Coba Anda bayangkan! Anda membaca buku di tengah kerumunan massa, misalnya di sebuah pelabuhan yang padat. Tak ada sisa tempat duduk. Kursi-kursi ruang tunggu penuh. Senderan pantai juga sesak. Lalu, massa calon penumpang rela duduk lesehan di atas lantai hingga tempat parkiran, tanpa alas apa pun. Kita pasti akan menjawab “Tidak”. Pasti tidak nyaman. Terganggu banget. Bahkan, yang agak keras akan mengatakan “Nggak punya kerjaan apa?”
Namun, tidak bagi dua bule yang tak sempat kutanyakan asalnya. Dua sejoli. Kira-kira berumur 20-an. Keduanya, asik membaca buku sambil sesekali mengambil camilan di pangkuannya. Mereka seolah-olah tidak peduli dengan hiruk-pikuk dan lalu lalang calon (dan atau) penumpang. Pun tidak terpengaruh dengan tatapan mata aneh dari para penumpang domestik.
Peristiwa ini terjadi di Pelabuhan Mentigi, Nusa Penida. Waktu itu H+1 hari raya Saraswati. Puncaknya arus balik dari Pulau Nusa Penida ke Bali daratan. Ribuan calon penumpang, yang dominan domestik, menunggu diseberangkan dengan fast boat ke Pelabuhan Banjar Bias dan Pelabuhan Tribuana, Kusamba, Klungkung. Di antara ribuan calon penumpang itu termasuk aku, istri, dan anakku. Galau menunggu (dari pagi-pagi buta) karena tidak ada kepastian waktu diseberangkan.
Sebetulnya, boat memiliki jadwal pemberangkatan yang pasti. Namun, jika calon penumpang terlalu membludak, maka jadwal otomatis tidak berlaku. Perusahaan transportasi boatakan memberangkatkan begitu saja, tetapi sesuai dengan urutan pemesanan tiket. Entah mungkin lebih awal atau lambat. Tergantung situasi hari itu.
Di sela-sela menunggu itulah, kulihat 2 bule itu sibuk membaca buku. Sementara, aku dan calon penumpang lainnya ngobrol-ngobrol, main HP dan sesekali menatap laut. Sisanya, aku lihat merokok, ngopi, dan makan nasi bungkus untuk menghalau rasa jenuh menunggu.
Hingga pukul 11.30 wita, dua bule itu baru terusik konsentrasi membacanya. “Diberitahukan kepada calon penumpang yang memiliki tiket penyeberangan BoatGangga No. 18, harap naik ke Boat Gangga 5. Boatnya berada di sebelah timur jembatan. Terima kasih.” Suara loudspeaker menggema dari loket penjualan tiket. Kedua bule itu beranjak menggendong tas rangselnya, jalan dan sambil tetap membaca buku menuju boat yang dimaksud.
Ini bukan kali pertama, aku melihat bule membaca di tempat umum. Sebelumnya, aku juga berkali-kali melihat calon penumpang bule membaca buku di beberapa pelabuhan tradisional fast boat di Nusa Penida maupun di Bali daratan. Pernah juga, aku melihat anak bule membaca buku dalam mobil di Sukawati. Persisnya, di Jalan Raya Sukawati, depan Pasar Sukawati. Waktu itu, kondisi sedang macet. Aku yang ikut terjebak, secara tak sengaja melihat seorang ibu (bule) sedang konsentrasi menyetir mobil. Di sampingnya, duduk seorang anak (usia SD) asik membaca buku. Kemudian, jangan tanya bule-bule yang berjemuran santai di pantai. Biasanya, mereka menikmatinya sambil membaca buku.
Bukan kebetulan apalagi mencari sensasi atau sok pamer. Memanfaatkan waktu sambil membaca bagi para bule tampaknya sudah menjadi kebiasaan. Tentu proses pembudayaan ini sudah berlangsung lama. Buktinya, anak kecil, remaja, dewasa bahkan kakek-nenek pun sudah biasa memanfaatkan waktu luang untuk membaca. Rasanya, tidak mungkin kita meragukan budaya literasi mereka.
Oh, ya. Aku jadi ingat tahun 90-an. Waktu itu aku masih SMP dan SMA. Masa ketika GPS dan google map belum lahir dalam android. Aku pernah beberapa kali ditanyakan letak suatu daerah oleh bule melalui peta buta (manual) yang dibawanya. Mereka bepergian secara mandiri dengan pedoman membaca selembar peta buta. Kebiasaan ini juga membuktikan bahwa budaya literasinya begitu kuat.
Bagaimana dengan kita? Membaca (apalagi) di tempat umum dianggap tabu. Belum dapat diterima sebagai sesuatu yang wajar. Kalau ada, mereka sering disudutkan sebagai kutu buku (culun), dianggap pencintraan, sok pintar, dan stigma miring lainnya.
Stigma-stigma semacam inilah yang mungkin menjadi faktor lemahnya iklim literasi kita. Menurut Program for International Student Asessessment (PISA) pada tahun 2015, peringkat literasi Indonesia berada di ranking 62 dari 72 negara yang disurvei. Sementara itu, ranking performa membaca orang Indonesia berada pada ranking 60 dari 61 negara yang disurvei (Maret 2016). Lebih khusus, UNESCO pernah merilis bahwa tingkat literasi membaca di Indonesia hanya 0,001 %. Artinya, dari 1000 orang hanya 1 orang dengan minat baca tinggi.
Masa Lalu Literasi
Kalau ditengok ke belakang,kita memang memiliki sejarah literasi yang kurang bagus. Dahulu, ketika zaman kerajaan literasi dimonopoli oleh kaum elit penjabat kerajaan, keluarga raja, dan terutama keluarga brahmana (di Bali). Literasi merupakan hal tabu bagi rakyat biasa. Literasi seolah-olah dikapling oleh kaum tertentu. Di Bali misalnya, literasi menjadi milik kaum brahmana. Ini dibuktikan dengan keberadaan (sumber literasi) lontar-lontar yang disimpan di griya (lingkungan rumah kaum brahmana).
Untuk membatasi gerak literasi rakyat biasa, lontar-lontar (sebagai referensi tertulis) tidak diperkenankan dibaca oleh orang sembarangan (maksudnya rakyat biasa). “Sing dadi ngawag-ngawag maca lontar, nyanan bisa buduh” (tidak boleh sembarangan baca lontar, nanti bisa gila). Statemen ini berkembang di intern rakyat biasa. Akibatnya, mereka menjadi takut dan menjauhkan diri dari kegiatan membaca lontar.
Dalam kondisi inilah, rakyat digantung dengan tradisi kelisanan. Mereka dibiarkan tumbuh dalam budaya tutur. Segala bentuk pengetahuan dilisankan atau dituturkan secara turun-temurun, tanpa ruang untuk membaca referensi tertulis (lontar). Di samping memang, banyak yang juga buta aksara.
Griya bukan hanya menjadi sumber literasi utama, tetapi menjadi ahli (ilmuwan) zaman itu. Griya menjadi tempat nunas tutur (nasihat, petunjuk, solusi persoalan hidup, dsb). Karena itulah, hampir semua persoalan sehari-hari (yang tak terpecahkan) dimintakan solusinya atau petunjuknya ke griya. Griya menjadi semacam multiprofesionalisme mulai dari psikiater, tim medis, spiritualis, ahli budaya, astronom, dan lain sebagainya. Karena rakyat jelata biasa menjadikan griya sebagai tempat memecahkan kejiwaan, masalah kesehatan (nunas tamba), upakara, padewasaan (petunjuk hari baik), dan lain-lainnya.
Pembatasan literasi berlanjut ketika memasuki zaman penjajahan. Kaum pribumi yang dominan buta aksara dibiarkan awam berliterasi. Hanya kaum ningrat dan tokoh-tokoh masyarakat tertentu yang mengenyam pendidikan, tetapi sangat terbatas. Kebijakan ini tentu tendensius sebagai upaya pelanggengan penjajahan. Karena kaum penjajah sadar, kegiatan literasi menjadi sumber menumbuhkan pola pikir kritis dan analitis. Rawan memunculkan “kesadaran”.
Kaum pribumi dimarginalkan literasinya, sehingga tetap menjadi bodoh, miskin, dan derajat kebangsaannya di bawah kaum penjajah. Jangan-jangan pada zaman kerajaan juga demikian. Kesadaran rakyat sengaja dikerdilkan. Raja diterima sebagai titisan dewa. Posisinya hanya boleh diduduki oleh keturunan raja secara langgeng. Ini adalah anggapan kebenaran yang tidak bisa ditawar lagi. Semuanya, mungkin bermula dari minimnya literasi di kalangan rakyat biasa. Kesadaran rakyat biasa sengaja dijajah sehingga tetap menjadi kaum inferior seperti era penjajahan.
Gerakan Literasi Nasional
Untuk menumbuhkan kesadaran kebangsaan yang sejajar dengan bangsa-bangsa di dunia, pemerintah Indonesia terus berupaya menekan angka buta aksara. Hingga tahun 2017, Pusat Data dan Statistik Pendidikan dan Kebudayaan Kemendikbud mengklaim telah berhasil memberaksarakan masyarakat 97,932 %. Sisanya, yang masih buta aksara mencapai 2,068 % (3,474 juta orang). Angka buta aksara ini menurun dibandingkan dengan tahun 2015 yang mencapai 3,56 %.
Kita berharap tren penurunan buta aksara terus terjadi pada tahun-tahun mendatang. Ekspektasi ini tidak berlebihan. Pasalnya, pemerintah sangat serius terhadap persoalan ini, dengan mengeluarkan Inpres No. 5 Tahun 2006 tentang Gerakan Nasional Percepatan Penuntasan Wajib Belajar Pendidikan Dasar Sembilan Tahun dan Pemberantasan Buta Aksara (PBA). Diperkuat lagi dengan kebijakan menggiatkan Gerakan Literasi Nasional (GLN) pada tahun 2016, implementasi dari Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 23 Tahun 2015 tentang Penumbuhan Budi Pekerti.
GLN merupakan perpanjangan tangan dari gerakan pemberantasan buta aksara. Jika gerakan PBA terfokus pada memberaksarakan (baca-tulis) masyarakat, maka GLN memberdayakan keberaksaraan masyarakat menjadi sebuah kebudayaan. Faktanya, banyak lulusan sekolah formal, informal, dan nonformal belum mampu menjadikan kegiatan membaca (tulis) sebagai sebuah kebiasaan. Artinya, pasca sekolah/ kuliah, mereka tidak lagi menjaga keberlangsungan spirit membacanya. Karena belajar (membaca) sudah dianggap selesai. Dalam konteks inilah, GLN menjadi penting digalakkan.
GLN tidak hanya menjadi kompor membaca bagi siswa/ mahasiswa, termasuk masyarakat umum. GLN menghendaki bahwa membaca sebagai aktivitas sepanjang hayat, tanpa memandang usia dan tempat. Gerakan membaca harus dijaga kapan dan dimana pun. Anak-anak, remaja, dewasa, orang tua dan kakek-nenek harus bisa menjadi panutan literasi. Karena itulah, lingkungan keluarga, lembaga pendidikan termasuk masyarakat harus terus mengupayakan penggadaan fasilitas literasi.
Eksistensi panutan dan fasilitas literasi akan memudahkan kita menularkan virus literasi, sehingga makin hari jumlah pelaku dan panutan literasi kian bertambah. Jumlah ini penting untuk menciptakan iklim budaya literasi yang sehat. Jika demikian adanya, ke depan pemandangan membaca buku di tempat-tempat umum tidak lagi pelakunya didominasi oleh para bule, tetapi juga dari kalangan masyarakat lokal (domestik). [T]