SANGGAR Semara Ratih, Ubud Gianyar, tampaknya memanfaatkan betul ajang Bali Mandara Mahalango untuk memempertunjukkan sejumlah puncak pencapaian seni tari dan tabuh dari tiga zaman yang berbeda, di Bali, atau khususnya di wilayah Ginanyar. Ketika pentas di Taman Budaya Denpasar, Kamis malam, 27 Juli 2017, sanggar itu menampilakn karya-karya besar dari tahun 1950-an, 1980-an, hingga zaman kini.
Antara lain, Sanggar Semara Ratih menampilkan tabuh Manuk Aguci yang diciptakan tahun 1950 an. Menurut budayawan Prof. Dr. I Made Bandem yang berada di antara penonton malam itu, tabuh Manuk Aguci itu diciptakan oleh I Wayan Senen dari Banjar Pinda, Saba. Wayan Senen seorang pemain terompong, pemain kendang dan pencipta tabuh klasik di Pinda.
Tabuh Manuk Aguci adalah sejenis tabuh klasik yang memakai gegambangan, gegenderan wayang. Sehingga, kata Bandem, penampilan tabuh dari Sanggar Semara Ratih itu bisa disebut sebagai bentuk revitalisasi tabuh.
Di sisi lain, Sanggar Semara Ratih juga menampilkan tari-tarian yang diciptakan pada tahun 1986 seperti tari Cilinaya karya Prof. Dr. I Wayan Dibia, SST,MA. Selain itu juga dipentaskan tarian penyambutan yang diduga lebih klasik dari tari-tari penyambutan yang ada sekarang.
Menurut Bandem, upaya yang dilakukan Sanggar Semara Ratih bisa disebut sebagai satu bentuk penyelamatan dan kaderisasi dari gong-gong kebyar yang telah lama diciptakan. Dan, itulah salah satu tujuan dari ajang Bali Mandara Mahalango, yakni menginventarisasikan karya-karya yang sudah populer di zaman dulu dan sekarang kembali dihidupkan.
Selain menampilkan tari Cilinaya, Sanggar Semara Ratih juga menampilkan tari Amangun Semara yang menceritakan tentang Dewa Siwa yang melakukan yoga semadhi dengan tekun di Gunung Mahameru. Dewa Siwa tak acuh dengan segala sesuatu yang memikat panca indera.
Ada juga tari Gadung Melati dan tari Legong Atma Prasangsya. “Kalau tari legong yang terakhir (tari Legong Atma Prasangsya –red) saya kira itu karya anak tamatan ISI Denpasar. Masih sejenis karya-karya tugas akhir anak ISI Denpasar. Kostumnya bagus, tariannya cukup tetapi terlalu ramai kalau menurut saya. Semua angsel-angsel gending diisi igel. Padahal bisa disederhanakan gerak-geraknya akan menjadi lebih sederhana. Kalau itu dilakukan dapat menjadi suatu karya yang lebih hidup ke depannya,” jelas Bandem.
Kordinator Sanggar Semara Ratih, Ubud, Gianyar, A.A. Anom Putra atau yang lebih dikenal dengan nama A.A, Anom Baris (karena ahli menari baris-red), mengakui apa yang diutarakan Bandem tentang revitalisasi seni tari dan seni tabuh dalam pementasan sanggar tarinya. Pada penampilan pementasan ini memang ditampilkan karya-karya seni tari dan tabuh dari tiga jaman berbeda.
Ada seni lokal yang tergolong klasik. Ada seni setelah ada perkembangan. Dan ada karya seni modern. “Karena saya ingin memperlhatkan kepada penonton tentang perbandingan dan perbedaan dari perkembangan seni tari dan tabuh di Bali dari dulu hingga saat ini,” ujar Anom Putra.
Sehingga, menurut Anom Putra, penonton dapat merasakan perbedaan dari karya-karya seni tari dan seni tabuh di Bali. Pementasan ini sekaligus memberi kesempatan kepada penonton bagaimana rasanya menonton seni tari dan seni tabuh dari tiga jaman sekaligus di satu panggung secara bergiliran.
Konsep dasarnya adalah bagaimana kita memiliki kesenangan melestarikan kebudayaan. Kalau kita lihat di zaman post modern ini banyak sekali pengaruh-pengaruh dari luar. “Apakah dengan kondisi ini akan menghilangkan gerak-gerak dasar tari kita,” katanya. (T/R)