26 May 2025
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis
No Result
View All Result
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis
No Result
View All Result
tatkala.co
No Result
View All Result

Magnet – [Cerpen Putri Handayani]

Putri HandayanibyPutri Handayani
September 20, 2020
inCerpen
Magnet – [Cerpen Putri Handayani]

Ilustrasi: Dok Putri Handayani

Mitosnya, cinta pertama itu tidak terlupakan. Aku setuju. Ini adalah kali pertama aku jatuh cinta di usia 26 tahun. Banyak yang bilang alasanku baru membuka hati terbilang klise: Selama ini aku sibuk belajar. Tapi itu bukan dusta, aku baru saja lulus Magister Ilmu Linguistik dengan predikat pujian.

Selama ini aku fokus belajar, mana ada waktu untuk pacaran? Banyak temanku yang hamil duluan sebelum lulus dan aku tidak ingin berakhir seperti mereka. Bagiku, pacaran identik dengan hawa nafsu dan ranjang. Setelah ‘kebobolan’, masa depan akan terenggut tanpa persiapan yang matang. Jadilah setiap pagi mereka hanya sarapan cinta, beli popok dan susu anak juga pakai cinta.

Sebisa mungkin aku mempertahankan keperawananku hingga usia ini. Tapi, menjadi wanita Bali itu serba salah. Hamil duluan dibilang tidak bisa menjaga diri, belum menikah di umur 25 ke atas dibilang tidak laku. Aku bukannya tidak ingin menikah, tapi hanya belum siap saja punya anak dan berkeluarga. Sementara, orang tuaku sudah mengambil ancang-ancang untuk menjodohkanku dengan pria pilihan mereka, yang satu kasta biar gampang silaturahmi katanya. Aku mencari banyak alasan agar tidak dinikahkan paksa, salah satunya dengan melanjutkan S2.

Tak diduga-duga, setelah pendidikanku telah rampung, aku kepincut dengan seseorang. Rasa itu tumbuh tanpa malu-malu, mendobrak ruang hati kosongku yang selama ini berdebu. Semua terjadi begitu cepat. Setelah itu, segalanya jadi tidak rasional lagi bagiku. Aku seperti menjadi orang yang berbeda. Dalam tubuhku seperti ada dua naluri yang saling bersahutan. Perasaanku berkecamuk hingga bermuara pada sebuah pertanyaan tentang esensi manusia normal dan tidak normal.

Panas di cangkir kopiku menghangat setelah 30 menit dihidangkan. Aku masih terpojok di dekat jendela sebuah kedai kopi bergaya tropis sambil melipat tangan menghadap jendela. Sudut ini adalah tempat favoritku selama mengerjakan tesis dan di sudut ini juga pertama kali aku bertemu dia.

Aku masih ingat aroma tubuhnya yang segar, campuran aroma sandalwood, earthy, breeze, dan safron. Sederhananya seperti menghirup aroma pagi. Aku masih ingat rambut sebahunya yang selalu dicepol dengan karet hitam, tampak selalu rapi meski hanya disisir jari. Lengan kemeja putihnya yang dilipat tiga per empat lengkap dengan apron cokelat. Kulitnya yang putih pucat. Wajahnya yang sinis. Alisnya yang rapi dan selalu dinaikkan sebelah. Juga, tatapannya yang tajam dan dingin: Dia sangat menawan dan maskulin.

Dia adalah Barista di kedai ini. Biasanya, Senin hingga Jumat aku selalu nongkrong di sini dengan laptop dan alis yang berkerut. Lalu, aku akan memesan Chocolate Ice Blend untuk mendinginkan otakdan dari balik meja barista, dia mencibirku dengan nada sinis.

“Ke kedai kopi hampir setiap hari dalam seminggu, tapi yang dipesan hanya Chocolate Ice Blend. Kenapa gak ke warung Teh Poci aja?”

Jelas aku tersindir oleh ejekannya. Aku mendekatinya, memperhatikannya dari kepala hingga dada.

“Di mana-mana Gemini itu sama ya? Kata-katanya nyelekit, bahkan ke pelanggan sendiri.”

Dia mendelik, aku yakin ia terkejut karena aku tau zodiaknya. Cepat-cepat aku menjawab.

”Salahkan tattoo lambang Gemini di belakang telingamu.”

Aku cekikikan sambil melenggang ke mejaku.

Tentu aku tidak memesan kopi karena setiap meminumnya perutku langsung melilit dan berakhir dengan bolak-balik toilet setiap lima menit sekali dan dia tidak perlu tahu. Lagipula, kalau ke kedai kopi kita tidak harus memesan kopi, kan? Aku hanya suka suasana kedai ini. Tumbuhan Monstera dan Sirih Gading mendominasi di sana-sini, menambah keteduhan suasana interiornya yang dominan bermaterial kayu berwarna natural dan dinding bata oranye. Kedai ini juga tidak menggunakan AC karena embusan angin dengan leluasa masuk dari lubang jendela dan ventilasi.

Lalu, kenapa kali ini aku malah memesan kopi? Aku bahkan memesan Double Shot Espresso yang bisa dibayangkan betapa tingginya kadar kafein di setengah cangkir kopi hitam kental yang mahal ini. Aku sengaja memesannya untuk merayakan patah hati. Aku anggap ini patah hati karena efeknya sangat melelahkan fisik dan psikisku.

Setelah memutuskan keluar kota seminggu tanpa ponsel, akhirnya aku kembali dan memutuskan untuk mampir ke kedai ini lagi. Aku ingin lihat seberapa besar perubahan yang terjadi. Apakah dia merasa kehilangan atau justru sebaliknya? Aku masih memandang kosong ke arah jendela kedai itu.

“Begini ya caramu agar mendapat perhatian orang?”

Suara itu datang sekonyong-konyong dari balik punggungku disertai aroma segar pagi yang sangat kukenal. Kopi yang sudah berubah dingin di hadapanku langsung disambar dan dibuang ke wastafel. Aku terkesiap dan gelagapan tapi hanya bisa terbengong menatap punggungnya yang makin menjauh. Perasaanku campur aduk antara rindu, senang, gengsi, dan satu rasa lainnya yang selalu kelu kuungkapkan.

Tak lama kemudian, dia kembali dengan segelas Chocolate Ice Blend. Kini ia duduk di depanku dan bibirku masih terkunci. Ada keheningan mengambang beberapa menit sebelum ia mengawali pembicaraan.

“Ingat makan ya! Anda terlihat kurus.”

Kali ini, aku tidak tahu kepribadian mana yang sedang dipakainya.

“Kamu gak kangen aku?” aku tidak tahan lagi menanyakan ini.

“Kangen. Beberapa hari ini kamu menghilang tanpa kabar, dan tiba-tiba saja kamu muncul di tempat kerjaku dan ingin menenggak Espresso sendirian padahal kamu tau kopi tidak baik untuk perutmu. Udah gila kamu, ya?”

“Kalau kangen kenapa tidak dihubungi?” tembakku sambil menyesap minuman pemberiannya.

“Untuk apa? Menghilang artinya sudah tidak butuh. Tidak butuh artinya selesai, kan?”

Dia selalu bisa membuat aku kikuk dengan jawaban-jawaban sadisnya. Kalau sudah debat begini, sulit bagiku untuk menang.

“Lebih baik kamu pulang. Biarkan aku bekerja dengan tenang. Lanjutkan hidupmu dan anggap kita tidak pernah kenal. Benar katamu, kita adalah magnet dengan kutub yang sama dan kutub yang sama tidak akan bisa menyatu.” Tandasnya datar.

Ia bangkit dari duduknya pelan, menghasilkan bunyi gesekan dari kursi kayu dengan lantai yang ngilunya terasa sampai hatiku.

Ada banyak hal remeh yang membuat kami tertawa, tapi ketika hal itu merujuk pada pembahasan yang lebih serius, hasilnya selalu sama: Tak bisa berkomitmen. Masalahnya, aku tidak semudah itu untuk menetapkan komitmen dengannya. Hubungan ini tidak wajar, setidaknya bagi orang-orang di sekelilingku, bagi keluargaku, bagi negara ini, terlebih bagiku yang belum sepenuhnya menerima ‘perubahan’ ini. Ada rasa geli sekaligus tabu yang tidak bisa sembarangan kuceritakan pada siapa pun. Celakanya, memendam sendiri juga membuatku hampir gila.

Sementara, dia sangat berani dan bebas dengan prinsipnya. Ia bahkan tidak takut untuk tidak berteman dengan siapa-siapa karena menurutnya pertemanan itu penuh kepalsuan. Pernah suatu ketika kami bertengkar untuk kesekian kalinya dan aku bilang tidak ingin berpisah dengannya. Dengan enteng ia berkata, “semua orang sama saja, pada takut dimusuhi.”

Justru, aku tertarik dengan kemisteriusan dan cueknya. Lidahnya jarang memuji atau terlalu sering membuat ego orang lain terlukai. Aku tidak bisa melepaskan pandanganku darinya, tepatnya tidak mau. Tidak ada yang bisa membuatku nyaman seperti dia. Tidak ada yang bisa membuat jokes sereceh dia. Tidak ada yang memikirkan hal seunik dan seidiot dia.

Suatu saat ketika mulai akrab, dia mengajakku ke pantai di bilangan Jimbaran.

“Kita mau ke pantai yang mana?”

“Ke pantai favoritku.”

Aku mengencangkan pegangangan tanganku yang melingkar di perutnya. Dalam perjalanan dia selalu melirikku dari sepion motor. Aku pura-pura tidak sadar kemudian sengaja kutumbukkan pandanganku ke sepion. Dia kaget dan memalingkan pandangan. Aku tertawa geli. Berhenti di traffic light adalah kesukaanku. Lututuku akan dielus perlahan dan itu nyaman sekali.

Kami duduk di sebuah tonjolan tebing yang di bawahnya terdapat karang tajam serta deburan ombak. Aku terpukau dengan apa yang disaksikan mataku. Patung Garuda Wisnu Kencana terlihat sangat kecil di ujung sana. Tapi, aku agak kesulitan, angin kencang dan lembab membuat rambutku lepek dan semrawut.

“Aku selalu ke sini kalau sedang suntuk.” Celetuknya sambil menyodorkan karet rambut padaku.

“Berarti sekarang lagi suntuk, dong?”

“Nggak juga.”

Dia tertawa sambil mengacak-acak rambutku yang sudah rapi terikat.

“Sebentar lagi!” Tiba-tiba ia berseru.

“Apanya yang sebentar lagi?”

“Tunggu aja.”

Waktu itu sudah hampir menunjukkan pukup 6.30 petang. Aku diajak berdiri dan melihat ke belakang. Dia menghitung mundur, “tiga, dua, satu!”

Mataku terbelalak berbinar-binar. Dua puluh enam tahun hidup di Bali, belum pernah aku ke Pantai Balangan dan melihat pemandangan semegah itu. Aku hanya bisa berdecak sambil tidak henti-hentinya berseru.

“Wiiiihhhhh…! Kok bisa tepat?”

“Keren kan? Ini yang biasanya aku tunggu-tunggu. Aku udah hafal jam berapa mereka akan menyalakannya.”

Mau tahu apa yang aku lihat? Lampu-lampu di pelabuhan dan kota! Banyak sekali, seperti bintang-bintang kecil yang berderet-deret. Romantis sekali. Aku rasa dia dan aku punya kesamaan untuk hal ini: kebahagiaan kami sederhana.

Bibir kami bertemu perlahan. Utung saat itu tidak ada orang yang melihat, hanya disaksikan deburan ombak yang menghantam tebing dan kemilau lampu kota. Napasku tertahan tiga detik sebelum aku bisa menikmatinya dengan lepas. Oh bibir itu, lembut dan dingin. Lidah kami bertaut dengan agresif. Begini nikmatkah berciuman? Rasanya seperti dosa yang manis. Bayangkan saat kau makan dua bungkus Indomie sekaligus. Kau tahu itu berbahaya, tapi tetap dinikmati. Begitulah ciuman pertamaku dengan dia.

Kami pulang lewat jalan tol Bali Mandara. Motor melaju menembus angin laut yang lumayan kencang. Bertemakan lampu-lampu kota, alunan musik Sunset Lover milik Petit Biscuit yang diputar berulang-ulang di ponsel, dan hutan mangrove yang hanya terlihat siluetnya, dia meraih tanganku dengan tangan kirinya. Meletakkannya tepat di perut yang tidak terlalu rata itu.

“Kamu mau gak jadi pacarku?”

Aku kaget setengah mati. Suaranya bisa kudengar jelas meski tertutup kaca helm.

“Mau gak? Setidaknya sepanjang jalan tol ini.”

Jujur, aku tidak bisa menolak karena suasana ini sangat mendukung, sekaligus pikiranku sudah jauh memikirkan risiko. Aku jawab ‘mau’ meski tidak bisa kupungkiri rasa janggal di dadaku. Tapi, aku ingin menikmatinya menjadi seseorang yang baru meski hanya sepanjang jalan tol.

“Jadi, kita pacaran, nih?”

Aku mengangguk kecil sambil melongokkan kepala di bahu kirinya.

“Ngomong-ngomong, kamu tau gak zodiakku apa?” tiba-tiba aku melayangkan kuis dadakan.

“Aku tebak, kamu adalah Cancer. Bener, gak?”

“Ih, tau dari mana?”

“Dari drama dan cara menghilangmu.”

Tawa kami pecah. Jalan tol sebentar lagi akan habis, padahal aku masih ingin lebih lama.

“Yah, bentar lagi kita akan keluar jalan tol. Apa kita putar balik lagi, ya? Haha. Tapi, sebelum jalannya habis, boleh aku minta sesuatu?”

“Apa?” tanyaku.

“Nikah sama aku ya?”

. . .

Pertanyaan itu tidak terjawab hingga hari ini atau lebih tepatnya kami tahu itu tidak memerlukan jawaban.

Setelah insiden beberapa hari lalu di kedai kopi, pikiranku jadi semakin kacau. Tidurku tidak nyenyak lagi. Sekalinya tidur nyenyak, aku malah memimpikan saat-saat bersama dia. Aku semakin sering menangis sendiri tanpa bisa bercerita lugas pada siapa pun. Ibuku mulai menasihatiku untuk mengurangi menonton drama Korea yang sedih-sedih agar mataku tidak sembab terus setiap pagi.

Ada rasa yang kontras ketika aku dan dia baik-baik saja dengan ketika kami lost contact seperti sekarang. Dulu ketika baik-baik saja, aku selalu ingin bertemu dengannya, menghirup aroma tubuhnya, atau sekadar mencari alasan agar aku bisa berbincang ngalor ngidul dengannya di Whatsapp. Tapi kini sungguh berbeda, ketika ada hal-hal kecil yang mengingatkan tentangnya atau kebiasaan kami, perutku langsung bereaksi. Seketika aku tidak nafsu makan dan mual. Aku tidak habis pikir, stres bisa berakibat pada asam lambung yang meningkat. Berat badanku turun lima kilo dan ini jadi perhatian serius bagi orang tuaku.

“Pak, kasihan ya, Ranu. Kerjaannya nangis terus habis nonton Korea-koreaan, gak nafsu makan sampai kurus gitu. Sebaiknya perjodohannya dipercepat saja ya sama Si Hara.” Bisik ibuku pada bapak.

Hara pria yang baik. Dia sopan, bertanggung jawab, dan tidak pernah memaksaku main di ranjang sebelum resmi menikah. Tipikal orang yang bisa kuatur. Perlahan aku coba membuka hati kembali dan menerima cinta yang baru. Namun, ingatan tentang Si Gemini belum juga terhapus. Berpisah baik-baik itu menyakitkan, apalagi memaksakan diri untuk melupakan, padahal sekarang aku sudah diterima kerja di sebuah lembaga negeri di Denpasar, lumayan ada kesibukan baru.

Hubunganku dan Hara sudah menginjak setahun. Kami berniat merayakannya dengan makan malam saja dan aku diminta untuk memilih tempatnya. Pikiranku langsung tertuju pada kedai kopi itu, menu di sana juga enak-enak dan match dengan lidahku yang picky. Lagipula, apa kabar ya dia sekarang? Lama tidak dengar kabarnya. Sekalian mengetes mental, siapa tahu aku sudah ‘sembuh’ dan kuat berhadapan lagi dengannya.

Dari sebuah meja – yang bukan meja favoritku – aku melihatnya lagi. Sehat, berisi, dan, semakin cantik. Dia sedang sibuk meracik kopi untuk pelanggan lainnya. Tubuhku bergetar hebat, kukira aku sudah cukup kuat menghadapi badai masa lalu.

“Sayang, kamu kenapa? Kedinginan?” tanya Hara panik.

“Nggak apa kok, Sayang.” Jawabku agak terbata.

“Nggak papa gimana? Kalau kurang sehat, kita pulang aja, yuk. Ngerayain annive-nya bisa belakangan.”

Ajakan Hara ada benarnya. Perutku sudah mulai mual lagi. Jika dipaksakan makan sambil melihat dia, bisa-bisa aku muntah di atas piring dan hari spesial ini jadi memalukan. Sebelum dia melihatku aku harus segera berkemas dan pergi.

Tiing!

Sebuah bel ditekan oleh penghuni meja sebelah. Tampaknya ia sedang memanggil pramusaji atau siapalah itu. Suasana kedai saat itu memang sedang ramai dan hanya ada sedikit pelayan di sana. Aku masih memakai jaket yang resletingnya mendadak macet. Aku kesal sekali sambil menarik-narik resleting. Hara yang terdistraksi dengan tingkahku mencoba membantu.

Tiga menitku tersita sia-sia gara-gara resleting sialan itu. Baiklah, sekarang aku siap pulang, Hara menunggu di parkiran. Tapi, momen setelah itu seharusnya tidak pernah kusaksikan. Si Gemini, dia sedang asyik bermanja-manja dengan pelayan wanita lainnya. Mesra sekali. Jiwaku seperti melorot jatuh dan terburai. Seketika mataku berkunang-kunang. Tanganku mencengkram meja dengan kuat sebelum akhirnya melangkah pergi dengan sekuat tenaga. Aku tidak peduli mereka melihatku atau tidak.

Yang jelas, sakit sekali, melihat kutub magnet yang sama bisa menyatu seperti itu.

Previous Post

Serunya Galungan Kita Dulu

Next Post

Google Doodle Mengenang Benyamin Sueb

Putri Handayani

Putri Handayani

Bernama lengkap Desak Ketut Putri Handayani. Lahir di Klungkung. Adalah penulis pemula yang punya niat besar untuk terus berkembang

Next Post
Google Doodle Mengenang Benyamin Sueb

Google Doodle Mengenang Benyamin Sueb

Please login to join discussion

ADVERTISEMENT

POPULER

  • Refleksi Semangat Juang Bung Tomo dan Kepemimpinan Masa Kini

    Apakah Menulis Masih Relevan di Era Kecerdasan Buatan?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Tulak Tunggul Kembali ke Jantung Imajinasi

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • “Muruk” dan “Nutur”, Belajar dan Diskusi ala Anak Muda Desa Munduk-Buleleng

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Hari Lahir dan Pantangan Makanannya dalam Lontar Pawetuan Jadma Ala Ayu

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Sang Hyang Eta-Eto: Memahami Kalender Hindu Bali & Baik-Buruk Hari dengan Rumusan ‘Lanus’

    23 shares
    Share 23 Tweet 0

KRITIK & OPINI

  • All
  • Kritik & Opini
  • Esai
  • Opini
  • Ulas Buku
  • Ulas Film
  • Ulas Rupa
  • Ulas Pentas
  • Kritik Sastra
  • Kritik Seni
  • Bahasa
  • Ulas Musik

Abstrak Ekspresionisme dan Psikologi Seni

by Hartanto
May 25, 2025
0
Abstrak Ekspresionisme dan Psikologi Seni

"Seniman adalah wadah untuk emosi yang datang dari seluruh tempat: dari langit, dari bumi, dari secarik kertas, dari bentuk yang...

Read more

AI dan Seni, Karya Dialogis yang Sarat Ancaman?

by Petrus Imam Prawoto Jati
May 25, 2025
0
Refleksi Semangat Juang Bung Tomo dan Kepemimpinan Masa Kini

“Seni bukanlah cermin bagi kenyataan, tapi palu untuk membentuknya.” -- Bertolt Brecht PARA pembaca yang budiman, kemarin anak saya, yang...

Read more

Catatan Ringkas dari Seminar Lontar Asta Kosala Kosali Koleksi Museum Bali

by Gede Maha Putra
May 24, 2025
0
Catatan Ringkas dari Seminar Lontar Asta Kosala Kosali Koleksi Museum Bali

MUSEUM Bali menyimpan lebih dari 200 lontar yang merupakan bagian dari koleksinya. Tanggal 22 Mei 2025, diadakan seminar membahas konten,...

Read more
Selengkapnya

BERITA

  • All
  • Berita
  • Ekonomi
  • Pariwisata
  • Pemerintahan
  • Budaya
  • Hiburan
  • Politik
  • Hukum
  • Kesehatan
  • Olahraga
  • Pendidikan
  • Pertanian
  • Lingkungan
  • Liputan Khusus
911—Nomor Cantik, Semoga Nomor Keberuntungan Buleleng di Porprov Bali 2025

911—Nomor Cantik, Semoga Nomor Keberuntungan Buleleng di Porprov Bali 2025

May 21, 2025
Inilah Daftar Panjang Kusala Sastra Khatulistiwa 2025

Inilah Daftar Panjang Kusala Sastra Khatulistiwa 2025

May 17, 2025
Meningkat, Antusiasme Warga Muslim Bali Membuka Tabungan Haji di BSI Kantor Cabang Buleleng

Meningkat, Antusiasme Warga Muslim Bali Membuka Tabungan Haji di BSI Kantor Cabang Buleleng

May 16, 2025
Anniversary Puri Gangga Resort ke-11, Pertahankan Konsep Tri Hita Karana

Anniversary Puri Gangga Resort ke-11, Pertahankan Konsep Tri Hita Karana

May 13, 2025
“Bali Stroke Care”: Golden Period, Membangun Sistem di Tengah Detik yang Maut

“Bali Stroke Care”: Golden Period, Membangun Sistem di Tengah Detik yang Maut

May 8, 2025
Selengkapnya

FEATURE

  • All
  • Feature
  • Khas
  • Tualang
  • Persona
  • Historia
  • Milenial
  • Kuliner
  • Pop
  • Gaya
  • Pameran
  • Panggung
Kala Bukit Kini Berbuku, Inisiatif Literasi di Jimbaran
Khas

Kala Bukit Kini Berbuku, Inisiatif Literasi di Jimbaran

JIMBARAN, Bali, 23 Mei 2025,  sejak pagi dilanda mendung dan angin. Kadang dinding air turun sebentar-sebentar, menjelma gerimis dan kabut...

by Hamzah
May 24, 2025
“ASMARALOKA”, Album Launch Showcase Arkana di Berutz Bar and Resto, Singaraja
Panggung

“ASMARALOKA”, Album Launch Showcase Arkana di Berutz Bar and Resto, Singaraja

SIANG, Jumat, 23 Mei 2025, di Berutz Bar and Resto, Singaraja. Ada suara drum sedang dicoba untuk pentas pada malam...

by Sonhaji Abdullah
May 23, 2025
Pesta Kesenian Bali 2025 Memberi Tempat Bagi Seni Budaya Desa-desa Kuno
Panggung

Pesta Kesenian Bali 2025 Memberi Tempat Bagi Seni Budaya Desa-desa Kuno

JIKA saja dicermati secara detail, Pesta Kesenian Bali (PKB) bukan hanya festival seni yang sama setiap tahunnya. Pesta seni ini...

by Nyoman Budarsana
May 22, 2025
Selengkapnya

FIKSI

  • All
  • Fiksi
  • Cerpen
  • Puisi
  • Dongeng
Menunggu Istri | Cerpen IBW Widiasa Keniten

Menunggu Istri | Cerpen IBW Widiasa Keniten

May 25, 2025
Kampusku Sarang Hantu [1]: Ruang Kuliah 13 yang Mencekam

Kampusku Sarang Hantu [16]: Genderuwo di Pohon Besar Kampus

May 22, 2025
Puisi-puisi Sonhaji Abdullah | Adiós

Puisi-puisi Sonhaji Abdullah | Adiós

May 17, 2025
Kampusku Sarang Hantu [1]: Ruang Kuliah 13 yang Mencekam

Kampusku Sarang Hantu [15]: Memeluk Mayat di Kamar Jenazah

May 15, 2025
Puisi-puisi Hidayatul Ulum | Selasar Sebelum Selasa

Puisi-puisi Hidayatul Ulum | Selasar Sebelum Selasa

May 11, 2025
Selengkapnya

LIPUTAN KHUSUS

  • All
  • Liputan Khusus
Kontak Sosial Singaraja-Lombok: Dari Perdagangan, Perkawinan hingga Pendidikan
Liputan Khusus

Kontak Sosial Singaraja-Lombok: Dari Perdagangan, Perkawinan hingga Pendidikan

SEBAGAIMANA Banyuwangi di Pulau Jawa, secara geografis, letak Pulau Lombok juga cukup dekat dengan Pulau Bali, sehingga memungkinkan penduduk kedua...

by Jaswanto
February 28, 2025
Kisah Pilu Sekaa Gong Wanita Baturiti-Kerambitan: Jawara Tabanan Tapi Jatah PKB Digugurkan
Liputan Khusus

Kisah Pilu Sekaa Gong Wanita Baturiti-Kerambitan: Jawara Tabanan Tapi Jatah PKB Digugurkan

SUNGGUH kasihan. Sekelompok remaja putri dari Desa Baturiti, Kecamatan Kerambitan, Tabanan—yang tergabung dalam  Sekaa Gong Kebyar Wanita Tri Yowana Sandhi—harus...

by Made Adnyana Ole
February 13, 2025
Relasi Buleleng-Banyuwangi: Tak Putus-putus, Dulu, Kini, dan Nanti
Liputan Khusus

Relasi Buleleng-Banyuwangi: Tak Putus-putus, Dulu, Kini, dan Nanti

BULELENG-BANYUWANGI, sebagaimana umum diketahui, memiliki hubungan yang dekat-erat meski sepertinya lebih banyak terjadi secara alami, begitu saja, dinamis, tak tertulis,...

by Jaswanto
February 10, 2025
Selengkapnya

ENGLISH COLUMN

  • All
  • Essay
  • Fiction
  • Poetry
  • Features
Poems by Dian Purnama Dewi | On The Day When I Was Born

Poems by Dian Purnama Dewi | On The Day When I Was Born

March 8, 2025
Poem by Kadek Sonia Piscayanti | A Cursed Poet

Poem by Kadek Sonia Piscayanti | A Cursed Poet

November 30, 2024
The Singaraja Literary Festival wakes Bali up with a roar

The Singaraja Literary Festival wakes Bali up with a roar

September 10, 2024
The Strength of Women – Inspiring Encounters in Indonesia

The Strength of Women – Inspiring Encounters in Indonesia

July 21, 2024
Bali, the Island of the Gods

Bali, the Island of the Gods

May 19, 2024

TATKALA.CO adalah media umum yang dengan segala upaya memberi perhatian lebih besar kepada seni, budaya, dan kreativitas manusia dalam mengelola kehidupan di tengah-tengah alam yang begitu raya

  • Penulis
  • Tentang & Redaksi
  • Kirim Naskah
  • Pedoman Media Siber
  • Kebijakan Privasi
  • Desclaimer

Copyright © 2016-2024, tatkala.co

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In
No Result
View All Result
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis

Copyright © 2016-2024, tatkala.co