Bahasa merupakan salah satu bentuk praktis sosial. Hal tersebut mengindikasikan bahwa bahasa adalah bagian dari masyarakat. Di samping itu bahasa adalah sebuah proses sosial. Bahasa merupakan bagian dari masyarakat. Hal itu mengindikasikan bahwa masyarakat tidak bisa dilepaskan dari aktivitas penggunaan bahasa. Hal ini sejalan dengan pernyataan Fairclough (1989:23) “Language is a part of society; linguistic phenomena are social phenomena of special sort, and social phenomena are (in part) linguistic phenomena”. Fenomena kebahasaan merupakan proses sosial yang mencakup segala aktivitas kebahasaan, seperti mendengarkan, berbicara, menulis, dan membaca serta melibatkan pemahaman terhadap konteks sosial sehingga tujuan komunikasi dapat dicapai dengan baik.
Tujuan komunikasi dapat tercapai apabila peserta komunikasi dapat saling mentranmisi informasi dan dapat saling menjaga hubungan sosial. Hal tersebut sejalan dengan pendapat Brown dan Yule (dalam Spencer dan Oatey (2001:2) bahwa fungsi bahasa sebagai fungsi transaksional dan fungsi interaksional. Fungsi transaksional menekankan pada bagaimana informasi disampaikan dengan akurat sehingga apa yang dimaksud oleh pembicara dapat diterima dengan baik oleh lawan bicara sebalikna, fungsi interaksional menekankan pada bagaimana peserta komunikasi tersebut saling menjaga hubungan sosial sehingga proses komunikasi dapat berlangsung dengan nyaman.
Pada fungsi transaksional ini peserta wicara diharapkan dapat melakukan interpretasi pada tingkatan teks dan konteks (Fairclough,1989:142). Selanjutnya dijelaskan bahwa pada interpretasi teks peserta wicara dihadapkan pada proses interpretasi surface of uttecance. Pada tahap ini peserta wicara melakukan dekode terhadap untaian bunyi yang didengar sehingga bunyi-bunyi tersebut dipahami sebagai kumpulan kata, frasa dan kalimat. Tahapan berikutnya adalah meaning utterance. Peserta wicara menentukan makna dari ujaran-ujaran tersebut dengan mengombinasikan makna dari setiap kata, informasi gramatikal, menangkap makna tersembunyi di balik kalimat-kalimat tersebut dan pada akhirnya peserta wicara dapat menangkap makna keseluruhan ujaran tersebut.
Bahasa sebagai proses sosial mencirikan bahwa segala aktivitas kebahasaan merupakan suatu proses produksi yang menghasilkan sebuah produk (teks). Menurut Fairclough (1989:24), teks tersebut merepresentasikan pengetahuan bahasa, alam, dunia sosial suatu masyarakat tertentu, bagaimana kepercayaannya, asumsinya, dan lain sebagainya.
Pernyataan tersebut mengimplikasikan bahwa untuk dapat menginterpretasikan suatu teks, yang merupakan proses sosial, seseorang diharapkan betul-betul memahami kehidupan sosial masyarakat, yang merupakan tempat diproduksinya teks tersebut. Seseorang tidak akan dapat melakukan proses interpretasi dengan mengabaikan faktor sosial yang mendukung proses produksi suatu teks. Hal itu terjadi karena pada prinsipnya proses interpretasi merupakan proses pemaknaan antara properti suatu teks dengan budaya masyarakat yang merupakan tempat teks tersebut dihasilkan. Budaya suatu masyarakat tertentu memengaruhi proses produksi suatu teks.
Kebudayaan suatu masyarakat tertentu, dimanifestasikan dalam berbagai bentuk lapisan mulai dari nilai-nilai, asumsi dasar, sistem kepercayaan, sikap, konvensi, sistem kemasyarakatan dan institusi, bentuk ritual, tingkah laku, artefak dan produk kebudayaan. Bentuk lapisan kebudayaan tersebut perlu dipahami karena pada prinsipnya sistem kebudayaan suatu masyarakat akan direalisasikan dalam bentuk tingkah laku dan bentuk lingual setiap anggota masyarakatnya. Hal inilah yang diperlukan dalam berkomunikasi. Setiap peserta wicara harus menjaga agar proses komunikasi dalam belangsung dengan baik.
Perilaku berbahasa yang baik setidaknya mengikuti etika berbahasa yang baik. Yang perlu diperhatikan dalam berbahasa adalah dengan siapa kita berbicara, dimana kita bicara, apa topik pembicaraan, ragam bahasa apa yang dipergunakan dalam bertutur. Hal ini sangat perlu diperhatikan sehingga setiap peserta wicara dapat memperhatikan kesantunan berbahasa.
Akhir-akhir ini masalah kesantunan berbahasa menjadi perhatian masyarakat. Pro dan kontra pemakaian kata anjay yang bermakna anjing. Kata anjing sering digunakan untuk mengumpat. Umpatan ini tentu dapat dimaknai berdasar konteks pemakaiannya. Bagaimana relasi antara petutur dan penutur. Apabila orang yang sedang bercakap-cakap merupakan teman akrab, pemakaian ungkapan kata anjing bermakna tidak kasar. Hal itu menunjukkan hubungan kedekatan antara petutur dan penutur.
Perubahan bentuk dari anjing menjadi anjay sebenarnya untuk menghilangkan makna kasar apabila kata tersebut dipakai sebagai umpatan. Komponen makna dari kata anjing telah berubah setelah menjadi anjay (- kasar). Politikus, pengamat, dan ahli hukum yang sering menyelenggarakan diskusi di televisi tidak lepas dari penggunaan kata-kata yang dapat membuat lawan bicara terancam mukanya. Contohnya pemakaian kata dungu. Rezim pemerintah dikatakan dungu. Dungu /du·ngu/ berarti sangat tumpul otaknya; tidak cerdas; bebal; bodo ( KBBI).Pemakaian kata ini tentu dapat dikatakan sebagai hinaan apalagi yang disebut dungu adalah seorang presiden.
Kaum intelektual yang seharusnya memberikan contoh yang baik dalam berinteraksi dengan mengedepankan prinsip kesantunan malah sebaliknya mempertotonkan kekerasan verbal dalam berdialog. Politisi, pengamat politik, dan ahli hukum tunjukkan kemampuan berkomunikasi yang harmonis sehingga hasil yang didiskusikan bermakna dan dapat dijadikan saran bagi pemerintah dalam menata perekonomian bangsa di tengah pandemi covid 19.
Tentu kita masih ingat gaya pemakaian bahasa mantan Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaya Purnama alias Ahok. Gaya bicara Ahok memang blak-blakan dan terkadang terdengar “kasar”. Gaya berbahasa Ahok menimbulkan pro dan kontra. Yang pro menilai gaya bicara Ahok biasa saja tidak ada yang kasar. Hal itu merupakan gaya bicaranya yang sudah pasti berbeda dengan gaya bicara orang lain. Yang kontra menyatakan bahwa pejabat publik tidak sepatutnya bebicara “kasar”. Mengumpat di depan publik dengan melontarkan kata maling, lu, gue, tabok. Pernyataan Ahok yang paling menuai kritikan karena membawa bahasa “toilet” saat diwawancarai secara langsung sebuah stasiun televisi swasta. Masyarakat yang kontra terhadap gaya berbicara Ahok mengkhawatirkan bahwa gaya berbicara pejabat (kasar) akan ditiru oleh para remaja. Mereka akan menganggap berbicara kasar adalah sah-sah saja. Alasan tersebut dapat dibenarkan. Yang perlu diperhatikan adalah pemakaian bahasa pada tataran formal mensyaratkan penggunaan bahasa yang baik dan benar. Hal tersebut mensyaratkan kepada peserta wicara untuk menggunakan bahasa yang santun dalam berkomunikasi.
Kasar tidaknya penggunaan bahasa sangat dipengaruhi oleh tata nilai, budaya tempat berlangsungnya proses komunikasi. Seseorang yang menggunakan kata-kata kasar dalam berkomunikasi dengan teman akrabnya tidak dapat dinilai bahwa bahasa yang digunakan adalah bahasa yang kasar. Oleh karena faktor kedekatan antara peserta wicara tersebut, sehingga penggunaan bahasa yang dinilai kasar justru tidak dirasakan kasar karena jarak sosial antara peserta wicara begitu dekat. Konteks situasi pembicaran sangat menentukan apakah bahasa yang dipergunakan dalam berkomunikasi tergolong “kasar” atau tidak.
Jika diamati, misalnya dalam acara debat atau talk show, yang diselenggarakan oleh stasiun TV, banyak pelanggaran yang dilakukan oleh antar narasumber dan antara narasumber dengan peserta yang hadir dalam acara debat. Pelanggaran tersebut berupa ejekan yang sering dilakukan oleh narasumber yang satu terhadap narasumber yang lain. Ejekan tersebut dilakukan, disadari atau tidak, untuk menunjukkan bahwa narasumber tersebut lebih menguasai tentang topik pembicaraan yang sedang diperdebatkan. Saling ejek yang dipertontonkan di televisi dapat membawa dampak negatif pada masyarakat (remaja). Hal ini tentu melanggar kesantunan dalam berbahasa.
Bahasa sebagai produk masyarakat dan sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari kebudayaan, pasti mempunyai kaidah kesantunan (Sumarsono, 2009:152). Dalam kajian sosiolinguistik dikenal beberapa ragam bahasa dalam satu bahasa dan salah satu dari ragam tersebut dipandang sebagai ragam hormat. Masyarakat dapat memilih ragam tersebut disesuaikan dengan konteks situasi di mana proses komunikasi itu terjadi.