Pada Hari Pendidikan Nasional, 2 Mei 2020 kemarin, di hadapan para guru dan pendidik lainnya, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI Nadiem Makariem, B.A., M.B.A dalam pidatonya menegaskan tentang konsep “Guru Penggerak dan Merdeka Belajar”. Tujuannya tentu saja untuk memajukan dan meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia melalui pembelajaran yang menyenangkan. Mengapa di hadapan para guru? Karena guru adalah kunci utama dalam perkembangan kualitas pendidikan di Indonesia, apapun bentuk, konsep, dan tujuannya,
Guru, diketahui atau tidak, disadari atau tidak, dan diakui atau tidak, merupakan salah satu sosok yang paling berpengaruh bagi setiap orang. Guru jugalah yang menjadi faktor utama dalam konsep yang digaungkan Pak Menteri agar bisa terealisasi dalam praktik yang baik. Merekalah, salah satunya, sebagai peletak dasar atau pondasi dalam bangunan kehidupan seseorang. Sejatinya, guru bukan sebuah profesi yang melakukan kegiatan mengajar atau transfer ilmu pengetahuan kepada peserta didiknya, namun lebih dari itu, guru adalah seorang pahlawan. Ya, pahlawan tanpa tanda jasa.
Dari dulu, masyarakat sudah melabeli status sosial seorang guru sebagai sosok yang memiliki martabat yang tinggi, nilai yang tinggi, dan kehormatan yang tinggi pula. Perhatikanlah salah satu lirik dari lagu yang berjudul Pergi Belajar karya Ibu Sud, “Hormati gurumu sayangi teman itulah tandanya kau murid budiman”. Lho, Ibu Sud yang terkenal sebagai pengarang lagu anak-anak pun sampai ikut mengajarkan peserta didik agar senantiasa selalu menghormati para guru. Kenapa? Lagi-lagi jawabannya karena guru adalah seorang pahlawan.
Lalu, kenapa seorang guru disebut sebagai pahlawan? Singkat saja, karena seorang guru tidak hanya menransfer ilmu, tetapi juga menransfer nilai. Nilai yang dimaksud bukanlah nilai-nilai yang didapat saat ujian atau tentamen tertentu, tapi nilai yang lebih berarti dan bahkan jauh lebih berharga, yaitu nilai kehidupan. Nah, dalam hal ini dapat dikatakan bahwa peran guru tidak hanya mengajar, tetapi juga mendidik. Mendidik dalam artian memberikan nilai-nilai kehidupan itu sendiri, bukan sekadar memberi nilai 10 atau 100, bukan nilai A, B, C, D atau E. Di samping itu, guru adalah sosok yang sangat mulia karena senantiasa menyumbang sebagian tenaganya, pikirannya dan waktunya untuk mencerdaskan kehidupan bangsa.
Apalagi di tengah pandemi Covid-19 seperti sekarang ini. Mereka juga melakukan banyak hal di luar kebiasaan mereka saat wabah belum menyerang. Mereka akan dituntut benar-benar menjadi pahlawan yang diharapkan kehadirannya, meski tetap saja tanpa tanda apa-apa. Semenjak proses belajar mengajar dilakukan di rumah dan dari rumah masing-masing, peran dan tanggung jawab mereka semakin berlipat dan bertambah, lebih berat dibandingkan dengan proses mengajar di kelas, pun lebih sulit dibandingkan dengan pembelajaran tatap muka yang biasa dilakukan sebelum wabah menyerang. Ada beban yang selalu hinggap di pikiran dan ada kegelisahan yang selalu menghantui. Tak peduli siang tak peduli malam, mereka melaksanakan tugas dan fungsi sebagai seorang pendidik, terutama yang masih sadar akan tanggung jawab yang dipegang.
Sebelumnya, guru hanya berfokus pada siswa atau anak didik yang diajar. Sekarang, guru juga harus fokus ke orang tua mereka, terutama orang tua dari siswa yang sedang duduk di bangku Sekolah Dasar (SD) dan Sekolah Menengah Pertama (SMP). Mengapa orang tua juga menjadi fokus para guru saat ini? Karena tak banyak siswa SD dan SMP yang memiliki gawai atau alat komunikasi yang bisa dijadikan alat penghubung dalam proses pembelajaran jarak jauh. Itulah sebabnya para guru juga harus menghubungi orang tua siswa untuk mengkordinasikana segala sesuatu terkait pembelajaran, seperti bahan ajar, lembar kerja, tugas, dan lain sebagainya.
Berkordinasi dengan orang tua siswa juga ternyata melahirkan cobaan yang baru. Tidak jarang orang tua siswa sulit untuk dihubungi, terutama mereka-mereka yang tak memiliki fasilitas teknologi yang memadai karena kondisi ekonomi yang kurang beruntung karena tinggal di sebuah desa di wilayah terpencil yang susah mendapat jaringan komunikasi. Belum lagi karena orang tua yang acuh tak acuh dan cuek dengan proses pembelajaran jarak jauh yang diikuti anaknya. Ditambah lagi dengan sifat peserta didik yang malas dan lebih suka bermain ketimbang mengikuti pelajaran. Tak heran guru menjadi serba salah. Salah jika tidak memberikan pelajaran sebagaimana mestinya, salah juga jika meninggalkan anak didiknya begitu saja. Tentu, selain masalah-masalah tadi, masih banyak lagi masalah yang dihadapi oleh para guru di tengah pandemi ini.
Karena itulah, tak salah menyebut guru sebagai seorang pahlawan. Pada dasarnya, mereka juga sudah menjadi seorang penggerak. Selain memberikan ketulusan dan keikhlasan dalam menjalankan tanggung jawab, ditambah dengan perjuangan yang tak mudah, guru juga memberi nilai kehidupan dapat menjadi inspirasi bagi yang lain. Seperti kata orang bijak, anak-anak yang berhasil di masa depan adaah anak-anak yang diajarkan oleh orang tua dan guru-guru yang luar biasa, bukan karena sekolah yang besar dan terkenal.
Guru atau Pendidik yang Bagaimana Disebut Penggerak?
Sebenarnya, profesi guru sendiri sudah bisa disebut sebagai seorang penggerak. Kenapa? Karena disadari atau tidak, gurulah yang memajukan dan mengarahkan hidup peserta didiknya menjadi lebih baik. Karena guru sudah menggunakan ilmu pengetahuannya untuk kemajuan orang lain. Sama seperti dokter, tak ada bedanya, mereka sama-sama menggunakan pengetahuan yang mereka punya untuk membantu orang ain, untuk memajukan hidup orang lain
Sebenarnya lagi, setiap tindakan yang dilakukan seorang guru bisa menjadi sebuah inspirasi. Seperti yang sudah diketahui banyak orang, guru dapat menjadi teladan dalam hal apapun, dimulai dari hal kecil. Misalnya, dalam hal-hal kecil, guru bisa menjadi contoh bagi peserta didiknya, seperti misalnya berucap yang terjaga kejujurannya, memberikan nasehat dan motivasi yang tentu saja bersifat membangun dan akan menjadi sangat berarti bagi peserta didik, tentu saja agar mereka tidak kehilangan semangat dalam belajar.
Jika sudah seperti itu, artinya guru sudah memposisikan dirinya dalam keadaan yang ideal atau pantas, karena gurulah yang akan diperhatikan, dicontoh dan diikuti oleh peserta didiknya. Dalam hal ini, guru dapat diartikan sebagai seseorang yang dapat digugu (dipercaya dan dipegang ucapannya) dan ditiru (diikuti dan dicontoh tindakannya).
Bahkan, ada pula istilah yang mengatakan bahwa guru adalah The Living Curriculum, yaitu kurikulum hidup yang memang sepantasnya menjadi inspirasi karena akan dijadikan contoh oleh peserta didiknya.
Nah, betapa mulianya sosok seorang guru atau seorang pendidik, tapi sayang sekali. Kata tak selalu lebih indah dari rupa. Harapan kadang tak selamanya sama seperti realita dan kenyataan yang ada dan diinginkan.
Guru dan Zona Nyaman
Di tengah masyarakat tenyata masih ada dan masih bisa dijumpai oknum guru atau pendidik yang tidak mencerminkan kemuliaan dan kehormatan profesinya. Bukannya menjaga nama baik, malah mencemari dan mengurangi arti dan ungkapan yang ada dari sosok guru itu sendiri, seperti pahlawan tanpa tanda jasa, pahlawan pembangun insan cendikian dan masih banyak lagi.
Bermula dari adanya peningkatan alokasi APBN dalam bidang pendidikan, pengangkatan guru honorer menjadi pegawai negeri sipil (PNS) dan juga program sertifikasi guru, yang juga merupakan bagian dari Undang-Undang No. 14 Tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen, serta regulasi kependidikan dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Kependidikan, membuat profesi guru menjadi menarik di mata masyarakat.
Label yang diberikan pun ikut-ikutan berubah. Profesi guru justru semakin diminati. Banyak yang memperbincangankan, dan tak sedikit juga yang menjadikan hal ini sebagai topik pembicaraan. Kata kebanyakan orang, dulu menjadi seorang guru bukanlah pilihan utama. Banyak yang terpaksa menjadi seorang guru karena sempitnya peluang kerja yang ada. Kesejahteraannya juga kurang memadai, katanya. Maka dengan adanya perhatian pemerintah terhadap status dan kesejahtaeraan guru inilah, profesi ini mulai dicemburui.
Kenapa dicemburui? Karena ternyata banyak guru yang terlena dalam zona nyaman yang dibenaknya hanya mengajar untuk memenuhi kewajiban jam mengajar sebagaimana yang dipersyaratkan dalam sertifikasi. Yang terjadi adalah guru menjadi seorang yang datang ke sekolah, mengajar, menyampaikan materi kepada murid-muridnya di depan kelas dan kemudian selesai. Tidak ada apa-apa lagi.
Tujuan utama adalah memenuhi jam mengajar, dan menjaga kesejahteraan yang diberikan pemerintah. Masih beruntung jika guru tersebut masih mau datang meluangkan waktu dan tenaga untuk mengajar selain memenuhi jam mengajar. Bagaimana jadinya jika guru hanya datang untuk mengisi daftar hadir kemudian pergi dengan berbagai alasan tertentu?
Akan lebih buruk lagi jika guru tersebut pergi tanpa tugas untuk peserta didiknya, tanpa pemberitahuan yang jelas. Tentu ada saja yang seperti itu. Ada guru yang masuk ke kelas hanya menyuruh peserta didiknya untuk mengerjakan tugas dan meminta ketua kelas untuk mengumpulkannya nanti di atas meja kerjanya. Ia akan pergi setelah selesai memberi tugas. Di tengah situasi pandemic seperti sekarang ini, nukan tidak mungkin ada satu atau dua guru yang juga melakukan hal yang sama saat memberikan pembelajaran jarak jauh. Nah, oknum yang seperti inilah yang akan mencemari dan mengurangi makna dan arti dari sebuah profesi seorang guru atau pendidik. Padahal mereka seharusnya tidak boleh tidak mengajar, apalagi tanpa kejelasan apa-apa. Karena apa? Karena mereka dibayar, dan karena peserta didik juga membayar.
Masalah ini tentu saja membuat masyarakat menuntut agar orang-orang yang menyandang profesi sebagai guru atau pendidik mau tidak mau benar-benar menunjukan kompetensi dan keterampilannya, bukan malah terlena di zona nyaman seperti yang sudah disebutkan tadi.
Masih Banyak Guru Penggerak dan Inspiratif
Kembali ke pertanyaan sebelumnya, sebenarnya guru atau pendidik bagaimana yang disebut sebagai guru penggerak? Sebenarnya guru atau pendidik bagaimana yang dapat disebut sebagai guru atau pendidik inspiratif.
Meihat situasi dan kondisi yang terjadi di masyarakat, sepertinya jawabannya adalah guru atau pendidik yang masih sadar diri, dalam artian sadar tanggung jawab, sadar bahwa ia adalah seorang guru dan seorang guru memiliki kemuliaan dan kehormatan yang tinggi, dan sadar memposisikan dirinya secara idealis, yang mendidik dan membina peserta didiknya yang merupakan anak-anak bangsa. Guru yang mau keluar dari zona nyaman. Guru yang bukan hanya mengajar semata-mata untuk memenuhi jam mengajar, tetapi juga mendidik hal-hal kecil, seperti keteladanan dalam berbagai sikap, tutur kata yang sopan dan santun, atau kebiasaan baik lainnya seperti membuang sampah pada tempatnya. Guru yang memiliki inovasi dan kreativitas untuk menciptakan pembelajaran yang menyenangkan.
Guru yang masih senantiasa menyumbang sebagian tenaganya, pikirannya dan waktunya untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Guru yang tentu saja memiliki semangat untuk melahirkan generasi yang berkualitas dan cerdas, bukan hanya untuk naik kelas, bukan hanya untuk lulus, tetapi untuk menjadi pribadi yang terpuji dan mampu meraih mimpi-mimpinya, dan tentu saja yang paling penting adalah ketulusan, karena ketulusan itulah nantinya akan membuat sosok guru tetap menjadi inspirasi. Itulah yang cocok disebut sebagai guru penggerak, guru inspiratif, atau guru yang menginspirasi saat ini. Jika hal seperti itu sudah menjadi budaya yang harus dijaga saat melaksanakan kewajiban guru, sudah tentu para peserta didik akan selalu bahagia saat mengikuti pelajaran yang diberikan.
Apakah guru atau pendidik seperti itu masih ada? Jangan berkecil hati. Tentu saja di Indonesia, atau di sekitar kita masih ada guru-guru seperti yang disebutkan di atas. Mereka juga bisa ada di daerah-daerah terpelosok, terluar dan terpencil. Di daerah dekat perbatasan, dekat pantai dan tidak menutup kemungkinan mereka ada di tengah-tengah kota, baik kota kecil maupun yang besar sekalipun. Tentu saja mereka juga memiliki peran lain yang bermacam-macam. Ada yang petani, ada yang peternak, ada juga sastrawan, budayawan dan seniman.