29 May 2025
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis
No Result
View All Result
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis
No Result
View All Result
tatkala.co
No Result
View All Result

Membaca Buku di Kerumuman Massa?

I Ketut SerawanbyI Ketut Serawan
June 27, 2019
inEsai
Membaca Buku di Kerumuman Massa?

Ilustrasi diolah dari sumber gambar di Google

51
SHARES

Coba Anda bayangkan! Anda membaca buku di tengah kerumunan massa, misalnya di sebuah pelabuhan yang padat. Tak ada sisa tempat duduk. Kursi-kursi ruang tunggu penuh. Senderan pantai juga sesak. Lalu, massa calon penumpang rela duduk lesehan di atas lantai hingga tempat parkiran, tanpa alas apa pun. Kita pasti akan menjawab “Tidak”. Pasti tidak nyaman. Terganggu banget. Bahkan, yang agak keras akan mengatakan “Nggak punya kerjaan apa?”

Namun, tidak bagi dua bule yang tak sempat kutanyakan asalnya. Dua sejoli. Kira-kira berumur 20-an. Keduanya, asik membaca buku sambil sesekali mengambil camilan di pangkuannya. Mereka seolah-olah tidak peduli dengan hiruk-pikuk dan lalu lalang calon (dan atau) penumpang. Pun tidak terpengaruh dengan tatapan mata aneh dari para penumpang domestik.

Peristiwa ini terjadi di Pelabuhan Mentigi, Nusa Penida. Waktu itu H+1 hari raya Saraswati. Puncaknya arus balik dari Pulau Nusa Penida ke Bali daratan. Ribuan calon penumpang, yang dominan domestik, menunggu diseberangkan dengan fast boat ke Pelabuhan Banjar Bias dan Pelabuhan Tribuana, Kusamba, Klungkung. Di antara ribuan calon penumpang itu termasuk aku, istri, dan anakku. Galau menunggu (dari pagi-pagi buta) karena tidak ada kepastian waktu diseberangkan.

Sebetulnya, boat memiliki jadwal pemberangkatan yang pasti. Namun, jika calon penumpang terlalu membludak, maka jadwal otomatis tidak berlaku. Perusahaan transportasi boatakan memberangkatkan begitu saja, tetapi sesuai dengan urutan pemesanan tiket. Entah mungkin lebih awal atau lambat. Tergantung situasi hari itu.

Di sela-sela menunggu itulah, kulihat 2 bule itu sibuk membaca buku. Sementara, aku dan calon penumpang lainnya ngobrol-ngobrol, main HP dan sesekali menatap laut. Sisanya, aku lihat merokok, ngopi, dan makan nasi bungkus untuk menghalau rasa jenuh menunggu.

Hingga pukul 11.30 wita, dua bule itu baru terusik konsentrasi membacanya. “Diberitahukan kepada calon penumpang yang memiliki tiket penyeberangan BoatGangga No. 18, harap naik ke Boat Gangga 5. Boatnya berada di sebelah timur jembatan. Terima kasih.” Suara loudspeaker menggema dari loket penjualan tiket. Kedua bule itu beranjak menggendong tas rangselnya, jalan dan sambil tetap membaca buku menuju boat yang dimaksud.

Ini bukan kali pertama, aku melihat bule membaca di tempat umum. Sebelumnya, aku juga berkali-kali melihat calon penumpang bule membaca buku di beberapa pelabuhan tradisional fast boat di Nusa Penida maupun di Bali daratan. Pernah juga, aku melihat anak bule membaca buku dalam mobil di Sukawati. Persisnya, di Jalan Raya Sukawati, depan Pasar Sukawati. Waktu itu, kondisi sedang macet. Aku yang ikut terjebak, secara tak sengaja melihat seorang ibu (bule) sedang konsentrasi menyetir mobil. Di sampingnya, duduk seorang anak (usia SD) asik membaca buku. Kemudian, jangan tanya bule-bule yang berjemuran santai di pantai. Biasanya, mereka menikmatinya sambil membaca buku.

Bukan kebetulan apalagi mencari sensasi atau sok pamer. Memanfaatkan waktu sambil membaca bagi para bule tampaknya sudah menjadi kebiasaan. Tentu proses pembudayaan ini sudah berlangsung lama. Buktinya, anak kecil, remaja, dewasa bahkan kakek-nenek pun sudah biasa memanfaatkan waktu luang untuk membaca. Rasanya, tidak mungkin kita meragukan budaya literasi mereka.

Oh, ya. Aku jadi ingat tahun 90-an. Waktu itu aku masih SMP dan SMA. Masa ketika GPS dan google map belum lahir dalam android. Aku pernah beberapa kali ditanyakan letak suatu daerah oleh bule melalui peta buta (manual) yang dibawanya. Mereka bepergian secara mandiri dengan pedoman membaca selembar peta buta. Kebiasaan ini juga membuktikan bahwa budaya literasinya begitu kuat.

Bagaimana dengan kita? Membaca (apalagi) di tempat umum dianggap tabu. Belum dapat diterima sebagai sesuatu yang wajar. Kalau ada, mereka sering disudutkan sebagai kutu buku (culun), dianggap pencintraan, sok pintar, dan stigma miring lainnya.

Stigma-stigma semacam inilah yang mungkin menjadi faktor lemahnya iklim literasi kita. Menurut Program for International Student Asessessment (PISA) pada tahun 2015, peringkat literasi Indonesia berada di ranking 62 dari 72 negara yang disurvei. Sementara itu, ranking performa membaca orang Indonesia berada pada ranking 60 dari 61 negara yang disurvei (Maret 2016). Lebih khusus, UNESCO pernah merilis bahwa tingkat literasi membaca di Indonesia hanya 0,001 %. Artinya, dari 1000 orang hanya 1 orang dengan minat baca tinggi.

Masa Lalu Literasi

Kalau ditengok ke belakang,kita memang memiliki sejarah literasi yang kurang bagus. Dahulu, ketika zaman kerajaan literasi dimonopoli oleh kaum elit penjabat kerajaan, keluarga raja, dan terutama keluarga brahmana (di Bali). Literasi merupakan hal tabu bagi rakyat biasa. Literasi seolah-olah dikapling oleh kaum tertentu. Di Bali misalnya, literasi menjadi milik kaum brahmana. Ini dibuktikan dengan keberadaan (sumber literasi) lontar-lontar yang disimpan di griya (lingkungan rumah kaum brahmana).

Untuk membatasi gerak literasi rakyat biasa, lontar-lontar (sebagai referensi tertulis) tidak diperkenankan dibaca oleh orang sembarangan (maksudnya rakyat biasa). “Sing dadi ngawag-ngawag maca lontar, nyanan bisa buduh” (tidak boleh sembarangan baca lontar, nanti bisa gila). Statemen ini berkembang di intern rakyat biasa. Akibatnya, mereka menjadi takut dan menjauhkan diri dari kegiatan membaca lontar.

Dalam kondisi inilah, rakyat digantung dengan tradisi kelisanan. Mereka dibiarkan tumbuh dalam budaya tutur. Segala bentuk pengetahuan dilisankan atau dituturkan secara turun-temurun, tanpa ruang untuk membaca referensi tertulis (lontar). Di samping memang, banyak yang juga buta aksara.

Griya bukan hanya menjadi sumber literasi utama, tetapi menjadi ahli (ilmuwan) zaman itu. Griya menjadi tempat nunas tutur (nasihat, petunjuk, solusi persoalan hidup, dsb). Karena itulah, hampir semua persoalan sehari-hari (yang tak terpecahkan) dimintakan solusinya atau petunjuknya ke griya. Griya menjadi semacam multiprofesionalisme mulai dari psikiater, tim medis, spiritualis, ahli budaya, astronom, dan lain sebagainya. Karena rakyat jelata biasa menjadikan griya sebagai tempat memecahkan kejiwaan, masalah kesehatan (nunas tamba), upakara, padewasaan (petunjuk hari baik), dan lain-lainnya.

Pembatasan literasi berlanjut ketika memasuki zaman penjajahan. Kaum pribumi yang dominan buta aksara dibiarkan awam berliterasi. Hanya kaum ningrat dan tokoh-tokoh masyarakat tertentu yang mengenyam pendidikan, tetapi sangat terbatas. Kebijakan ini tentu tendensius sebagai upaya pelanggengan penjajahan. Karena kaum penjajah sadar, kegiatan literasi menjadi sumber menumbuhkan pola pikir kritis dan analitis. Rawan memunculkan “kesadaran”.

Kaum pribumi dimarginalkan literasinya, sehingga tetap menjadi bodoh, miskin, dan derajat kebangsaannya di bawah kaum penjajah. Jangan-jangan pada zaman kerajaan juga demikian. Kesadaran rakyat sengaja dikerdilkan. Raja diterima sebagai titisan dewa. Posisinya hanya boleh diduduki oleh keturunan raja secara langgeng. Ini adalah anggapan kebenaran yang tidak bisa ditawar lagi. Semuanya, mungkin bermula dari minimnya literasi di kalangan rakyat biasa. Kesadaran rakyat biasa sengaja dijajah sehingga tetap menjadi kaum inferior seperti era penjajahan.

Gerakan Literasi Nasional

Untuk menumbuhkan kesadaran kebangsaan yang sejajar dengan bangsa-bangsa di dunia, pemerintah Indonesia terus berupaya menekan angka buta aksara. Hingga tahun 2017, Pusat Data dan Statistik Pendidikan dan Kebudayaan Kemendikbud mengklaim telah berhasil memberaksarakan masyarakat 97,932 %. Sisanya, yang masih buta aksara mencapai 2,068 % (3,474 juta orang). Angka buta aksara ini menurun dibandingkan dengan tahun 2015 yang mencapai 3,56 %.

Kita berharap tren penurunan buta aksara terus terjadi pada tahun-tahun mendatang. Ekspektasi ini tidak berlebihan. Pasalnya, pemerintah sangat serius terhadap persoalan ini, dengan mengeluarkan Inpres No. 5 Tahun 2006 tentang Gerakan Nasional Percepatan Penuntasan Wajib Belajar Pendidikan Dasar Sembilan Tahun dan Pemberantasan Buta Aksara (PBA). Diperkuat lagi dengan kebijakan menggiatkan Gerakan Literasi Nasional (GLN) pada tahun 2016, implementasi dari Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 23 Tahun 2015 tentang Penumbuhan Budi Pekerti.

GLN merupakan perpanjangan tangan dari gerakan pemberantasan buta aksara. Jika gerakan PBA terfokus pada memberaksarakan (baca-tulis) masyarakat, maka GLN memberdayakan keberaksaraan masyarakat menjadi sebuah kebudayaan. Faktanya, banyak lulusan sekolah formal, informal, dan nonformal belum mampu menjadikan kegiatan membaca (tulis) sebagai sebuah kebiasaan. Artinya, pasca sekolah/ kuliah, mereka tidak lagi menjaga keberlangsungan spirit membacanya. Karena belajar (membaca) sudah dianggap selesai. Dalam konteks inilah, GLN menjadi penting digalakkan.

GLN tidak hanya menjadi kompor membaca bagi siswa/ mahasiswa, termasuk masyarakat umum. GLN menghendaki bahwa membaca sebagai aktivitas sepanjang hayat, tanpa memandang usia dan tempat. Gerakan membaca harus dijaga kapan dan dimana pun. Anak-anak, remaja, dewasa, orang tua dan kakek-nenek harus bisa menjadi panutan literasi. Karena itulah, lingkungan keluarga, lembaga pendidikan termasuk masyarakat harus terus mengupayakan penggadaan fasilitas literasi.

Eksistensi panutan dan fasilitas literasi akan memudahkan kita menularkan virus literasi, sehingga makin hari jumlah pelaku dan panutan literasi kian bertambah. Jumlah ini penting untuk menciptakan iklim budaya literasi yang sehat. Jika demikian adanya, ke depan pemandangan membaca buku di tempat-tempat umum tidak lagi pelakunya didominasi oleh para bule, tetapi  juga dari kalangan masyarakat lokal (domestik). [T]

Tags: LiterasimassamasyarakatPendidikansiswa
Previous Post

Simalakama Zonasi – Jangan Mengeluh, Yang Abadi adalah Perubahan

Next Post

Kata Sumahardika: “Deklamasi Puisi itu Menubuhkan Puisi!”

I Ketut Serawan

I Ketut Serawan

I Ketut Serawan, S.Pd. adalah guru bahasa dan sastra Indonesia di SMP Cipta Dharma Denpasar. Lahir pada tanggal 15 April 1979 di Desa Sakti, Kecamatan Nusa Penida, Kabupaten Klungkung. Pendidikan SD dan SMP di Nusa Penida., sedangkan SMA di Semarapura (SMAN 1 Semarapura, tamat tahun 1998). Kemudian, melanjutkan kuliah ke STIKP Singaraja jurusan Prodi Bahasa, Sastra Indonesia dan Daerah (selesai tahun 2003). Saat ini tinggal di Batubulan, Gianyar

Next Post
Kata Sumahardika: “Deklamasi Puisi itu Menubuhkan Puisi!”

Kata Sumahardika: “Deklamasi Puisi itu Menubuhkan Puisi!”

Please login to join discussion

ADVERTISEMENT

POPULER

  • Refleksi Semangat Juang Bung Tomo dan Kepemimpinan Masa Kini

    Apakah Menulis Masih Relevan di Era Kecerdasan Buatan?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • “Muruk” dan “Nutur”, Belajar dan Diskusi ala Anak Muda Desa Munduk-Buleleng

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Tulak Tunggul Kembali ke Jantung Imajinasi

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Hari Lahir dan Pantangan Makanannya dalam Lontar Pawetuan Jadma Ala Ayu

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Film “Mungkin Kita Perlu Waktu” Tayang 15 Mei 2025 di Bioskop

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

KRITIK & OPINI

  • All
  • Kritik & Opini
  • Esai
  • Opini
  • Ulas Buku
  • Ulas Film
  • Ulas Rupa
  • Ulas Pentas
  • Kritik Sastra
  • Kritik Seni
  • Bahasa
  • Ulas Musik

Sunyi yang Melawan dan Hal-hal yang Kita Bayangkan tentang Hidup : Film “All We Imagine as Light”

by Bayu Wira Handyan
May 28, 2025
0
Sunyi yang Melawan dan Hal-hal yang Kita Bayangkan tentang Hidup : Film “All We Imagine as Light”

DI kota-kota besar, suara-suara yang keras justru sering kali menutupi yang penting. Mesin-mesin bekerja, kendaraan berseliweran, klakson bersahutan, layar-layar menyala...

Read more

Karya-karya ‘Eka Warna’ Dollar Astawa

by Hartanto
May 28, 2025
0
Karya-karya ‘Eka Warna’ Dollar Astawa

SALAH satu penggayaan dalam seni rupa yang menarik bagi saya adalah gaya Abstraksionisme. Gaya ini bukan sekadar penolakan terhadap gambaran...

Read more

Waktu Terbaik Mengasuh dan Mengasah Kemampuan Anak: Catatan dari Kakawin Nītiśāstra

by Putu Eka Guna Yasa
May 28, 2025
0
Pawisik Durga, Galungan, dan Cinta Kasih

DI mata orang tua, seorang anak tetaplah anak kecil yang akan disayanginya sepanjang usia. Dalam kondisi apa pun, orang tua...

Read more
Selengkapnya

BERITA

  • All
  • Berita
  • Ekonomi
  • Pariwisata
  • Pemerintahan
  • Budaya
  • Hiburan
  • Politik
  • Hukum
  • Kesehatan
  • Olahraga
  • Pendidikan
  • Pertanian
  • Lingkungan
  • Liputan Khusus
 Haul Buya Syafii Maarif : Kelas Reading Buya Syafii Gelar Malam Puisi dan Diskusi Publik

Haul Buya Syafii Maarif : Kelas Reading Buya Syafii Gelar Malam Puisi dan Diskusi Publik

May 27, 2025
911—Nomor Cantik, Semoga Nomor Keberuntungan Buleleng di Porprov Bali 2025

911—Nomor Cantik, Semoga Nomor Keberuntungan Buleleng di Porprov Bali 2025

May 21, 2025
Inilah Daftar Panjang Kusala Sastra Khatulistiwa 2025

Inilah Daftar Panjang Kusala Sastra Khatulistiwa 2025

May 17, 2025
Meningkat, Antusiasme Warga Muslim Bali Membuka Tabungan Haji di BSI Kantor Cabang Buleleng

Meningkat, Antusiasme Warga Muslim Bali Membuka Tabungan Haji di BSI Kantor Cabang Buleleng

May 16, 2025
Anniversary Puri Gangga Resort ke-11, Pertahankan Konsep Tri Hita Karana

Anniversary Puri Gangga Resort ke-11, Pertahankan Konsep Tri Hita Karana

May 13, 2025
Selengkapnya

FEATURE

  • All
  • Feature
  • Khas
  • Tualang
  • Persona
  • Historia
  • Milenial
  • Kuliner
  • Pop
  • Gaya
  • Pameran
  • Panggung
Sulaman Sejarah dan Alam dalam Peed Aya Duta Buleleng untuk PKB 2025
Panggung

Sulaman Sejarah dan Alam dalam Peed Aya Duta Buleleng untuk PKB 2025

LANGIT Singaraja masih menitikkan gerimis, Selasa 27 Mei 2025, ketika seniman-seniman muda itu mempersiapkan garapan seni untuk ditampilkan pada pembukaan...

by Komang Puja Savitri
May 28, 2025
Memperingati Seratus Tahun Walter Spies dengan Pameran ROOTS di ARMA Museum Ubud
Pameran

Memperingati Seratus Tahun Walter Spies dengan Pameran ROOTS di ARMA Museum Ubud

SERATUS tahun yang lalu, pelukis Jerman kelahiran Moskow, Walter Spies, mengunjungi Bali untuk pertama kalinya. Tak lama kemudian, Bali menjadi...

by Nyoman Budarsana
May 27, 2025
Pameran “Jaruh” I Komang Martha Sedana di TAT Art Space
Pameran

Pameran “Jaruh” I Komang Martha Sedana di TAT Art Space

ANAK-ANAK muda, utamanya pecinta seni yang masih berstatus mahasiswa seni sudah tak sabar menunggu pembukaan pameran bertajuk “Secret Energy Xchange”...

by Nyoman Budarsana
May 27, 2025
Selengkapnya

FIKSI

  • All
  • Fiksi
  • Cerpen
  • Puisi
  • Dongeng
Menunggu Istri | Cerpen IBW Widiasa Keniten

Menunggu Istri | Cerpen IBW Widiasa Keniten

May 25, 2025
Kampusku Sarang Hantu [1]: Ruang Kuliah 13 yang Mencekam

Kampusku Sarang Hantu [16]: Genderuwo di Pohon Besar Kampus

May 22, 2025
Puisi-puisi Sonhaji Abdullah | Adiós

Puisi-puisi Sonhaji Abdullah | Adiós

May 17, 2025
Kampusku Sarang Hantu [1]: Ruang Kuliah 13 yang Mencekam

Kampusku Sarang Hantu [15]: Memeluk Mayat di Kamar Jenazah

May 15, 2025
Puisi-puisi Hidayatul Ulum | Selasar Sebelum Selasa

Puisi-puisi Hidayatul Ulum | Selasar Sebelum Selasa

May 11, 2025
Selengkapnya

LIPUTAN KHUSUS

  • All
  • Liputan Khusus
Kontak Sosial Singaraja-Lombok: Dari Perdagangan, Perkawinan hingga Pendidikan
Liputan Khusus

Kontak Sosial Singaraja-Lombok: Dari Perdagangan, Perkawinan hingga Pendidikan

SEBAGAIMANA Banyuwangi di Pulau Jawa, secara geografis, letak Pulau Lombok juga cukup dekat dengan Pulau Bali, sehingga memungkinkan penduduk kedua...

by Jaswanto
February 28, 2025
Kisah Pilu Sekaa Gong Wanita Baturiti-Kerambitan: Jawara Tabanan Tapi Jatah PKB Digugurkan
Liputan Khusus

Kisah Pilu Sekaa Gong Wanita Baturiti-Kerambitan: Jawara Tabanan Tapi Jatah PKB Digugurkan

SUNGGUH kasihan. Sekelompok remaja putri dari Desa Baturiti, Kecamatan Kerambitan, Tabanan—yang tergabung dalam  Sekaa Gong Kebyar Wanita Tri Yowana Sandhi—harus...

by Made Adnyana Ole
February 13, 2025
Relasi Buleleng-Banyuwangi: Tak Putus-putus, Dulu, Kini, dan Nanti
Liputan Khusus

Relasi Buleleng-Banyuwangi: Tak Putus-putus, Dulu, Kini, dan Nanti

BULELENG-BANYUWANGI, sebagaimana umum diketahui, memiliki hubungan yang dekat-erat meski sepertinya lebih banyak terjadi secara alami, begitu saja, dinamis, tak tertulis,...

by Jaswanto
February 10, 2025
Selengkapnya

ENGLISH COLUMN

  • All
  • Essay
  • Fiction
  • Poetry
  • Features
Poems by Dian Purnama Dewi | On The Day When I Was Born

Poems by Dian Purnama Dewi | On The Day When I Was Born

March 8, 2025
Poem by Kadek Sonia Piscayanti | A Cursed Poet

Poem by Kadek Sonia Piscayanti | A Cursed Poet

November 30, 2024
The Singaraja Literary Festival wakes Bali up with a roar

The Singaraja Literary Festival wakes Bali up with a roar

September 10, 2024
The Strength of Women – Inspiring Encounters in Indonesia

The Strength of Women – Inspiring Encounters in Indonesia

July 21, 2024
Bali, the Island of the Gods

Bali, the Island of the Gods

May 19, 2024

TATKALA.CO adalah media umum yang dengan segala upaya memberi perhatian lebih besar kepada seni, budaya, dan kreativitas manusia dalam mengelola kehidupan di tengah-tengah alam yang begitu raya

  • Penulis
  • Tentang & Redaksi
  • Kirim Naskah
  • Pedoman Media Siber
  • Kebijakan Privasi
  • Desclaimer

Copyright © 2016-2024, tatkala.co

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In
No Result
View All Result
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis

Copyright © 2016-2024, tatkala.co