Mitosnya, cinta pertama itu tidak terlupakan. Aku setuju. Ini adalah kali pertama aku jatuh cinta di usia 26 tahun. Banyak yang bilang alasanku baru membuka hati terbilang klise: Selama ini aku sibuk belajar. Tapi itu bukan dusta, aku baru saja lulus Magister Ilmu Linguistik dengan predikat pujian.
Selama ini aku fokus belajar, mana ada waktu untuk pacaran? Banyak temanku yang hamil duluan sebelum lulus dan aku tidak ingin berakhir seperti mereka. Bagiku, pacaran identik dengan hawa nafsu dan ranjang. Setelah ‘kebobolan’, masa depan akan terenggut tanpa persiapan yang matang. Jadilah setiap pagi mereka hanya sarapan cinta, beli popok dan susu anak juga pakai cinta.
Sebisa mungkin aku mempertahankan keperawananku hingga usia ini. Tapi, menjadi wanita Bali itu serba salah. Hamil duluan dibilang tidak bisa menjaga diri, belum menikah di umur 25 ke atas dibilang tidak laku. Aku bukannya tidak ingin menikah, tapi hanya belum siap saja punya anak dan berkeluarga. Sementara, orang tuaku sudah mengambil ancang-ancang untuk menjodohkanku dengan pria pilihan mereka, yang satu kasta biar gampang silaturahmi katanya. Aku mencari banyak alasan agar tidak dinikahkan paksa, salah satunya dengan melanjutkan S2.
Tak diduga-duga, setelah pendidikanku telah rampung, aku kepincut dengan seseorang. Rasa itu tumbuh tanpa malu-malu, mendobrak ruang hati kosongku yang selama ini berdebu. Semua terjadi begitu cepat. Setelah itu, segalanya jadi tidak rasional lagi bagiku. Aku seperti menjadi orang yang berbeda. Dalam tubuhku seperti ada dua naluri yang saling bersahutan. Perasaanku berkecamuk hingga bermuara pada sebuah pertanyaan tentang esensi manusia normal dan tidak normal.
Panas di cangkir kopiku menghangat setelah 30 menit dihidangkan. Aku masih terpojok di dekat jendela sebuah kedai kopi bergaya tropis sambil melipat tangan menghadap jendela. Sudut ini adalah tempat favoritku selama mengerjakan tesis dan di sudut ini juga pertama kali aku bertemu dia.
Aku masih ingat aroma tubuhnya yang segar, campuran aroma sandalwood, earthy, breeze, dan safron. Sederhananya seperti menghirup aroma pagi. Aku masih ingat rambut sebahunya yang selalu dicepol dengan karet hitam, tampak selalu rapi meski hanya disisir jari. Lengan kemeja putihnya yang dilipat tiga per empat lengkap dengan apron cokelat. Kulitnya yang putih pucat. Wajahnya yang sinis. Alisnya yang rapi dan selalu dinaikkan sebelah. Juga, tatapannya yang tajam dan dingin: Dia sangat menawan dan maskulin.
Dia adalah Barista di kedai ini. Biasanya, Senin hingga Jumat aku selalu nongkrong di sini dengan laptop dan alis yang berkerut. Lalu, aku akan memesan Chocolate Ice Blend untuk mendinginkan otakdan dari balik meja barista, dia mencibirku dengan nada sinis.
“Ke kedai kopi hampir setiap hari dalam seminggu, tapi yang dipesan hanya Chocolate Ice Blend. Kenapa gak ke warung Teh Poci aja?”
Jelas aku tersindir oleh ejekannya. Aku mendekatinya, memperhatikannya dari kepala hingga dada.
“Di mana-mana Gemini itu sama ya? Kata-katanya nyelekit, bahkan ke pelanggan sendiri.”
Dia mendelik, aku yakin ia terkejut karena aku tau zodiaknya. Cepat-cepat aku menjawab.
”Salahkan tattoo lambang Gemini di belakang telingamu.”
Aku cekikikan sambil melenggang ke mejaku.
Tentu aku tidak memesan kopi karena setiap meminumnya perutku langsung melilit dan berakhir dengan bolak-balik toilet setiap lima menit sekali dan dia tidak perlu tahu. Lagipula, kalau ke kedai kopi kita tidak harus memesan kopi, kan? Aku hanya suka suasana kedai ini. Tumbuhan Monstera dan Sirih Gading mendominasi di sana-sini, menambah keteduhan suasana interiornya yang dominan bermaterial kayu berwarna natural dan dinding bata oranye. Kedai ini juga tidak menggunakan AC karena embusan angin dengan leluasa masuk dari lubang jendela dan ventilasi.
Lalu, kenapa kali ini aku malah memesan kopi? Aku bahkan memesan Double Shot Espresso yang bisa dibayangkan betapa tingginya kadar kafein di setengah cangkir kopi hitam kental yang mahal ini. Aku sengaja memesannya untuk merayakan patah hati. Aku anggap ini patah hati karena efeknya sangat melelahkan fisik dan psikisku.
Setelah memutuskan keluar kota seminggu tanpa ponsel, akhirnya aku kembali dan memutuskan untuk mampir ke kedai ini lagi. Aku ingin lihat seberapa besar perubahan yang terjadi. Apakah dia merasa kehilangan atau justru sebaliknya? Aku masih memandang kosong ke arah jendela kedai itu.
“Begini ya caramu agar mendapat perhatian orang?”
Suara itu datang sekonyong-konyong dari balik punggungku disertai aroma segar pagi yang sangat kukenal. Kopi yang sudah berubah dingin di hadapanku langsung disambar dan dibuang ke wastafel. Aku terkesiap dan gelagapan tapi hanya bisa terbengong menatap punggungnya yang makin menjauh. Perasaanku campur aduk antara rindu, senang, gengsi, dan satu rasa lainnya yang selalu kelu kuungkapkan.
Tak lama kemudian, dia kembali dengan segelas Chocolate Ice Blend. Kini ia duduk di depanku dan bibirku masih terkunci. Ada keheningan mengambang beberapa menit sebelum ia mengawali pembicaraan.
“Ingat makan ya! Anda terlihat kurus.”
Kali ini, aku tidak tahu kepribadian mana yang sedang dipakainya.
“Kamu gak kangen aku?” aku tidak tahan lagi menanyakan ini.
“Kangen. Beberapa hari ini kamu menghilang tanpa kabar, dan tiba-tiba saja kamu muncul di tempat kerjaku dan ingin menenggak Espresso sendirian padahal kamu tau kopi tidak baik untuk perutmu. Udah gila kamu, ya?”
“Kalau kangen kenapa tidak dihubungi?” tembakku sambil menyesap minuman pemberiannya.
“Untuk apa? Menghilang artinya sudah tidak butuh. Tidak butuh artinya selesai, kan?”
Dia selalu bisa membuat aku kikuk dengan jawaban-jawaban sadisnya. Kalau sudah debat begini, sulit bagiku untuk menang.
“Lebih baik kamu pulang. Biarkan aku bekerja dengan tenang. Lanjutkan hidupmu dan anggap kita tidak pernah kenal. Benar katamu, kita adalah magnet dengan kutub yang sama dan kutub yang sama tidak akan bisa menyatu.” Tandasnya datar.
Ia bangkit dari duduknya pelan, menghasilkan bunyi gesekan dari kursi kayu dengan lantai yang ngilunya terasa sampai hatiku.
Ada banyak hal remeh yang membuat kami tertawa, tapi ketika hal itu merujuk pada pembahasan yang lebih serius, hasilnya selalu sama: Tak bisa berkomitmen. Masalahnya, aku tidak semudah itu untuk menetapkan komitmen dengannya. Hubungan ini tidak wajar, setidaknya bagi orang-orang di sekelilingku, bagi keluargaku, bagi negara ini, terlebih bagiku yang belum sepenuhnya menerima ‘perubahan’ ini. Ada rasa geli sekaligus tabu yang tidak bisa sembarangan kuceritakan pada siapa pun. Celakanya, memendam sendiri juga membuatku hampir gila.
Sementara, dia sangat berani dan bebas dengan prinsipnya. Ia bahkan tidak takut untuk tidak berteman dengan siapa-siapa karena menurutnya pertemanan itu penuh kepalsuan. Pernah suatu ketika kami bertengkar untuk kesekian kalinya dan aku bilang tidak ingin berpisah dengannya. Dengan enteng ia berkata, “semua orang sama saja, pada takut dimusuhi.”
Justru, aku tertarik dengan kemisteriusan dan cueknya. Lidahnya jarang memuji atau terlalu sering membuat ego orang lain terlukai. Aku tidak bisa melepaskan pandanganku darinya, tepatnya tidak mau. Tidak ada yang bisa membuatku nyaman seperti dia. Tidak ada yang bisa membuat jokes sereceh dia. Tidak ada yang memikirkan hal seunik dan seidiot dia.
Suatu saat ketika mulai akrab, dia mengajakku ke pantai di bilangan Jimbaran.
“Kita mau ke pantai yang mana?”
“Ke pantai favoritku.”
Aku mengencangkan pegangangan tanganku yang melingkar di perutnya. Dalam perjalanan dia selalu melirikku dari sepion motor. Aku pura-pura tidak sadar kemudian sengaja kutumbukkan pandanganku ke sepion. Dia kaget dan memalingkan pandangan. Aku tertawa geli. Berhenti di traffic light adalah kesukaanku. Lututuku akan dielus perlahan dan itu nyaman sekali.
Kami duduk di sebuah tonjolan tebing yang di bawahnya terdapat karang tajam serta deburan ombak. Aku terpukau dengan apa yang disaksikan mataku. Patung Garuda Wisnu Kencana terlihat sangat kecil di ujung sana. Tapi, aku agak kesulitan, angin kencang dan lembab membuat rambutku lepek dan semrawut.
“Aku selalu ke sini kalau sedang suntuk.” Celetuknya sambil menyodorkan karet rambut padaku.
“Berarti sekarang lagi suntuk, dong?”
“Nggak juga.”
Dia tertawa sambil mengacak-acak rambutku yang sudah rapi terikat.
“Sebentar lagi!” Tiba-tiba ia berseru.
“Apanya yang sebentar lagi?”
“Tunggu aja.”
Waktu itu sudah hampir menunjukkan pukup 6.30 petang. Aku diajak berdiri dan melihat ke belakang. Dia menghitung mundur, “tiga, dua, satu!”
Mataku terbelalak berbinar-binar. Dua puluh enam tahun hidup di Bali, belum pernah aku ke Pantai Balangan dan melihat pemandangan semegah itu. Aku hanya bisa berdecak sambil tidak henti-hentinya berseru.
“Wiiiihhhhh…! Kok bisa tepat?”
“Keren kan? Ini yang biasanya aku tunggu-tunggu. Aku udah hafal jam berapa mereka akan menyalakannya.”
Mau tahu apa yang aku lihat? Lampu-lampu di pelabuhan dan kota! Banyak sekali, seperti bintang-bintang kecil yang berderet-deret. Romantis sekali. Aku rasa dia dan aku punya kesamaan untuk hal ini: kebahagiaan kami sederhana.
Bibir kami bertemu perlahan. Utung saat itu tidak ada orang yang melihat, hanya disaksikan deburan ombak yang menghantam tebing dan kemilau lampu kota. Napasku tertahan tiga detik sebelum aku bisa menikmatinya dengan lepas. Oh bibir itu, lembut dan dingin. Lidah kami bertaut dengan agresif. Begini nikmatkah berciuman? Rasanya seperti dosa yang manis. Bayangkan saat kau makan dua bungkus Indomie sekaligus. Kau tahu itu berbahaya, tapi tetap dinikmati. Begitulah ciuman pertamaku dengan dia.
Kami pulang lewat jalan tol Bali Mandara. Motor melaju menembus angin laut yang lumayan kencang. Bertemakan lampu-lampu kota, alunan musik Sunset Lover milik Petit Biscuit yang diputar berulang-ulang di ponsel, dan hutan mangrove yang hanya terlihat siluetnya, dia meraih tanganku dengan tangan kirinya. Meletakkannya tepat di perut yang tidak terlalu rata itu.
“Kamu mau gak jadi pacarku?”
Aku kaget setengah mati. Suaranya bisa kudengar jelas meski tertutup kaca helm.
“Mau gak? Setidaknya sepanjang jalan tol ini.”
Jujur, aku tidak bisa menolak karena suasana ini sangat mendukung, sekaligus pikiranku sudah jauh memikirkan risiko. Aku jawab ‘mau’ meski tidak bisa kupungkiri rasa janggal di dadaku. Tapi, aku ingin menikmatinya menjadi seseorang yang baru meski hanya sepanjang jalan tol.
“Jadi, kita pacaran, nih?”
Aku mengangguk kecil sambil melongokkan kepala di bahu kirinya.
“Ngomong-ngomong, kamu tau gak zodiakku apa?” tiba-tiba aku melayangkan kuis dadakan.
“Aku tebak, kamu adalah Cancer. Bener, gak?”
“Ih, tau dari mana?”
“Dari drama dan cara menghilangmu.”
Tawa kami pecah. Jalan tol sebentar lagi akan habis, padahal aku masih ingin lebih lama.
“Yah, bentar lagi kita akan keluar jalan tol. Apa kita putar balik lagi, ya? Haha. Tapi, sebelum jalannya habis, boleh aku minta sesuatu?”
“Apa?” tanyaku.
“Nikah sama aku ya?”
. . .
Pertanyaan itu tidak terjawab hingga hari ini atau lebih tepatnya kami tahu itu tidak memerlukan jawaban.
Setelah insiden beberapa hari lalu di kedai kopi, pikiranku jadi semakin kacau. Tidurku tidak nyenyak lagi. Sekalinya tidur nyenyak, aku malah memimpikan saat-saat bersama dia. Aku semakin sering menangis sendiri tanpa bisa bercerita lugas pada siapa pun. Ibuku mulai menasihatiku untuk mengurangi menonton drama Korea yang sedih-sedih agar mataku tidak sembab terus setiap pagi.
Ada rasa yang kontras ketika aku dan dia baik-baik saja dengan ketika kami lost contact seperti sekarang. Dulu ketika baik-baik saja, aku selalu ingin bertemu dengannya, menghirup aroma tubuhnya, atau sekadar mencari alasan agar aku bisa berbincang ngalor ngidul dengannya di Whatsapp. Tapi kini sungguh berbeda, ketika ada hal-hal kecil yang mengingatkan tentangnya atau kebiasaan kami, perutku langsung bereaksi. Seketika aku tidak nafsu makan dan mual. Aku tidak habis pikir, stres bisa berakibat pada asam lambung yang meningkat. Berat badanku turun lima kilo dan ini jadi perhatian serius bagi orang tuaku.
“Pak, kasihan ya, Ranu. Kerjaannya nangis terus habis nonton Korea-koreaan, gak nafsu makan sampai kurus gitu. Sebaiknya perjodohannya dipercepat saja ya sama Si Hara.” Bisik ibuku pada bapak.
Hara pria yang baik. Dia sopan, bertanggung jawab, dan tidak pernah memaksaku main di ranjang sebelum resmi menikah. Tipikal orang yang bisa kuatur. Perlahan aku coba membuka hati kembali dan menerima cinta yang baru. Namun, ingatan tentang Si Gemini belum juga terhapus. Berpisah baik-baik itu menyakitkan, apalagi memaksakan diri untuk melupakan, padahal sekarang aku sudah diterima kerja di sebuah lembaga negeri di Denpasar, lumayan ada kesibukan baru.
Hubunganku dan Hara sudah menginjak setahun. Kami berniat merayakannya dengan makan malam saja dan aku diminta untuk memilih tempatnya. Pikiranku langsung tertuju pada kedai kopi itu, menu di sana juga enak-enak dan match dengan lidahku yang picky. Lagipula, apa kabar ya dia sekarang? Lama tidak dengar kabarnya. Sekalian mengetes mental, siapa tahu aku sudah ‘sembuh’ dan kuat berhadapan lagi dengannya.
Dari sebuah meja – yang bukan meja favoritku – aku melihatnya lagi. Sehat, berisi, dan, semakin cantik. Dia sedang sibuk meracik kopi untuk pelanggan lainnya. Tubuhku bergetar hebat, kukira aku sudah cukup kuat menghadapi badai masa lalu.
“Sayang, kamu kenapa? Kedinginan?” tanya Hara panik.
“Nggak apa kok, Sayang.” Jawabku agak terbata.
“Nggak papa gimana? Kalau kurang sehat, kita pulang aja, yuk. Ngerayain annive-nya bisa belakangan.”
Ajakan Hara ada benarnya. Perutku sudah mulai mual lagi. Jika dipaksakan makan sambil melihat dia, bisa-bisa aku muntah di atas piring dan hari spesial ini jadi memalukan. Sebelum dia melihatku aku harus segera berkemas dan pergi.
Tiing!
Sebuah bel ditekan oleh penghuni meja sebelah. Tampaknya ia sedang memanggil pramusaji atau siapalah itu. Suasana kedai saat itu memang sedang ramai dan hanya ada sedikit pelayan di sana. Aku masih memakai jaket yang resletingnya mendadak macet. Aku kesal sekali sambil menarik-narik resleting. Hara yang terdistraksi dengan tingkahku mencoba membantu.
Tiga menitku tersita sia-sia gara-gara resleting sialan itu. Baiklah, sekarang aku siap pulang, Hara menunggu di parkiran. Tapi, momen setelah itu seharusnya tidak pernah kusaksikan. Si Gemini, dia sedang asyik bermanja-manja dengan pelayan wanita lainnya. Mesra sekali. Jiwaku seperti melorot jatuh dan terburai. Seketika mataku berkunang-kunang. Tanganku mencengkram meja dengan kuat sebelum akhirnya melangkah pergi dengan sekuat tenaga. Aku tidak peduli mereka melihatku atau tidak.
Yang jelas, sakit sekali, melihat kutub magnet yang sama bisa menyatu seperti itu.