitas yadnya (Supartha,1988:191). Etos kerja yang ditanamkan bagi perempuan Bali memakai rujukan pada Kitab Suci Bhagavadgita III (Karma Yoga), Saloka 8 yang mengemukakan sebagai berikut.
Bekerjalah seperti yang telah ditentukan
sebab bekerja lebih baik dari tak kerja
kalau engkau tidak bekerja
hidup sehari-hari pun tidak mungkin
Berdasarkan ajaran Karma Yoga tersebut, etos kerja perempuan Bali dibangun sehingga muncul pemahaman bahwa semua kerja adalah mulia. Berbagai pekerjaan (halus maupun kasar) seperti mengaspal jalan, mengecet tembok, mengangkut batu, berdagang sampai menenun dilakukan oleh perempuan Bali dalam kesehariannya.
Norma agama sebenarnya melarang umat Hindu berjudi sebagaimana tampak pada uraian teks Weda yaitu:
Rgweda X.34.13 menyebutkan:
Aksair ma divyah simit krsasva
vitte ramasva bahu manyamanah
tattra gavah kitava tatra jaya
tan me vicaste savitayamaryah
Artinya :
Wahai para penjudi, janganlah bermain judi, bajaklah tanah itu, selalu puas dengan penghasilan sendiri, pikirkan bahwa itu cukup. Pertanian menyediakan sapi-sapi betina dan dengan itu istrimu tetap bahagia. Desa Savita dewata alam semesta telah menasehatimu untuk berbuat begitu.
Ayat pada Rgweda sejatinya bermaksud mengingatkan segenap umat Hindu agar tidak berjudi. Terlebih-lebih terhadap perempuan. Perempuan Hindu di Bali dikurung dengan budaya etos kerja yang telah dibangun dari sejak kecil. Dalam budaya Bali yang patriarki, sosok perempuan ideal muncul dalam berbagai wacana yang akhirnya melahirkan citra tertentu pada perempuan Bali. Citra yang populer tentang perempuan Bali adalah perempuan yang memiliki etos kerja tinggi dan bersedia mengambil pekerjaan tanpa melihat halus dan kasarnya pekerjaan tersebut (Supartha,1988).
Citra ini menguat tatkala motivasi etos kerja perempuan Bali dihubungkan dengan sumber motivasi kerja yang berasal dari ajaran agama. Salah satu sumber motivasi kerja bagi umat Hindu umumnya dan perempuan Bali pada khususnya adalah ajaran Karma Yoga. Ajaran Karma Yoga memandang kerja sebagai hukum alam. Karma Yoga memberikan tuntunan dan mengarahkan bahwa kerja memberikan tuntunan dan mengarahkan bahwa kerja yang dilakukan berdasarkan keikhlasan merupakan wujud pengabdian kepada Hyang Widhi.
Di samping tata nilai yang mengatur etos kerja perempuan Bali, tata nilai lain yang ikut serta mendongrak citra ideal perempuan Bali yang telah berumah tangga adalah swadharmanya agar bisa mengendalikan pikiran dan tindakan sehingga bisa menjadi ratu rumah tangga yang berkewajiban mengatur urusan rumah tangga, inilah yang dikatakan sebagai yadnya perempuan (Arwati,1993:11).
Tugas ibu sebagai pembimbing anak dipayungi oleh berbagai ajaran-ajaran etika dan berbagai larangan-larangan ajaran agama Hindu yang disebut Sad Ripu yang terdiri dari enam jenis musuh yaitu: Kama artinya nafsu; Lobha artinya kelobaan; Mada artinya kemabukan; Moha artinya kebingungan; Matsarya artinya iri hati.
Keenam jenis musuh tersebut ibarat kartu pengendali bagi perempuan untuk menjadi contoh bagi anak-anaknya agar tidak melakukan perbuatan-perbuatan yang menyimpang. Berjudi adalah contoh yang dianggap tidak mendidik karena merupakan penyaluran nafsu dan bisa menimbulkan kemabukan. Berdasarkan norma agama, perempuan diharapkan bisa menghindar dari kemungkinan terjerat dalam perjudian sesuai dengan ajaran Sad Ripu. Ketidaklaziman perempuan memasuki arena perjudian ditegaskan pula melalui uraian seloka dalam kitab suci yang secara eksplisit menyatakan bahwa yang berjudi itu adalah laki-laki sebagaimana yang tertuang dalam Kitab Rgweda X.34.10 sebagai berikut.
Jaya tapyate kitavasya hina
mata putrasya caratah kva svit
mava bibhyad dhanam icchamanah
anyesam astam upa naktam eti
artinya:
Istri seorang penjudi yang mengembara mengalami penderitaan yang mendalam dalam kemelaratan dan ibu seorang putra yang berjudi semacam itu tetap dirundung derita, dia yang dalam lilitan utang dan kekurangan uang, memasuki rumah orang-orang lainnya dengan diam-diam di malam hari.
Untaian syair dalam kitab tersebut menegaskan bahwa yang mempunyai kebiasaan berjudi adalah laki-laki yang berakibat kesengsaraan bagi keluarganya. Seloka ini juga mengandung makna bahwa hasrat berjudi adalah milik laki-laki.
Berpijak dari asumsi dasar tentang citra ideal perempuan Bali, maka dua pertanyaan yang penting ditemukan jawabannya adalah mengapa perempuan Bali bermain ceki? Kedua, kesadaran palsu apakah yang terdapat pada perempuan Bali yang bermain ceki? Masalah ini dibedah dengan memakai teori hasrat (Lacan), hegemoni Gramsci dan teori kesadaran palsu (Marx), dramaturgi (Gruffman).
Meceki adalah salah satu bentuk perjudian yang dikenal secara umum oleh masyarakat di Bali. Kegiatan meceki atau berjudi umumnya merupakan ranah maskulin dan merupakan aktivitas laki-laki ketika ada acara-acara megebagan (begadang untuk berjaga) saat ada kematian di rumah seorang warga masyarakat, hari raya Galungan-Kuningan, bahkan pada hari raya Nyepi pun kegiatan meceki dilakukan secara sembunyi-sembunyi.
Di desa-desa atau di kota sebagian orang menyambut hari raya Galungan dengan meluangkan waktunya dengan main kartu ceki seusai ngelawar (masakan khas Bali). Judi kecil-kecilan atau taruhan besar ini menjadi semacam hiburan, obat stress bagi orang dusun atau kota. Inilah cara berkontemplasi sebagian orang, sehingga Galungan bukanlah perayaan kemenangan dharma melawan adharma tetapi kemenangan kesantaian terhadap kesibukan (Putrawan,2004:74).
Namun yang jelas arena ceki merupakan arena publik yang berdimensi maskulin. Pencitraan tentangnya merepresentasikan kekuasaan. Dalam isu gender kekuasaan di wilayah publik adalah “milik” laki-laki. Tatkala perempuan masuk di ajang tersebut, maka dapat diartikan gerakan moral yang bermuara pada pencapaian kekuasaan tertentu. Perjuangan memperoleh kekuasaan merupakan hal yang inheren dalam kehidupan manusia, termasuk di kalangan perempuan. Dalam konteks ideologi Marx hasrat berkuasa perempuan dapat dikatagorikan sebagai bentuk kesadaran palsu.
Masuknya perempuan Bali ke dalam kontemplasi arena judi menghasilkan pertanyaan menarik yaitu: (1) Mengapa perempuan masuk ke arena ceki? (2) Kesadaran palsu semacam apa yang diperoleh perempuan sebagai pemain ceki?
Metode yang digunakan dalam menjawab pertanyaan tersebut adalah metode kualitatif yang dilengkapi pemakaian teori kritis yaitu teori habitus Bourdieu dan teori kuasa Foucault dan hasrat Lacan, kesadaran palsu Marx. Pengkajian kasus ini kiranya akan melengkapi pemahaman tentang perempuan sebagai mahkluk multidimensional. Pemahaman ini menjadi penting untuk mengembangkan rancangan program pemberdayaan yang berbasis potensi diri dan potensi sumberdaya alam yang tersedia di lingkungan.
Latar Belakang Perempuan Masuk ke Arena Ceki
Terdapat beberapa faktor yang melatarbelakangi masuknya perempuan di Bali masuk ke arena ceki.
Faktor pertama, historis. Perkenalan permainan ceki yang dipercaya sebagai pengaruh yang datangnya dari orang-orang Cina yang menjalin hubungan baik (baca: hubungan dagang) dengan raja, itu berarti permainan ceki memasuki arena baru yang lama kelamaan tumbuh menjadi habitus yang membangun skema interpretatif warga puri bahwa permainan ceki adalah modal pengetahuan dan modal kultural warga puri yang menyejarah. Dalam kaitan kehadiran pengaruh Cina di Bali, menurut Sidemen (1998:6) ada asumsi historis memperkirakan bahwa jaman kedatuan Majapahit yang menguasai wilayah Nusantara (1292-1478) telah terjadi kontak dagang secara luas antara Nusantara dengan Cina. Bali sebagai salah satu bagian wilayah kekuasaan Majapahit ikut terlibat di dalamnya.
Ada bukti yang dapat memberi pentunjuk tentang pengaruh Cina di Bali yaitu di komplek pekuburan Cina di Blahbatuh ditemukan nisan yang dengan jelas bertuliskan angka 1850. Angka ini menunjukkan bahwa sebelum tahun itu telah ada perkampungan Cina di desa Blahbatuh. Data ini memberitahukan bahwa pada pertengahan abad XIX telah terjadi aktivitas orang Cina dalam jumlah cukup besar sehingga membentuk satu perkampungan. Aktivitas itu terutama adalah perdagangan.
Keterlibatan orang Bali dalam urusan perdagangan dengan orang luar telah dilaporkan pula oleh Henk S. Nordholt (Dalam Ardika 2013:309) bahwa di pantai-pantai pesisir Bali di sekitar abad XVI telah berlangsung perdagangan dengan orang-orang luar, bahkan perdagangan juga tampak dilakukan oleh elite-elite kerajaan. Hal diperkuat oleh laporan pengunjung Portugis yang menyebut tentang aktivitas pedagang-pedagang Bali di tahun 1635.
Kontak yang panjang antara orang-orang Bali dengan orang-orang Cina sangat memungkinkan terjadinya saling pengaruh satu sama lainnya dalam hal kebudayaan. Salah satu pengaruh yang masih tertinggal jejaknya di Bali adalah pemakaian uang kepeng (pis bolong) yang secara historis pernah menjadi alat tukar dalam urusan perdagangan dan kini menjadi alat ritual masyarakat Bali. Dalam rekontruksi historis uang kepeng, menurut Sidemen (2003:102) uang kepeng digunakan pula sebagai sarana berjudi. Dalam kaitan pengaruh budaya Cina di Bali, tampak pula dari adanya kartu-kartu sebagai alat permainan meceki atau mesampe.
Kontak dagang yang terjadi dalam hitungan waktu yang sangat panjang akhirnya menyisakan cerita bahwa hubungan tersebut telah mengantarkan orang Bali menjadi tahu tentang permainan meceki yang memakai alat utama kartu-kartu yang berornament budaya Cina. Kedekatan elite puri di Bali dengan pedagang Cina disekitaran abad XVIII sekaligus menambah pengetahuan keluarga puri tentang kultur Cina, di antaranya perkenalannya dengan permainan kartu purba orang Cina yang disebut mahyong.
Beberapa puri di Bali, yang saat ini masih tetap melakukan aktivitas meceki di kalangan keluarga, ada anggapan bahwa meceki adalah dari sejarah keluarga yang menyimpan romantisme masa lalu tentang kebesaran, kemegahan, kemasyuran puri di masa lalu. Secara historis, tradisi meceki sebenarnya tidak hanya dilakukan oleh laki-laki saja. Dalam konteks ini, terjadi ketidaksesuaian antara kondisi historis dengan harapan kultural maupun nilai agama terhadap perempuan. Berpijak dari kisah historis permainan ceki yang semula tumbuh di lingkungan puri akhirnya tumbuh pula di luar puri.
Pengetahuan meceki diturunkan melalui cara melihat, menyimak, dan mencoba. Ketiga rangkaian tersebutlah yang akhirnya membangun habitus tentang kultur meceki baik di lingkungan puri maupun luar puri. Habitus senantiasa berkaitan dengan arena dan modal. Melalui ketiga proses tersebut, perempuan dikenalkan pengetahuan tentang meceki. Dalam kaitan ini, puri menjadi arena meceki yang bukan saja mengandung arti tempat dilakukannya permainan meceki, namun lebih jauh dari itu berarti pula sebagai wilayah dari terbangunnya cara-cara pengetahuan dibentuk, aktor yang berperan, pola berpikir yang dibangun, keyakinan akan sesuatu yang dilihat dan dimaknai yang semuanya akan membentuk skema-skema interpretatif tentang permainan meceki.
Lebih lanjut, pembentukan skema interpretatif akhirnya melahirkan berbagai modal yang bisa dimainkan untuk menjaga kultur meceki. Mengacu konsep Bourdieu tentang modal, dalam kaitan latar historis meceki dilingkungan puri maka modal yang terbangun dan dibangun oleh pihak puri dan orang luar puri berupa modal budaya. Modal budaya memiliki beberapa dimensi, yaitu:
- Pengetahuan obyektif tentang seni dan budaya
- Cita rasa budaya (culturaltaste) dan preferensi
- Kualifikasi-kualifikasi formal (seperti gelas-gelar universitas)
- Kemampuan-kemampuan budayawi dan pengetahuan praktis
- Kemampuan untuk dibedakan dan untuk membuat perbedaan antara yang baik dan buruk(http://satrioarismunandar6.blogspot.com/2009/05/pierre-bourdieu-dan-pemikirannya.html. Diakses tanggal 19 Juli 2013).
Sejalan dengan perjalanan historis permainan mahyong sampai berhasil menancapkan pengetahuan budaya, para perempuan yang punya pengetahuan budaya meceki memproduksi hasrat yang tiada henti.
Faktor kedua, magnit kartu ceki-an. Perempuan yang gemar bermain ceki mengaku bahwa di dalam kartu ceki-an mengandung magnit yang mampu menghasilkan sensasi bagi pemainnya. Beberapa sensasi yang diakui oleh para pemain adalah saat menarik kartu dengan tarikan yang pelan, dilanjutkan dengan tindakan mengintip gambar apa gerangan yang akan didapat. Proses inilah yang menurut para pemain menanamkan sensasi yang mampu mendorong untuk terus bermain dan bermain. Dalam konteks ini para pemain telah hanyut dalam psikhis yang dibangun secara pelahan-lahan dan berujung pada kenikmatan bermain.
Faktor lain yang tidak kalah pentingnya sebagai faktor ketiga adalah faktor hasrat menang sehingga bisa melipatgandakan uang taruhan. Berpijak dari pemikiran Freud tentang hasrat dilanjutkan oleh Carl Gustav Jung dan Jaques Lacan (dalam Audifax, 2006:288) tentang esensi manusia yang selalu memiliki “hasrat menjadi” dan “hasrat memiliki.” Menurut Carl Gustav Jung,pemahaman tentang hasrat atau energi psikis yang menggerakkan manusia hendaknya diletakkan pada asumsi bahwa alam adalah keseimbangan. Seisi alam berpasangan untuk memperoleh keseimbangan, seperti Yin dan Yang, benar dan salah, laki-laki dan perempuan. Dalam hal ini kesenangan tidak berguna tanpa rasa sakit. Begitu pula manusia, ia adalah keseimbangan sehingga ketika terjadi ketidakseimbangan, maka ia akan merasa ada yang tidak sempurna dan berusaha menyempurnakannya.
Kunci memahami hasrat dalam kepemilikan subjektif dan aspek-aspek kulturalnya bisa ditemukan dalam diktum Lacan ( dalam Audifax, 2006:291-292), dalam hal ini hasrat (desire) bisa dipahami sebagai hasrat akan sesuatu yang lain (desire of the other). Sehubungan dengan hal ini ada tiga ambiguitas krusial pada formulasi yang terdaftar dalam tiga basis untuk distingsi di antara ranah hasrat. Pertama, “hasrat” bisa mengambil bentuk baik sebagai hasrat menjadi (to be) atau hasrat memiliki (to have), berhubungan dengan distingsi yang dibuat Freud antara narcissistic dan anaclictic libido.
Bentuk narcissistic hasrat memanifestasikan dirinya sebagai cinta/rasa suka (love) dan identifikasi sebagai hal yang subjektif genitif dan objektif genitif, mengindikasikan bahwa other bisa menjadi subjek ataupun objek dari hasrat, suatu distignif yang diformulasikan Freud sebagai perbedaan antara tujuan aktif dan pasif libido. Ketiga, “the other” bisa berupa imaji dari orang lain yang telah ada dalam daftar imajiner (imaginary register) atau kode yang mengonstitusi tatanan simbolik atau other sex dan/atau objek dari the real.
Implikasi yang dapat ditimbulkan dari tindakan berjudi adalah hasrat perolehan modal-modal. Menurut Bourdieu (1986:241) tentang konsep “kapital” dijelaskan sebagai akumulasi usaha yang diwujudkan dalam bentuk materi atau dalam bentuk akumulasi lainnya. Menurut Sutanto (2003:44) dalam ranah sosial ada empat jenis modal, yakni sebagai berikut.
- Pertama, modal ekonomi mencakup alat-alat produksi (mesin, tanah, buruh), materi (pendapatan dan benda-benda) dan uang yang dengan mudah digunakan untuk segala tujuan serta diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya.
- Kedua, modal budaya adalah keseluruhan kualifikasi intelektual yang bisa diproduksi, baik melalui pendidikan formal maupun warisan keluarga. Termasuk modal budaya antara lain kemampuan menampilkan diri di depan publik, pemilikan benda-benda budaya bernilai tinggi, pengetahuan dan keahlian tertentu dari hasil pendidikan, termasuk sertifikat (gelar kesarjanaan).
- Ketiga, modal sosial menunjuk pada jaringan sosial yang dimiliki pelaku (individu atau kelompok) dalam hubungannya dengan pihak lain yang memiliki kuasa.
- Keempat, segala bentuk prestise, status, otoritas dan legitimasi yang terakumulasi sebagai bentuk modal simbolik.
Akumulasi usaha ini bila dilakukan secara eksklusif oleh seseorang atau sekelompok orang akan membuat mereka mampu menggunakannya sebagai energi sosial dalam bentuk tenaga kerja manusia atau dalam bentuk gagasan yang dianggap memiliki eksistensi material. Selanjutnya, apabila seseorang atau sekelompok orang ingin mempertahankan “kapital” yang dimiliki, mereka akan melakukan beberapa cara yang sering tidak bisa dilepaskan dari kekerasan (Hendrarti dan Herudjati, 2008:45). Konsep kekerasan, menurut pandangan para ilmuwan sosial pasca modern harus dilihat sebagai “ajang adu kekuatan dan perjuangan” seperti yang dianjurkan oleh Bourdieu (1991) atau yang senada dikemukakan oleh Foucault (1978:94). Jadi, kekerasan bisa terjadi di mana-mana, baik di rumah maupun di luar rumah.
Para informan yang menjadi pemain kartu ceki mengaku bahwa melalui permainan kartu ceki-an mereka merasa dapat memperoleh beberapa modal sekaligus yakni modal pengetahuan (semakin sering bermain, pengetahuan meceki semakin menyatu), modal uang dan modal sosial (pertemanan sesama pemain). Semua modal tersebut dapat dimainkan saat diperlukan. Misalnya, modal sosial bisa diubah menjadi modal finansial tatkala tidak punya uang dipakai bermain, bisa diandalkan dari teman. Ketiga faktor yang melatarbelakangi perempuan bermain ceki merupakan faktor dominan masuknya ke arena ceki. Di luar faktor dominan ada pula beberapa faktor seperti menghindar dari peran gender – tidak memasak, tidak bersih-bersih rumah, tidak mencuci
Dari perspektif manusia sebagai makhluk multidimensional, kehadiran perempuan di arena meceki bukanlah hal yang aneh. Mengingat, perempuan adalah makhluk homoluden yang tidak luput dari dorongan bermain, termasuk memainkan masalah yang membelitnya. Hanya, saja meceki lebih dilihat sebagai arena bermain yang bermuatan citra negatif. Walaupun ada turnamen ceki di berbagai daerah yang digiring ke image olah raga otak, lagi-lagi perempuan tidak masuk dalam perhitungan turnamen. Padahal secara historis perempuan ikut menua seiring dengan perjalanan historis permainan ini.
Bentuk Kesadaran Palsu dalam Arena Meceki
“Kesadaran palsu” adalah sebuah konsep yang berasal dari teori Marxis dari kelas sosial. Konsep ini mengacu pada keliru sistematis hubungan sosial yang dominan dalam kesadaran kelas bawahan. Marx sendiri tidak menggunakan frase “kesadaran palsu,” tapi dia membayar perhatian luas terhadap konsep terkait ideologi dan fetisisme komoditas. Anggota kelas bawahan (buruh, petani, budak) menderita kesadaran palsu dalam representasi mental mereka dari hubungan sosial di sekitar mereka secara sistematis menyembunyikan atau mengaburkan realitas subordinasi, eksploitasi, dan dominasi mereka hubungan mewujudkan. Konsep terkait termasuk mistifikasi, ideologi, dan fetisisme. Pengaruh ideologi sangat berhubungan dengan kesadaran kelas, karena pengaruh ideologi dapat mengakibatkan kurangnya kesadaran penuh akan kepentingan-kepentingan kelasnya sendiri. Selain mengakibatkan kurangnya kesadaran penuh terhadap kepentingan-kepentingan kelasnya, penerimaan ideologi yang dikembangkan untuk mendukung kelas yang dominan dan struktur yang telah ada menurut Doyle juga akan menimbulkan kesadaran palsu (Gidden, 1986
Dalam terminologi Marx tentang kesadaran palsu merepresentasikan adanya persoalan kejiwaan yang melambungkan kebesaran diri sendiri terhadap harapan akan sesuatu tentang dirinya. Bentuk kesadaran palsu perempuan yang terlibat di arena percekian adalah:
Pertama, merasa mendukung ideologi kelas dominan. Secara sosial kultural, pada kultural pada masyarakat yang mengusung kultur patriarki laki-laki umumnya dikatagorikan sebagai kelas dominan yang menentukan jalannya kehidupan sosial. Masuknya perempuan ke arena judi tanpa disadari mendukung ideologi kekuasaan hirarkhis. Perempuan punya dorongan untuk menggapai kekuasaan lewat ikut serta bertarung di arena meceki. Padahal, dalam realitas sosial kehidupan para perempuan ini, hirakhis yang menempatkan laki-laki pada kekuasaan yang teratas tidak pernah berubah.
Kedua, perempuan ikut terjebak dalam unsur fetisisme. Fetisisme besutan Karl Marx dan Jean Baudrillard. Bagi Marx (dalam Lee, 2006: 23-24), fetisisme komoditas menunjuk pada pendewaan benda akibat berbagai kualitas metafisik yang sengaja disematkan padanya. Secara antropologi, fetisisme mengandung arti pemujaan terhadap benda-benda secara berlebihan sebagai kekuatan magis. Pada kasus perempuan meceki, ditemukan pula adanya kepercayaan atas benda-benda tertentu yang diyakini akan memberi peruntungan kelak saat bermain ceki. Walaupun mitos ini sudah mulai memudar, namun keyakinan tentang hal ini masih dapat ditemui pada beberapa orang.
Ketiga, ada kekaburan subordinasi. Posisi subordinasi perempuan adalah lumrah dalam masyarakat patriarkis. Data menunjukkan, melalui aktivitas meceki posisi subordinasi seolah-olah kabur. Hal ini ditunjukkan dengan kemampuan mengambil keputusan keluar dari peran ganda, rutinitas peran gender. Namun, sejatinya begitu masuk ke arena domistik posisi subordinasi tetap mengurungnya.
Keempat, munculnya mistifikasi. Kata mistik berarti berarti pengecoh. Lewat meceki , perempuan terkecoh. Bentuk mistifikasi yang ditemukan pada keterlibatan perempuan dalam arena meceki adalah keyakinan bahwa kartu ceki membuatnya bahagia, dipandang yang memberikan hiburan, akses untuk punya uang, punya banyak teman sehingga tidak terkurung pada label perempuan yang terkurung di rumah. Padahal yang tersisa adalah kelelahan mengejar kuasa, kelelahan fisik (karena duduk ber jam-jam) dan ekstesi terhadap dorongan bermain ceki dan bermain.
Mengacu pada Gruffman tentang konsep dramaturgi, perempuan yang meceki tergolong punya kemampuan berdramaturgi sebagai pemain yang hidup di dua dunia yakni dunia mimpi dengan realitas sosialnya. Panggung depan yang dikurung dengan peran gender dengan citra pengabdi berbanding terbalik dengan panggung belakang yang penuh dengan pergulatan untuk keluar sebagai pemenang dengan balut nafsu dan gairah.
Penutup
Kata banyak orang, judi tetaplah judi, kata orang pula tidak ada orang yang kaya karena hasil berjudi. Walaupun pemikiran itu menjadi arus utama, namun tidak perbah menghentikan dorongan perempuan berebut kuasa di arena ceki. Ini pertanda hasrta hadir tanpa sekat jenis kelamin. Kesadaran palsu perempuan lewat arena meceki terus diproduksi tanpa ada upaya untuk menghentikannya pada pemahaman yang mengarah pada unsur kognitif yang terkandung dalam permainan ceki.
Munculnya turnamen ceki yang digelar secara periodik di berbagai daerah di Bali semakin mempertontonkan suatu potret bahwa ruang publik hanyalah milik laki-laki. Dunia kompetisi yang bermuatan adu otak, adu akal dan adu kemampuan pada turnamen ceki menjadi politik gender yang menutup upaya perempuan bisa keluar dari kesadaran palsu yang diproduksi lewat tradisi meceki.
Daftar Pustaka
- Audifax. 2007. Semiotika Tuhan. Tafsir Atas Pembacaan Manusia Terhadap Tuhan. Yogyakarta: Penerbit Pinus.
- Anthony Giddens, Kapitalisme Dan Teori Sosial Modern suatu analisis karya tulis Marx, Durkheim dan Max Weber, penerjemah Soeheba Kramadibrata (Jakarta: UI Press, 1986
- Arwati, Ni Made. 1993. Swadharma Ibu dalam Keluarga Hindu. Denpasar : Penerbit PT Upada Sastra.
- Bourdieu, Pierre. 1986. The Form of Capital”. Dalam Handbook of Theory and Research for The Sociology of Education. New York: Green- wood Press.
- Hendrarti, I.M dan Herudjati Purwoko. 2008. Aneka Sifat Kekerasan Fisik, Simbolik, Birokratik & Struktural. Jakarta : PT Indeks.
- Lee, Martyn J., 2006, Budaya Konsumen Terlahir Kembali, Kreasi Wacana
- Supartha, Ngurah Oka. 1988. “Etos Kerja Wanita Bali”. Dalam Jiwa Atmaja (Editor). Puspanjali. Persembahan untuk Prof. Dr. Ida Bagus Mantra. Denpasar: CV Kayumas.
- Sutanto, Irzanti dan Ari Anggari Harapan. 2003. Prancis dan Kita: Strukturalisme, Sejarah, Politik, Film, dan Bahasa. Muridan. S Widjojo (Penyadur). Jakarta : Wedatama Widya Sastra.
- Kniten, Ida Pedanda Putra Pidada dan I Nyoman Ginanta. 2005. Tinjauan Tabuh Rah dan Judi. Surabaya: Penerbit Paramita.