Jumat sore, 16 Agustus 2019, sehari sebelum perayaan kemerdekaan RI, saya menyempatkan diri untuk berolahraga di pelataran Kampus Tengah Undiksha. Aktivitas ini rutin saya lakukan minimal 3 kali seminggu. Namun, beberapa hari sebelumnya, saya pindah sementara ke lapangan upacara SMA N 1 Singaraja karena lapangan upacara Kampus Tengah, tempat yang biasa saya gunakan berolahraga sedang dipakai OKK mahasiswa baru Undiksha 2019.
Seperti biasa, olahraga Jumat sore saya awali dengan joging keliling kota, dimulai dari Udayana ke arah timur, belok kiri ke Pramuka, belok kiri lagi menuju Ahmad Yani, Sudirman, kembali ke Udayana dan berakhir di Kampus Tengah (jaraknya kira-kira 3 kilo-an). Saat akan berbelok menuju Kampus Tengah dari pemberhentian lampu merah arah barat, saya terperangah membaca slogan sebuah baliho besar yang terpampang bersebelahan dengan rektorat yang didominasi oleh warna merah marun.
Baliho tersebut adalah baliho OKK. Slogan yang saya baca kurang lebih berbunyi “Kolaborasi Ganesha Muda Undiksha Sinergi Indonesia”. Di bagian pojok bawah kanan baliho, terpampang foto Bapak Proklamator, Bung Karno dengan gaya khas beliau. Memakai tutup kepala yang disebut peci, berkacamata, membawa tongkat dan tentu saja setelan jas dan dasi dengan atribut militer di dada kiri yang menegaskan dirinya sebagai panglima tertinggi angkatan darat, laut dan udara.
Bagi sejarawan pendidik yang terbiasa dengan narasi tunggal historiografi Indonesia sentris yang menyatakan bahwa 17 Agustus 1945 adalah kemerdekaan Indonesia dengan batas-batas normativitas tertentu, baliho yang saya gambarkan di atas akan terkesan biasa. Tetapi tidak bagi sejarawan posmo yang anti kemapanan serta dibiasakan berpikir dialektik, baliho tersebut akan mengundang tanya dekonstruktif.
Perdebatan tentang Bung Karno pada tingkat epistemologis di antara sejarawan posmo akan menghasilkan penjelasan bahwa yang bersangkutan adalah salah satu sosok ambivalen dalam sejarah pendirian nation–state Indonesia. Pada satu sisi membenci Barat, tetapi dalam beberapa kesempatan yang lain begitu cinta Barat. Terutama fashion style, ide atau gagasan serta ideologinya dan tidak lupa dengan gaya hidupnya. Di sisi lain, dua kata utama yang ada pada baliho, yakni sinergi dan kolaborasi mengandung makna yang hampir sama yakni interaksi yang menghasilkan suatu keseimbangan yang harmonis sehingga berjalan optimal. Pertanyaannya, bagaimana sosok yang ambivalen seperti BK mampu mewujudkan kehidupan yang harmonis seperti yang terkandung dalam kata sinergi dan kolaborasi ?
Pada kasus lain, kita tidak boleh lupa bahwa karisma BK tidak lekang oleh jaman meski mengalami desoekarnoisasi selama 32 tahun Orba. Toh pemikirannya yang identik dengan Nasakom, Tri Sakti, Marhaenisme bahkan Pancasila tetap awet atau diawetkan dalam memori kelektif bangsa meski pada beberapa momen sering berkonflik dengan tokoh-tokoh lain, bahkan dengan Hatta di tahun 1956. Pada perayaan 17-an tahun ini, foto ikonik BK mewarnai baliho OKK Undiksha. Hal ini menegaskan bahwa historiografi reformasi telah berhasil melakukan kolonisasi repetitif dengan menawarkan sosok BK sebagai role modelmasa lalu. Khususnya bagi Gen Z yang candu gameonline, alih-alih belajar sejarah.
Dalam tulisan pendek ini, saya tidak akan membahas tentang polemik sejarawan pendidik vis a vis dengan sejarawan posmo, karena sudah pasti diskusinya akan panjang dan melelahkan. Bagi saya, cara pandang kedua kelompok di atas bersifat situasional tergantung dengan siapa lawan bicara. Tulisan singkat ini akan membahas tentang ambivalensi busana ala Soekarno dan kawan-kawan angkatan 1920-an yang telah menjadi trendsetter generasisetelahnya.Massa actie yang digagas Tan Malaka, mampu diterjemahkan oleh BK ke dalam pidato-pidato retorik dan populis, dan tentu saja penampilan eksentrik yang mengundang decak kagum pada jamannya. Puncaknya ada pada Revolusi Indonesia, 17 Agustus 1945.
Pertama-tama harus dilihat terlebih dahulu kondisi Hindia-Belanda (sekarang Indonesia) periode 1920-an, terutama yang berkaitan dengan gerakan busana yang yang telah mewabah dan menjangkiti masyarakat, khususnya kelas menengah. Kehadiran Barat baik sebagai entitas politik maupun kebudayaan pun dalam hal ini bersifat ambivalen. Alih-alih membawa nilai-nilai Pencerahan Eropa, lebih dari itu, berstandar ganda. Maksudnya, meskipun nilai-nilai pencerahan mengedepankan salah satu unsur humanisme, yakni egalitarianisme, Belanda dengan kecongkakanya justru bersikap rasis terhadap “pribumi”. Rasisme Kolonial dapat dilihat dalam berbagai bidang seperti sosial, budaya, ekonomi, politik, hukum dan pendidikan, bahkan dalam hal berbusana.
Gaya busana penduduk Hindia Belanda sebelum tahun 1900 dibatasi oleh aturan-aturan khusus yang dikeluarkan oleh VOC dan kemudian oleh Pemerintah Kolonial Belanda. Aturan-aturan ini berkaitan dengan busana yang boleh dan tidak boleh dikenakan. Busana Barat ditabukan bagi banyak orang. Bila pun ada pengecualian, maka ini berlaku bagi orang-orang yang dekat dengan Belanda. Di daerah-daerah di bawah kendali Belanda, hanya angggota ningrat setempat dan Protestan pribumi yang diperbolehkan meniru busana Barat. Mereka, yang bukan ningrat, bukan Protestan dan bukan Barat diharuskan setidaknya selama tinggal di Batavia mengenakan pakaian daerah masing-masing. Alasannya, tempat tinggal tetap dan pakaian yang khas memudahkan VOC untuk melakukan pengawasan terhadap tindak kejahatan.
Meski busana Barat menjadi sesuatu yang terlarang dikenakan pribumi di samping anggapan-anggapan primordial bahwa segala sesuatu yang bernuansa pribumi sebagai “kekacauan” belaka dan sumber kontaminasi, tohpenyebarannya tidak terbendung. Dengan didukung oleh kehadiran listrik yang mendorong modernitas gelombang kedua dan mesin uap yang memicu modernitas gelombang pertama, dalam periode yang relatif singkat, gaya busana Barat justru memperoleh derajat penerimaan sosial yang tinggi, terutama oleh kaum terpelajar. Alasannya, pakaian Barat akan menjadi suatu penanda seseorang mendukung perkembangan ide progresif dan gerakan modern baru. Busana Barat dengan demikian tidak saja menjadi senjata untuk menuntut kebebasan politik yang lebih besar dari sikap Belanda yang mendua, melainkan juga kritik sosial terhadap tata krama dan etiket elit lokal.
Kelas menengah sebagai lapisan sosial yang paling awal mengadopsi modernitas Barat yang dihasilkan dari kebijakan Politik Etis mampu memperagakan busana “necis” yang kemudian menjadi “tandingan” serius bagi keberadaan Barat. Lapisan sosial kelas menengah yang dimaksud itu adalah Generasi 1928 yang terkenal seperti Soekarno, Sjahrir, Amir Sjarifudin, Gatot, Sartono. Mereka dapat dianggap sebagai politisi profesional Indonesia yang pertama. Mereka merupakan generasi pertama yang secara konsisten mengadopsi necisme Barat dan memperagakannya di ruang publik secara lengkap ; memakai celana, jas, sepatu, dasi dan idealnya sebuah topi serta kumis tipis. Pada pertengahan tahun 1920an, Generasi ini masih merupakan sebuah kerumunan yang penuh warna dan bergerak cepat yang sering terlihat di antara filsafat Yunani dan Revolusi Prancis.
Menurut Kamus Bahasa Indonesia Online, necis adalah kondisi bersih dan rapi, terutama yang berkenaan dengan cara-cara berpakaian yang dilakukan oleh pria. Dalam kategori Barat, necis identik dengan mentalitas pria lajang yang sibuk dengan penampilan diri. Mereka beranggapan bahwa citra adalah segalanya. Pria necis adalah pria yang sering kali tidak berkeluarga, tidak memilki panggilan jiwa, tidak memilki pekerjaan tetap. Ia bergerak cepat melewati batas-batas, mencapuradukkan bahasa-bahasa, merayakan individualitas, mewujudkan kekacauan, sukar dipahami dan oleh karena itu merupakan ancaman serius bagi Pemerintah Kolonial Belanda. Pada kehidupan masa kini, dalam beberapa aspek, necis sejajar dengan metroseksual, yakni lelaki yang suka dandan, tampil klinis dan modis. Menyukai olah tubuh dengan mendatangi tempat-tempat kebugaran. Oleh sebab itu, lelaki jenis ini sangat selektif dalam mengatur pola makan.
Selain atribut penanda necis yang disebutkan di atas, alat penutup kepala khas di samping topi Barat yang disebut peci dipopulerkan oleh Soekarno. Kehadiran peci di sisi lain dan hubungannya dengan identitas nasionalisme Indonesia muncul hampir berbarengan dengan necisme yang telah menjadi keseharian busana kelas menengah. Soekarno menyebutnya sebagai “ciri khas saya”. Menurutnya, pertentangan antara elit yang berorientasi Barat yang baru, muda serta tidak egois memainkan peran utama dalam mengangkat peci sebagai simbol nasionalisme Indonesia.
Soekarno dalam biografinya “penyambung lidah rakyat” menceritakan bahwa ia sendirilah yang menganugerahi peci dengan arti khusus. Ide tersebut diluncurkan pada suatu pertemuan Jong Java di Surabaya sebelum Ia berangkat ke Bandung pada Juni 1921. Ketika itu, Ia merasa sedih karena menyaksikan diskusi panas di antara pihak yang disebut cendikiawan, yang membenci kain penutup kepala yang dipakai oleh priyayi Jawa sebagai pasangan sarung mereka, serta pitji yang dipakai para pengemudi betjak dan rakyat biasa lainnya. Ia memutuskan untuk memakai petji sebagai sebuah cara untuk menunjukkan solidaritasnya kepada rakyat biasa setelah melihat rekan-rekan senegaranya yang congkak berbaris melintas jalan dengan kepala rapi tanpa mengenakan tutup kepala.
Soekarno, dengan demikian telah meletakkan makna sosial terhadap peci dalam upayanya membumikan nasionalisme borjuis kaum priyayi lokal yang berorientasi Barat. Istilah nasionalisme proletar ditolaknya, sebab tujuannya bukan membuat dikotomisasi terhadap wajah sosial nasionalisme Hindia yang sedang bertumbuh, melainkan mencari titik temu yang bisa menyatukan semuanya dalam wadah Indonesia. Tidak salah bila kemudian Ia berhasil mengkombinasikan, atau lebih tepatnya melahirkan ideologi hibrid yang ia sebut marhaenisme. Dan salah satu atribut para marhaen muda dalam menggalang massa adalah peci.
Di bawah pendudukan Jepang pada tahun 1942, busana Barat kehilangan pamor dan menjelma menjadi pakaian penjara. Begitu pula dengan dasi yang tidak lagi dipakai kaum pria. Di bawah pengaruh Jepang, dasi digantikan oleh kerah terbuka, sementara peci secara luas menjadi simbol kesatuan nasional. Oleh sebab itu ketika Soekarno memproklamasikan kemerdekaan Indonesia, Ia muncul dengan memakai setelan putih dan peci namun tanpa dasi.
Necisme yang diperagakan Soekarno dari masa 1920-an hingga pasca kejatuhannya di tahun 1965, nampaknya bisa kita saksikan pada perhelatan Pilpres 2014 dan 2019. Jokowi dan Prabowo adalah tokoh sentral di dua edisi hajatan demokrasi 5 tahunan tersebut. Dibanding Jokowi, justru pada diri Prabowolah jejak necisme BK sangat kuat. Jokowi merasa nyaman dan percaya diri dengan menampilkan busana “rakyat” berselogan “kerja”. Prabowo di sisi lain justru mengkooptasi necisme BK yang nota bene identik dengan PDIP, kendaraan politik Jokowi di dua edisi pilpres.
Dalam politik, tidak menjadi masalah bila meniru busana lawan demi kalkulasi massa. Namun akan problematis jika hal itu menyaangkut dendam di masa lalu. Sebagai priyayi ningrat, di dalam dirinya mengalir darah R.M Margono Djodjohadikusumo, pendiri Bank Negara Indonesia sekaligus keturunan Panglima Banyakwide, pengikut setia Pageran Diponegoro. Ia lalu menurunkan ayah Prabowo, Sang Begawan Ekonomi Indonesia di era Orde Baru, Sumitro Djodjohadikusumo. Di era Orde Lama, ayah Prabowo menjadi eksil sebagai dampak keterlibatanya dalam pemberontakan PRRI/Permesta di Sumatera Barat pada 15 Februari 1958. Sumitro kembali ke Indonesia setelah Orde Baru berkuasa.
Dengan menyimak ulasan tersebut, dapat dikatakan bahwa secara genealogis, leluhur Prabowo sejak ayahnya, memiliki dendam politik terhadap Orde Lama Soekarno. Namun, apa yang diperagakan Prabowo dengan mengkooptasi busana musuh ayahnya dalam setiap pidato politik lebih berkaitan dengan kalkulasi politik dan branding sosial dibanding dendam masa lalu. Dan Ia sukses melahirkan citra Soekarnois kontemporer. Walaupun gagal menang, namun gelombang dukungan datang dari berbagai pihak mengaburkan catatan hitam masa lalu berkaitan dengan HAM. [T]