Di samping tandus, Pulau Nusa Penida (NP), Klungkung-Bali, juga identik dengan geografi yang bersuhu cukup panas. Hampir semua wilayahnya memiliki iklim yang panas. Ya, hampir semua. Artinya, ada beberapa yang tidak panas. Salah satunya ialah Puncak Mundi. Titik tertinggi (lebih dari 500 mpl) di NP. Area ini sangat mudah dikenali dari kejauhan lewat petanda “sejumput hutan” di atasnya. Petanda yang tidak dimiliki oleh barisan bukit lain di NP. Selain tertinggi dan berhutan, Puncak Mundi juga memiliki cerita purba yang unik dan (mungkin) jarang diketahui oleh masyarakat luas.
Latar Cerita Leluhur
Anda pasti ingat dengan tokoh Dukuh Jumpungan, bukan? Nama yang sangat familiar bagi orang NP. Bahkan, mungkin juga dikenal hingga ke Bali daratan. Beliau diyakini sebagai leluhur pertama, yang mengadakan manusia di NP. Silsilah ini pernah ditulis oleh Jero Mangku Made Buda (2007) dalam bukunya yang berjudul Babad Nusa Penida. Beberapa referensi media digital juga mengungkapkan hal sama.
Konon, pada tahun Saka 50, Ida Bhatara Siwa bersama saktinya Dewi Uma turun ke bumi beserta pengikutnya yaitu Tri Purusa, Catur Lokha Pala dan Asta Gangga. Beliau turun menjelma (meraga manusia) di sebuah gunung yang bernama gunung Puncak Mundi (baca: Bukit Puncak Mundi).
Ida Bhatara Siwa menjelma seorang laki-laki (pandita) dan bergelar Dukuh Jumpungan. Sementara, Dewi Uma menjelma seorang perempuan bernama Ni Puri. Beberapa babad NP meyakini bahwa Dukuh Jumpungan dianggap sebagai manusia pertama di NP. Bahkan, eksistensi beliau juga dianggap berkaitan dengan cikal bakal nama Pulau Nusa Penida.
Dari cerita babad-babad yang pernah saya baca, nama Nusa Penida konon diambil dari frasa “manusa pandita”. Lama-kelamaan kata “manusa” menjadi Nusa dan “pandita” berubah menjadi Penida. Jadi, dari kacamata penulis babad NP, nama Nusa Penida merupakan reprensentasi dari sosok seorang pandita (orang suci) yaitu Dukuh Jumpungan.
Terkait dengan eksistensi Dukuh Jumpungan, ada pula yang mengaitkannya dengan pura Sad Kahyangan Penida. Keterkaitan ini tercantum dalam versi babad Ki Dukuh Jumpungan atau lebih dikenal dengan nama babad I Renggan. Menurut babad Ki Dukuh Jumpungan, keberadaan pura Sad Kahyangan Penida berkaitan dengan tokoh spiritual yang bernama Dukuh Jumpungan. Beliau adalah seorang brahmana dari Jambhu Dwipa (India Selatan) dan memiliki gelar Bhagawan Kanda. Beliau dipercaya sebagai titisan Sahyang Siwa guru.
Bhagawan Kanda melakukan perjalanan suci untuk mengajarkan kebenaran hingga di Hnu (Batu Belek), Nusa Gurun (maksudnya Nusa Penida). Kemudian, beliau tinggal di tepi Penida. Beliau inilah yang disinyalir mendirikan Pura Parahyangan Penida (Dalem Lingsir Segara Agung Penida). Pura ini diduga sebagai tempat pesraman dan sekaligus pemoksan dari Dukuh Jumpungan. Jadi, pura Parahyangan Penida dianggap sebagai pura tertua dan menjadi cikal bakal pura-pura lainnya di NP. Demikian yang dituturkan oleh I Wayan Tiasa, salah satu masyarakat Penida (dalam https://metrobali.com).
Dua versi eksistensi Dukuh Jumpungan tersebut mungkin memiliki kebenaran tersendiri. Versi perjalanan seorang manusia (orang suci), mungkin rasional menempati tepian pulau terlebih dahulu. Karena babad Dukuh Jumpungan menyebutkan bahwa Dukuh Jumpungan adalah seorang Bhagawan (orang suci).
Namun, jika Dukuh Jumpungan dikaitkan dengan penjelmaan langsung dari bhatara Siwa, maka latar Puncak Mundi sebagai peristiwa historis-spiritual juga sangat rasional. Saya tidak bermaksud memperdebatkan keduanya. Jika hendak memperdebatkan kebenaran ini, mungkin ahli sejarah atau ahli “perbabadan” yang lebih kompeten membahasnya.
Saya lebih tertarik melihat bahwa kedua versi yang disebutkan tadi tidak meragukan eksistensi seorang Dukuh Jumpungan. Keduanya, memiliki perspektif yang sama soal tokoh Dukuh Jumpungan. Tokoh spiritualis (rohaniawan) dan dianggap sebagai leluhur pertama bagi orang NP. Perbedaan yang mencolok mungkin terletak pada “klaim latar” atau tempat.
Versi babad Nusa Penida pada umumnya menyebutkan bahwa aktivitas religius yang dilakukan oleh Dukuh Jumpungan pertama dan berpusat di Puncak Mundi. Buda (2007) pernah menulis bahwa ketika Ida Bhatara Siwa (menjelma Dukuh Jumpungan) dan Dewi Uma (Ni Puri) turun ke bumi (di Puncak Mundi) juga membawa pengikut meraga manusia sebanyak 150 orang (dalam https://www.gotravelaindonesia.com).
Bersama ratusan pengikutnya, Dukuh Jumpungan membangun tempat tinggal yang disebut Padukuhan di area Gunung Mundhi yang rata (sekarang lokasi tersebut bernama Dusun Rata). Persis di Puncak Mundi, dibangunlah sebuah pesraman yang dikelilingi tetamanan. Sumber airnya konon berjumlah 8, yang disebut Asta Gangga. Sumber mata ini berasal dari Siwa Lokha, yang ikut turun bersama Ida Bhatara Siwa.
Konon, pesraman Puncak Mundi juga menjadi “saksi latar” terciptanya perahu besar nan indah. Perahu ini tercipta dari kekuatan adnyana, hasil semedhi dari Dukuh Jumpungan pada tahun Saka 60. Ide pembuatan perahu dilatarbelakangi oleh Pulau NP yang dikelilingi lautan. Perahu hasil semedhi itu, lalu diturunkan dari Puncak Mundi menuju ke arah utara yakni pesisir daerah Bodong. Selanjutnya, perahu itu digunakan berlayar menikmati lautan bersama sang istri.
Pada tahun Saka 90, istri Dukuh Jumpungan melahirkan seorang putra bernama I Merja. Keturunan dari I Merja inilah diyakini menjadi awal sejarah terbentuknya kesekian pura yang ada di NP, yang diawali dengan didirikannya pura Puncak Mundi (http://kb.alitmd.com).
Pura Puncak Mundi dibangun persis di dataran tertinggi Pulau NP. Keunikan arsitektur pura ini terlihat dari padmasana dengan pelipit dan empat tiangnya. Hiasannya menggunakan stiliran kala dan motif sulur sebagai simbol dari Siwa Buddha .
Lokasi pura penataran agung ini terbagi menjadi tiga yaitu jaba sisi, jaba tengah dan jeroan. Uniknya, area jaba tengahnya lebih luas dan area jeroan. Bale pekemitan banyak terdapat di area jaba sisi maupun jaba tengah. Ada tiga pura utama di sini yakni Pura Beji (persembahyangan I), Pura Krangkeng (II) dan Pura Puncak Mundi (III), stana Ida Batara Lingsir (https://www.kintamani.id).
Eksistensi Pura Puncak Mundi adalah “saksi latar” dari jejak Dukuh Jumpungan. Pura ini mungkin sebagai bukti empiris (spiritual) bahwa memang pernah terjadi denyut kehidupan purba dari leluhur orang NP yaitu Dukuh Jumpungan. Kemudian, babad memperkuat fakta denyut kehidupan tersebut. Meskipun tergolong karya sastra, babad diyakini mengandung kebenaran sejarah oleh kelompok masyarakat tertentu pada zamannya. Artinya, fakta tokoh Dukuh Jumpungan yang berlatar Puncak Mundi barangkali sudah dianggap kuat dari kacamata eksistensi pura dan babad.
Latar Cerita Geografis
Selain sebagai latar babad leluhur, Puncak Mundi juga menjadi tempat cerita musabab geografi NP yang tandus. Konon, dulu NP merupakan pulau yang subur dan berlimpah air. Karena faktor tertentu, pulau ini menjadi gersang seperti dikenal sekarang. Cerita ini tidak dilengkapi dengan bukti tertulis. Ia hidup dalam sastra lisan lalu diceritakan secara turun-temurun.
Saya adalah generasi yang masih beruntung mendapat estafet cerita itu dari kakek Kamasan (ayah dari ibu saya). Kakek menjadi pewaris cerita dari buyut saya. Warisan cerita lisan itu diceritakan oleh Kakek Kamasan ketika saya kecil hingga masuk sekolah dasar (tahun 80-an).
Pada setiap kesempatan, Kakek Kamasan bercerita kepada cucu-cucunya. Saya masuk di dalamnya. Beliau merupakan sumber literasi hidup bagi saya. Salah satu cerita yang paling sering diceritakan ialah soal musabab pulau NP yang tandus. Meskipun berulang-ulang, saya tidak pernah bosan mendengarkannya.
Menurut kakek saya, dulu pulau NP merupakan pulau yang subur. Sawah-sawah membentang luas. Terus, air dari mana? Dari Puncak Mundi. Dengan muka ekspresif, Kakek Kamasan menceritakan bahwa Puncak Mundi memiliki sumber mata yang sangat deras. Sumber mata air inilah yang mengisi semua sungai yang ada di NP.
Tidak ada cerita kekeringan. Padi tumbuh subur di sawah-sawah petani. Biji buahnya lebat-lebat. Panen selalu melimpah. Intinya, kehidupan para petani di NP zaman itu sangat makmur.
Sayang, cerita kemakmuran itu tidak berlangsung lama. Berakhir di luar dugaan. Cerita bermula dari seorang ibu hamil besar, yang mandi di sekitar mata air Puncak Mundi. Orang-orang sudah memperingatkan dengan keras. Namun, ibu hamil itu tetap nekat menceburkan diri, sambil mencuci pakaian.
Bersamaan dengan kejadian itu, mendadak sumber mata air berhenti mengalir. Orang-orang yang menyaksikan menjadi kaget. Namun, tidak bisa berbuat apa-apa—kecuali menerima kenyataan pahit itu dengan lapang dada. Sumber mata air di Puncak Mundi lenyap entah kemana. Imbasnya, sungai-sungai mendadak kering kerontang. Para petani kehilangan air. Sawah-sawah menjadi kering. Lama-kelamaan, sawah-sawah hilang digantikan oleh ladang-ladang yang tandus hingga sekarang.
Ada pula versi lain yang mengaitkan dengan keris raja Nusa. Versi ini pernah saya dengar dari seorang teman. Namun, sifatnya seperti potongan cerita. Konon, dulu raja Nusa pernah mengalami amarah yang tak terkendali. Sumbernya berasal dari beberapa bawahan raja yang berkhianat (membelot) kepada raja Bali daratan, entah berkaitan dengan kasus apa. Kurang jelas. Mungkin berkaitan dengan politik.
Ketika diketahui oleh raja Nusa, maka marahlah sang raja. Kemudian, raja Nusa menancapkan sebilah keris sakti entah di titik mana. Banyak orang menduga-duga, keris itu ditancapkan di Puncak Mundi. Kekuatan keris sakti itulah konon yang menyebabkan Pulau NP meranggas (baca: kering, tandus) seperti sekarang.
Latar Cerita Peperangan Besar
Tidak hanya menjadi latar leluhur dan geografis, Puncak Mundi juga menjadi latar peperangan besar (dahsyat). Konon, dulu pernah berkuasa seorang raja di Nusa. Sebut saja raja Nusa. Di samping bijaksana, raja Nusa juga dikenal sakti mandraguna. Kesaktiannya, terdengar hingga ke Bali daratan. Salah satunya ke telinga raja Karangasem.
Karena itu, raja Karangasem berniat untuk menantang raja Nusa. Ia ingin raja Nusa tunduk di bawah kekuasaannya. Berkali-kali, raja Karangasem mengirim utusan meminta raja Nusa untuk menyerah. Namun, selalu ditolak oleh raja Nusa. Pernah pula, raja Karangasem mengutus orang kepercayaannya untuk membunuh raja Nusa. Akan tetapi, tak satu pun yang berhasil membunuh raja Nusa.
Karena gagal, berangkatlah raja Karangasem ke Pulau NP bersama panglima dan beberapa prajuritnya. Ia menantang raja Nusa untuk perang tanding secara terbuka. Tantangan ini diterima oleh raja Nusa. Keduanya, sepakat memilih tempat perang tanding di Puncak Mundi.
Perang terbuka ini disaksikan oleh rakyat Nusa. Sebuah perang berkelas. Karena kedua raja ini dikatakan memiliki kesaktian yang berimbang. Perang tidak hanya menggunakan senjata fisik, tetapi juga diwarnai dengan gempuran-gempuran menggunakan tenaga dalam.
Suatu ketika, ada serangan tenaga dalam yang meleset. Tidak mengenai kedua raja tersebut, tetapi menghantam Puncak Bukit Mundi. Hantaman inilah yang menyebabkan ujung Puncak Mundi terlepas, lalu menggelinding ke bawah pulau hingga berhenti di Pantai Penida. Karena itulah, sekarang berdiri bongkahan batu besar di tengah laut Penida, dekat Pantai Penida (Crystal Bay). Batu berbentuk jineng ini dipercaya berkaitan dengan penggalan (potongan) Puncak Mundi.
Cerita perang besar lainnya masih berkaitan dengan raja Karangasem. Dahulu kala, pernah terjadi perang besar dan terbuka antara raja Nusa dengan raja Karangasem. Tempatnya di Puncak Mundi. Namun, tidak detail diceritakan faktor penyebabnya. Kemungkinan berkaitan dengan kasus penaklukan.
Karena kedua belah pihak sama-sama sakti, maka sulit menentukan pemenangnya. Dalam kondisi seperti ini, raja Nusa memilih mengalah dengan catatan (syarat). Ia mengaku kalah, tetapi semua mata air di Puncak Mundi dipindahkan ke bawah Pulau NP. Itulah sebabnya, kini semua sumber mata air di Pulau NP berada di bawah tebing, dekat laut.
Begitulah, cerita-cerita purba yang pernah terjadi di Puncak Mundi. Sebagai sebuah karya sastra, tentu cerita-cerita tersebut tidak lepas dari unsur entertain dan terutama unsur edukasi (pesan moral). Pasti ada maksud-maksud (pesan moral) tertentu yang hendak disampaikan. Sayang, pesan moral itu mungkin agak sulit dipahami karena dibungkus dalam kode etik kesastraan. Agak sulit, tetapi selalu menarik untuk dinterpretasi sesuai konteks zamannya.
Secara global, saya menangkap cerita-cerita berlatar Puncak Mundi di atas, sebagai semacam pergulatan identitas. Ada indikasi orang-orang NP membangun citranya sejak lama. Pencitraan ini seolah-olah menjadi “benteng diri” atas serangan citra negatif dari dunia luar (misalnya, dari Bali daratan). Saya menduga, “gempuran cap premitif dan terisolir” sudah lama menyerang masyarakat NP.
Untuk mengantisipasi stereotip negatif itu, maka orang NP membangun citra diri, mulai dari cerita leluhur yakni Dukuh Jumpungan (seorang pandita). Ketokohan Dukuh Jumpungan diangkat untuk menunjukkan bahwa derajat masyarakat NP tidak boleh diremehkan. Bukankah pandita (brahmana) menjadi simbolik posisi sosial yang tinggi dalam masyarakat Bali (dikaitkan dengan kasta)?
Sementara itu, cerita kesuburan geografis merupakan bentuk sikap orang NP melawan kemiskinan dan ketertinggalan. Karena kegersangan dulu mungkin diidentikan dengan kelaparan (kemiskinan). Lewat cerita-cerita tentang kesuburan, orang NP sesungguhnya hendak menolak/ melawan kemiskinan.
Kemudian, perang yang membenturkan raja Nusa dan Karangasem bisa jadi semacam sikap bahwa SDM orang NP sejak dulu memang kompetitif, andal, dan tangguh. Mereka mampu bersaing dengan dunia luar. Cerita perang ini mungkin semacam motivasi dan sekaligus alarm bahwa masyarakat NP memiliki kesaktian (skill, kecerdasan, ilmu, dll) yang tidak kalah dengan masyarakat luar.
Selanjutnya, pemilihan Puncak Mundi sebagai latar membuat cerita menjadi terasa istimewa. Cerita tidak hanya menarik untuk didengar, tetapi menjadikan penikmat (orang NP) seolah-olah melihat sebuah panggung alam yang tinggi. Bisa jadi panggung yang tinggi itu membuat orang NP untuk selalu eling menatap ketinggian (masa mendatang) sebagai pertarungan untuk mencapai puncak diri (kesataraan derajat dan harga diri).[T]