BEBERAPA hari ke belakang situasi politik Indonesia menghangat. Ditambah lagi media yang memberitakannya setiap hari. Kemarin, Saya mencoba untuk mengikuti isu ini lebih dalam. Momen yang pas ketika Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), Presiden Indonesia ke-6 yang sekarang menjabat sebagai Ketua Umum Partai Demokrat memberikan keterangan pers terkait pandangannya terhadap gejolak politik yang terjadi.
Dalam hal ini, saya memang hanya mengikutinya melalui akun youtube. Sehingga saya tidak tahu pasti kebenaran yang terjadi ketika penyampaian keterangan pers itu berlangsung. Namun, hal tersebut bukan menjadi alasan untuk tidak berpikir secara lebih dalam.
Saya mulai dengan isi keterangan pers tersebut. Awalnya, saya tersenyum senang ketika SBY mengucapkan salam yang berisikan Om Swastyastu. Sebuah salam yang jarang terdengar dari pimpinan negeri ini, bahkan Presiden Jokowi pun jarang mengucapkannya. Salam tersebut membuat saya merasa dimiliki sebagai bagian dari tanah bhinneka ini. Saya kemudian melanjutkan menyimak penyampaian pers tersebut.
Banyak hal yang benar disampaikan oleh SBY, termasuk tentang supremasi hukum dan kebebasan warga negara untuk berdemonstrasi sebagai wujud penyaluran aspirasi di sebuah tanah demokrasi. Saya senang mendengarnya, walaupun ada kesan membandingkan pemerintahannya dengan pemerintahan saat ini. Wajar saja, menurut saya itu cukup manusiawi bahkan bagi seorang purnawirawan jenderal bintang empat.
Namun, ketika SBY menyinggung persoalan rencana demonstrasi pada tanggal 4 November 2016 saya mulai mengerutkan dahi. Demonstrasi yang akan dilakukan sebagian masyarakat yang menganggap Ahok telah melakukan penistaan agama dan menyerukan agar Ahok diproses hukum.
Saya mengutip penyampaian beliau yang kira-kira bunyinya seperti ini
……Pak Ahok, Gubernur Jakarta Basuki Tjahaya Purnama dianggap menistakan agama. Ayo kita kembali di situ dulu. Penistaan agama itu secara hukum tidak boleh dan dilarang. Kembali ke sistem hukum kita, kembali ke KUHP kita. Di Indonesia sudah ada yurisprudensi sudah ada presiden, sudah ada penegakan hukum di waktu yang lalu menyangkut urusan ini, yang terbukti bersalah juga telah diberikan sanksi. Jadi, kalau ingin negara kita ini tidak terbakar oleh amarah penuntut keadilan. Jangan salah kutip, negara ini tidak terbakar oleh para penuntut keadilan.
Pak Ahok, ya mesti diproses secara hukum, jangan sampai beliau dianggap kebal hukum. Ingat equality before the law, itu adalah bagian dari nilai-nilai demokrasi. Negara kita negara hukum. Kalau beliau diproses tidak perlu ada tudingan Pak Ahok tidak boleh disentuh. Bayangkan do not touch Pak Ahok. Bayangkan. Nah, setelah Pak Ahok diproses secara hukum, semua pihak menghormati. Ibaratnya jangan gaduh. Cegah tekanan dari manapun, baik tekanan yang mengatakan, ini kepada penegak hukum ya.
Tekanan yang mengatakan pokoknya Ahok harus bebas, atau tekanan pokoknya Agus, ulangi, pokoknya Gubernur Ahok harus dinyatakan bersalah. Tidak boleh, serahkan kepada penegak hukum. Apakah Pak Ahok tidak bersalah nantinya, bebas. Atau Pak Ahok dinyatakan bersalah. Jangan ditekan biarkan para penegak hukum kita bekerja, begitu aturan mainnya, begitu etikanya…….
***
Sebuah wacana yang terkesan bijaksana oleh seseorang yang pernah memimpin negeri ini selama 10 tahun. Menyerukan supremasi hukum. Menekankan bahwa semua orang adalah sama di mata hukum, dan tidak ada seorang pun yang tidak dapat disentuh oleh hukum.
Seketika saya lalu berpikir, kalau SBY meminta Ahok untuk diproses hukum karena dianggap telah melakukan penistaan agama, lalu, ke mana SBY ketika Ibas dianggap terlibat kasus korupsi wisma atlet dan SKK Migas oleh M. Nazaruddin (mantan bendahara Partai Demokrat) beberapa tahun silam? Kenapa pernyataan yang sama tidak diucapkannya?
Saya berandai-andai jika sekarang kutipan keterangan pers tersebut tokoh atas nama Ahok diganti dengan Ibas, lalu kasus penistaan agama diganti dengan kasus korupsi Hambalang, bunyinya akan kira-kira menjadi begini.
……Pak Ibas, Sekretaris Jendral Partai Demokrat dianggap terlibat dalam kasus korupsi wisma atlet dan SKK Migas menurut keterangan M. Nazarudin. Ayo kita kembali disitu dulu. Korupsi itu secara hukum tidak boleh dan dilarang. Kembali ke sistem hukum kita, kembali ke KUHP kita. Di Indonesia sudah ada yurisprudensi sudah ada presiden, sudah ada penegakan hukum di waktu yang lalu menyangkut urusan ini, yang terbukti bersalah juga telah diberikan sanksi. Jadi, kalau ingin Negara kita ini tidak terbakar oleh amarah penuntut keadilan. Jangan salah kutip, Negara ini tidak terbakar oleh para penuntut keadilan.
Pak Ibas, ya mesti diproses secara hukum, jangan sampai beliau dianggap kebal hukum. Ingat equality before the law, itu adalah bagian dari nilai-nilai demokrasi. Negara kita Negara hukum. Kalau beliau diproses tidak perlu ada tudingan Pak Ibas tidak boleh disentuh. Bayangkan do not touch Pak Ibas. Bayangkan. Nah, setelah Ibas diproses secara hukum, semua pihak menghormati. Ibaratnya jangan gaduh. Cegah tekanan dari manapun, baik tekanan yang mengatakan, ini kepada penegak hukum ya.
Tekanan yang mengatakan pokoknya Ibas harus bebas, atau tekanan pokoknya Agus, ulangi, pokoknya Sekjen Ibas harus dinyatakan bersalah. Tidak boleh, serahkan kepada penegak hukum. Apakah Pak Ibas tidak bersalah nantinya, bebas. Atau Pak Ibas dinyatakan bersalah. Jangan ditekan biarkan para penegak hukum kita bekerja, begitu aturan mainnya, begitu etikanya…….
***
Saya memandang kedua kasus tersebut berdiri setara. Keduanya baru sekadar anggapan dari pihak tertentu. Ahok dianggap menistakan agama oleh beberapa tokoh agama, dan Ibas dianggap terlibat kasus korupsi oleh M. Nazaruddin.
Sekali lagi, keduanya masih berupa anggapan. Kedua, kasus tersebut sama-sama melanggar hukum. Yang satu penistaan agama, satunya lagi korupsi. Lalu, apa beda kedua kasus tersebut? Kenapa Ibas dulu terkesan tidak tersentuh? Apakah karena dulu yang dianggap melanggar hukum adalah anaknya dan sekarang yang dianggap melanggar hukum adalah lawan politik anaknya?
Selanjutnya saya mulai berpikir, kalau pemimpin negara saja tidak bisa memandang rakyatnya dengan setara di mata hukum terlepas dari ikatan apapun, bagaimana mungkin dia dapat menyerukan bahwa semua orang harus sama di mata hukum.
Setara yang bagaimanakah yang dimaksud? Apakah ketika kamu adalah anakku, seketika kamu lalu kupandang tak setara? Atau apakah ketika kamu adalah lawan politik anakku, aku akan dengan segera menyerukan supremasi hukum?
Maaf, tulisan ini sama sekali bukan untuk menyudutkan pihak manapun, saya hanya mencoba belajar untuk berpikir lebih dalam. Lalu, mencoba mengajak orang lain untuk mampu menganalisis lebih kompleks sehingga siapapun mereka tidak berbicara sesuai keadaan yang sedang dia terima. Bukankah pemimpin adalah contoh? Lalu, apakah ini patut kita contoh? Jawabannya kembali ada pada diri masing-masing.
Semoga Indonesia tetap bersatu, tetap berdiri kokoh di atas tanah bhinneka yang diperjuangkan dengan tetes darah para pendiri bangsa terdahulu. (T)