NAMANYA Anne Spudvilas. Lima puluhan tahunan sepertinya. Seorang seniman kolumnis untuk pers Melbourne. Kemarin, ia mengisi satu sesi di Ubud Writers and Readers Festival (UWRF) 2018. Pesertanya anak-anak, belasan tahun, dengan kegiatan menggambar dan mendengar Anne bertutur.
Kali ini bukan tentang gambar maupun tutur ceritanya. Tapi, tentang hal-hal kecil yang nampaknya sering terlupa oleh banyak orang tentang proses belajar. Tentang cara membangun pengetahuan, juga keterampilan.
Kendati seorang seniman, Anne adalah guru yang baik. Pedagoginya praktis dan teramati jelas selama sesi saat ia berbicara. Lebih mudah ditangkap ketimbang mendengar seminar atau mengikuti lokakarya tentang cara-cara mengajar yang sering kali membosankan. Tapi, toh itu kadang tetap penting, selain untuk menjalankan program kerja, juga untuk penghabisan anggaran.
***
Anne merayakan keragaman dengan penuh suka cita. Kala itu ia mengajak anak-anak menggambar kepala kucing pada selembar kertas buram. Dituntunnya mereka tahap demi tahap. Diawali dengan membuat lingkaran kepala, segitiga untuk telinga, bulatan tak sempurna sebagai mata, hingga arsiran halus tanda rambut di sekujur kepada kucing imajintif itu.
Sampai suatu ketika ia akhirnya mengamati seluruh gambar buatan peserta, senyum pecah dari wajahnya. “Wow, semua punya gambar kepala kucing yang berbeda, bagus sekali”, kira-kira begitu katanya setelah dialihbahasakan.
Ia tak menuntut sama sekali agar anak-anak membuat gambar persis sebagaimana yang ia buat. Yang dilakukannya hanya menuntun imajinasi peserta agar sampai ke kepala kucing. Bukan mengirim gambar kepala kucing dengan detail yang ia buat ke kertas milik anak-anak.
Sampai di sini dapat dilihat bahwa Anne sadar betul bahwa setiap anak punya imajinasi yang beragam. Imajinasi itu tak perlu dipaksa menjadi seragam dalam bentuk detail. Ia paham bahwa pada dasarnya yang harus tercapai adalah gambar sebuah kepala kucing. Entah lewat imajinasi yang mana kepada kucing itu akhirnya muncul di atas kertas, itu urusan setiap individu dengan kemerdekannya masing-masing.
Lain hal dengan pembelajaran formal di sekolah, imajinasi siswa kerap kali terkurung oleh satu patokan kebenaran atau kekakuan. Misalnya, jawaban soal ulangan mesti sesuai kalimatnya dengan isi buku teks. Padahal, tujuannya kan idenya sampai, prihal kalimat berbeda, itu domain individu.
Keragaman yang dirayakan Anne dapat mengajak anak-anak berpikir divergen. Itu sepertinya patut ditiru. Karena, imajinasi siswa di dalam kelas memang hendaknya merdeka.
Anne sangat menghargai proses.Pada kesempatan lain di sesi yang sama, seorang Ibu mendapati gambaran anaknya tak serupa dengan gambar yang dibuat Anne lalu berupaya memperbaiki gambar anaknya. Spontan saat melihat kejadian itu, Anne berkata “Jangan diganggu, biarkan dia membuatnya sendiri, apapun yang dibuat anakmu, itu adalah yang terbaik”.
Dalam hal ini, Anne secara gamblang mempertontonkan teori belajar konstruktivisme. Dimana pengetahuan dan keterampilan terbangun oleh pengalaman belajar. Pengalaman menyentuh langsung pengetahuan itu dengan indera yang dimiliki manusia. Benar memang, Edgar Dale pun menyatakan hal serupa bahwa cara belajar paling efektif adalah learning by doing.
Anne tak peduli seburuk apapun gambar kepada kucing yang dibuat para peserta. Yang ia titik beratkan adalah anak-anak telah melakukannya dengan perasan keringat mereka sendiri. Ia menempatkan anak-anak itu sebagai subjek belajar. Secara langsung. Tanpa perantara.
Bagian terpenting dari hal ini adalah anak-anak telah berproses. Prihal hasil baik ataupun tidak, itu hanya menjadi bonus dari seberapa sering proses itu dilatihkan. Jadi, apabila ingin mendapat bonus yang baik, maka keringat proses harus mengalir lebih deras.
Di ruang kelas, hal itu nampaknya belum begitu masif terjadi. Masih ada oknum guru yang sepertinya abai dengan proses belajar yang memberikan pengalaman langsung. Masih ada oknum guru yang orientasi utamanya di depan kelas adalah menyampaikan dan menghabiskan materi sesuai tuntuntan kurikulum.
Hingga, apabila itu berlanjut, belajar bukan lagi menjadi proses membangun pengetahuan yang berguna untuk kehidupan, melainkan hanya sekadar untuk lulus ujian. Banyak orang yang harus belajar dari Anne tentang hal ini.
***
Saat sesi berakhir, aku makin sadar bahwa belajar memang bisa dilakukan dimana saja dan kapan saja. Dan, tak melulu harus didapat dari guru. Semua tempat adalah sekolah, semua orang adalah guru. Kendati UWRF sejatinya adalah festival sastra, tapi, toh ia terbukti membuka mataku lebih lebar tentang pedagogi melalui Anne. (T)