DUA tupai, Cempa dan Sanda, bertualang ke tengah hutan. Mereka mengembara dari dahan ke dahan dan mendapat kegembiraan di sana. Berbagai pohon besar maupun kecil mereka sambangi. Pada banyak pohon mereka mendapatkan keunikan yang membuat mereka merasa terhibur.
Saking asyiknya, mereka masuk ke dalam hutan belantara lebat yang asing. Di hutan itu terdapat ribuan pohon besar dan tinggi yang tumbuh berdesakan antara pohon satu dengan pohon lainnya. Karena begitu rapatnya, daun-daun pohon itu saling bertemu sehingga nyaris tak menyisakan celah bagi sinar matahari untuk menerobos ke dalamnya. Kawasan hutan itu pun jadi lembab dan penuh lumut.
Cempa, tupai yang tubuhnya lebih kecil sudah merasa gentar begitu pertama kali melihat hutan itu. Ia merasa ragu ketika Sanda, sahabatnya sejak bayi, mengajak masuk ke hutan remang itu.
“Di sini terasa aneh,” ucapnya lemah sambil menarik dirinya selangkah ke belakang.
“Kita telah melewati banyak keanehan, dan kita baik-baik saja sekarang,” jawab Sanda.
“Tapi, yang ini lain,” kilah Cempa.
“Justru karena lain itulah dia tampak menarik. Kalau sama, buat apa kita kunjungi?” tukas Sanda sembari melompat masuk ke tengah hutan itu.
Sanda memang pemberani. Dia juga teguh hati. Dia sangat bergairah terhadap tantangan dan selalu tenang menghadapinya. Berbeda dengan Cempa. Dia lebih mudah jerih dan ciut hati. Dia juga gampang menangis ketika sedikit saja ada hal yang membuat hatinya tak nyaman. Tapi semenjak bersahabat dengan Sanda, ia menjadi lebih tabah dan kuat.
“Kau mau ikut masuk?” tanya Sanda.
Cempa diam. Wajahnya tampak ragu.
“Kalau takut, tunggu saja di sini. Aku mau masuk sebentar saja dalam sana,” Sanda berbalik dan melangkah masuk ke dalam hutan.
“Tunggu! Aku ikut!” teriak Cempa sambil berlari menyusul.
Lima menit setelah itu, keduanya telah berada di dahan sebuah pohon raksasa. Di situ keduanya terpesona melihat sulur dan lumut yang terkena terobosan cahaya matahari. Mereka seperti melihat untaian manik-manik hijau berlatar permadani. Sungguh menakjubkan.
Keterpesonaan itu membuat Sanda dan Cempa lupa waktu. Ketika sadar bahwa mereka harus kembali pulang, hari telah senja. Matahari yang bersiap surut di ufuk barat membuat suasana menjadi temaram. Dan, suasana itu membuat keduanya lupa jalan pulang.
Dua jam mereka tak berhasil menemukan arah untuk kembali. Seolah-olah semua jalan mengantarkan mereka ke arah yang salah. Semakin gelap, semakin sulit bagi keduanya untuk mencari jalan pulang.
Cempa sudah menangis satu setengah jam lalu. Berkali-kali ia menyalahkan Sanda yang nekat masuk ke hutan asing ini. Namun Sanda tetap tenang. Ia berkonsentrasi untuk mengingat kembali jalan-jalan yang tadi mereka lalui.
“Kau sudah lama menjadi anak yang tabah. Kenapa sekarang kau mudah menangis lagi?” ucap Sanda kalem.
“Kita tersesat! Jika terus terjebak di sini, kita bisa celaka!” sergah Cempa.
“Tapi kita harus tetap tenang. Panik akan membuat situasi semakin buruk,” balas Sanda.
Seperti tak mendengar ucapan Sanda, Cempa terus terisak. Persis seperti ketika ia masih sebagai anak cengeng dulu. Apalagi setelah satu jam berlalu lagi tapi jalan keluar belum mereka temukan, isaknya semakin menjadi-jadi.
“Tenang. Yakinlah kita akan segera keluar dari sini dengan selamat,” hibur Sanda.
“Tapi kita sudah berjam-jam di sini dan hutan semakin gelap!” sergah Cempa.
“Kata ayahku, seburuk apa pun situasi, kita harus tetap tenang!” balas Sanda lalu bersiul. Sanda bersiul untuk tetap menguatkan hatinya. Sebab sesungguhnya hatinya juga sudah mulai gugup. Dengan hati yang tetap kuat itu, Sanda dengan sabar mencari jalan keluar.
Setiap jalan yang telah ia lewati ia beri tanda silang. Ketika merasa tersesat, ia turuti tanda-tanda tadi untuk kembali. Dengan cara begitu, setengah jam kemudian Sanda menemukan sebuah jalan yang semakin lama semakin terang. Sambil tetap bersiul ia terus menurutinya. Dan, ketenangannya berbuah manis. Tak sampai lima menit setelah itu ia dan Cempa telah berada di luar hutan gelap.
“Terimakasih, Sanda. Untung kau tetap tenang,” teriak Cempa girang.
Wajah meweknya berubah cerah. Sanda tersenyum. “Kalau aku tadi panik juga, mungkin sampai sekarang masih ada lomba menangis di dalam hutan sana,” jawabnya sambil tertawa lebar. Cempa menyerbu dan memeluk Sanda erat sekali.
CATATAN BAGI ORANGTUA
- Dongeng ini ditulis Agung Bawantara untuk membantu menangani anak yang cengeng.
- Setelah bercerita, jangan menyimpulkan. Biarkan anak mencerna sendiri isi dan moral cerita.
- Upayakan anak tak merasa dirinya disindir oleh cerita.
- Perlambat membaca dan beri tekanan yang lebih tegas pada kalimat yang diberi high light.
- Bila perlu diulang. Ingat, jangan sampai si anak merasa sengaja disindir dengan kalimat itu.