Dulu, ketika belum ditemukan handphone, apalagi WhatsApp, Facebook dan sejenisnya, para remaja, teruna-teruni, atau ABG, menggunakan berbagai cara dan metode tradisional, termasuk menghitung hari-hari baik, misalnya berdasarkan pawukon untuk mencari jodoh dan cinta sejati.
Cara dan metode kuno semacam itu mungkin ditertawai oleh kaum milenial zaman sekarang. “Sibuk-sibuk menghitung hari baik, buka lontar, buka kalender bali, buka cakepan, kapan dapat jodohnya?”
Namun, zaman sekarang, dengan teknologi informasi serba canggih, serba cepat, yang konon bisa dengan gampang dan cepat menebar rayuan kepada lawan jenis, ternyata banyak juga belum mendapatkan jodoh dan cinta sejati? Dengan merayu lewat media sosial, bisa saja dengan mudah dapat pacar, tapi pacar yang dengan mantap bisa diajak langsung ke pelaminan sepertinya banyak yang masih susah menentukannya.
Cinta dalam ranah Sastra Bali terdapat istilah agni tresna maring tungtungin ati. Artinya, api cinta yang berada di dasar hati. Artinya lagi, bahwa cinta sejati datang dari hati yang paling dalam, yang berguna untuk saling melengkapi di antara kekosongan atau kekurangan.
Dalam isitilah Bali, tresna sering diibaratkan sebagai tunjung yang baru mekar yang dapat menampakkan dirinya seindah bunga-bunga lain sehingga elok untuk dipandang,
Karya Sastra Bali banyak memuat adanya suatu hubungan percintaan yang erat dan benar untuk diterapkan dalam mencari pasangan. Dulu, ketika orang mencari bunga hati (pacar), biasa menggunakan dauh dan dewasa ayu untuk pergi menemui bahkan mengajak sang pacar jalan-jalan.
Mencari dauh (waktu yang tepat) diberlakukan pada segala kehidupan, termasuk juga pacaran, karena setiap pejalan memerlukan waktu dan hari yang baik. Karena hari dan waktu itu bisa silih berganti dan bisa berubah-ubah sesuai dengan tempat dan keadaan.
Waktu di Bali memiliki istilah panca dauh yaitu: kerta, pati, ketara, peta, sunia. Yang mana kelimanya tersebut dapat berlaku dan berubah sesuai dengan harinya, sifatnya tentaif. Cara mencari panca dauh, menggunakan urip panca wara+sapta wara. Menghitung itu dapat kita praktekkan di rumah dan dihitung sebelum bepergian agar apa yang menjadi tujuan dan pokok utama bisa didapatkan.
Selain menghitung dauh/waktu, kita perlu adanya menghitung petemon/pertemuan karena dengan menghitung patemon/pertemuan kita jadi tahu bahwa apa yang akan kita temui dalam menjalankan suatu hubungan cinta.
Cara menghitungnya pun hampir sama dengan menghitung panca dauh yaitu panca wara+sapta wara (purusa)+ panca wara+ sapta wara (pradana) dibagi empat. Dengan mengetahui jumlah tersebut, maka kita dapat menyesuaikan agar apa yang menjadi tujuan dan visi, dapat tercapai walaupun tidak serta merta, tetapi minimal 50% dapat tercapai.
Setelah kita tahu cara tersebut ada juga orang-orang zaman dulu dalam mencari bunga hatinya yaitu dengan menggunakan surat untuk mengutarakan isi hatinya. Sebagai mana diungkapkan dalam Geguritan Sucita:
Inggih beli sang bagus, naweg titiyang matur sisip, sangkan titiang mapet surat, kadine katur ring beli, tan lyan abayadana, miwah kasadun ngawinin.
Itu diterakan saat Subudi menitipkan surat kepada Sucita seperti apa yang diutarakan atau diucapkan oleh Subudi kepada Sucita mengenai bahaya keuangan atau arta dan bertemu dalam perkawinan.
Jadi, zaman dulu menggunakan surat untuk mencari si bungan hati untuk menyampaikan isi hatinya agar tidak ada lagi rasa canggung dalam hati.
Menyikapi hal tersebut, dalam surat biasanya menggunakan majaes alegori yang artinya menggunakan kata kiasan dalam menulis surat atau dalam mengungkapkan rasa cintanya kepada seseorang. Dimana fungsi dari majes tersebut adalah menarik hati atau perhatian agar apa yang diutarakan dapat di terima dengan baik.
Begitu juga dalam karya Sastra Bali banyak menggunakan kata kiasan dalam menulis karya sastra. Misalnya dalam Gaguritan Sucita diungkapkan bahwa, Sucita akan menghaturkan angrek bulan kepada Subudi yang berbau sangat harum sama seperti bau kayu cendana.
Kata-kata itu maksudnya: untuk menarik perhatian Subudi agar mau menerima Sucita sebagai pendamping hidupnya dan menjalankan kehidupannya sehari-hari, maka Sucita memberikan bunga angrek bulan kepada Subudi.
Selain itu, ada juga pasangan menggunakan kata-kata yang sangat romantis dalam mengungkapkan isi hatinya misalnya: muan adi né merawat-rawat di hatin bli né sekadi sunaran bulan né ri kala purnama sané sida nerangin pejalan bli né. Artinya: wajah anda terbayang-bayang dalam hati seperti cahaya bulan purnama yang mampu memberikan cahaya ketika saya melakukan perjalanan.
Melihat dari kutipan tersebut bahwa pengungkapan isi hati di Bali tidak hanya menggunakan Bahasa Inggris dan Bahasa Indonesia, akan tetapi menggunakan Bahasa Bali pun bisa mengungkapkan isi hati dengan menggunakan kata-kata kiasan agar menarik seseorang untuk bisa diajak mendampingi hidup.
Namun seiring perkembangan zaman para generasi muda dalam mengutarakan isi hatinya kebanyakan menggunakan Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris. Tentu saja hal itu tidak salah. Tapi untuk mendapatkan spirit yang berbeda, sesekali mungkin perlu digunakan Bahasa Bali dalam mengungkapkan isi hati kepada lawan jenis atau pasangan. Karena dalam Bahasa Bali banyak kata-kata yang bisa mewakilkan atau yang bisa dipakai dalam mengungkapkan isi hati.
Inilah tugas terpenting bagi para generasi muda untuk melestarikan bahasa, sastra, dan aksara Bali di tengan arus perubahan zaman globalisasi. Karena bahasa, sastra, dan aksara Bali banyak menyimpan makna yang mendalam sesuai dengan kebutuhan dan keperluan dari apa yang kita inginkan.[T]
_______________
Keterangan Foto:
- HAPPY WEDDING @dewatu_canggih23& @tasihlesmana
- @deuhrendra_fotowedding
- Deuh Rendra Home Production
- Jln Gempol Gang Damarwulan no 15 Banyuning Tengah Singaraja Bali
- Fb : Deuh Rendra
- Wa : 081934365171