SEBUAH foto menyimpan seribu kata. Sementara teks memberi penekanan pada pemaknaannya. Segalanya bersinergi untuk menciptakan sesuatu yang lebih memiliki nilai.
Hal-hal yang selama ini dipandang sederhana sesungguhnya memiliki nilainya sendiri. Taruhlah itu nasi putih. Barangkali tanpa teknik pengisahan yang menarik, makanan pokok ini hanyalah menjadi sesuatu yang biasa karena begitu akrab dengan keseharian. Melalui storytelling, didukung oleh kreasi sebuah foto, seseorang bisa saja dengan ringan menceritakan tentang kisah perjalanan padi menjadi nasi, termasuk juga informasi mengenai di mana padi itu ditanam, bagaimana kultur petani hingga metode penanamannya.
“Dasarnya, sudah tentu adalah literasi dan wawancara. Dari sanalah penggalian informasi bisa dilakukan lebih mendalam. Dengan mengetahui proses hingga terciptanya, diharapkan kita bisa lebih menghargai makanan,” ungkap Culinary Story Teller dan Food Stylist, Ade Putri Paramadita, dalam Jah Megesah Vol. 02: Commercial Photography – The Magic of Story Telling, Sabtu (17/11) di Gedung Mendopo Ksari, Negara.
Kisah-kisah yang muncul dalam karya fotografi adalah media untuk berbagi. Berbagi di sini tentu tidak hanya berada dalam wilayah idealisme semata, namun bergerak cepat menuju komersialisasi. Setiap saat, standar ideal juga berlaku dinamis, berubah sesuai pergerakan jamannya. Dan hari ini, mengemas informasi dengan teknik storytelling dipandang efektif untuk mempromosikan sebuah produk. “Ini tidak hanya berlaku untuk kuliner saja. Fashion, handycraft, apa saja bisa diceritakan agar lebih menarik,” katanya.
Saat ini, tambah moderator Wena Wahyudi sekaligus penggagas Jah Megesah, sudah tidak jaman lagi mempromosikan produk dengan informasi yang “padat”. Justru teknik pengisahan dengan mengambil sudut pandang yang berbeda dari suatu produk, hari ini, jauh lebih berhasil mendekatkan produk tersebut dengan calon konsumennya. Segalanya tergantung kreativitas dan kemampuan untuk menemukan keunikan produk yang akan dipromosikan.
Dalam Jah Megesah Vol. 02 yang digagas Jimbarwana Creative Movement, Ade tidaklah sendiri. Ia ditemani Dibal Ranuh, seorang fotografer profesional yang dikenal dengan karya-karyanya unik dan menarik secara komposisi. Kreativitas adalah dasar dari segalanya yang menjadi pondasi sebuah karya. Kejelian memandang objek dan kemampuan mewujudkannya menjadi sesuatu yang menarik mutlak mesti dimiliki seorang fotografer.
“Sama halnya dengan storytelling, kita mesti jeli mengambil angle suatu objek. Jika sudah peka, kita bisa lebih mudah memilah sisi mana yang akan kita gunakan untuk menghasilkan karya yang kuat, baik secara visual maupun pesan,” ucap Dibal.
Di tengah kemajuan teknologi, Dibal berupaya memberikan pemahaman bahwa terkadang keberadaan alat tak penting lagi. Dengan catatan, seseorang mesti mengetahui peruntukan foto tersebut. “Jika untuk pribadi atau sifatnya personal branding, tak masalah memakai kamera handphone. Tapi jika digunakan untuk tujuan komersil yang lebih luas, menghadapi client, setidaknya gunakan device yang benar-benar layak untuk menghasilkan karya hires. Karena nantinya, hasil foto tidak hanya berhenti sebatas informasi online semata,” ucapnya.
Selain membahas tuntas mengenai fotografi, Dibal juga mengajak peserta Jah Megesah untuk mengikuti workshop mengenai teknik menghasilkan foto komersial, utamanya pengambilan angle dan pencahayaan. “Dalam food photography, misalnya, fotografer tidak bekerja sendiri. Tapi mesti bekerja sama dengan food stylist untuk menghasilkan komposisi yang menarik dan masuk akal. Nah, kebetulan Mbak Ade (Ade Putri Paramadita) adalah seorang food stylist, kita minta bantuannya untuk menata makanan secara artistik,” ucapnya.
Terik di luar berimbas juga pada bangunan Mendopo Ksari yang semi terbuka. Namun gerah itu tak menyurutkan minat peserta Jah Megesah untuk mengikuti workshop yang diadakan. Selain mengangkat food photography, Dibal juga memberikan workshop tentang fashion photography, utamanya mengenai pengambilan angle yang menarik untuk materi promosi.
Budayawan DS Putra mengapresiasi Jah Megesah Vol 02 sebagai upaya edukasi bagi masyarakat Jembrana. Ia hanya menyayangkan masyarakat, utamanya pemuda Jembrana yang kurang peka dengan adanya peristiwa budaya tersebut. “Kalau ada yang harus disayangkan, anak muda Jembrana kurang tanggap, atau Jimbarwana Creative (Movement) yang kurang berkoar?” katanya.
Dalam sesi diskusi, ia juga menekankan pentingnya mengelola cultural shock menjadi sesuatu yang lebih kreatif sebagai wujud apresiasi terhadap apa pun juga. Rasa takjub inilah yang mesti harus dimiliki untuk menumbuhkan apresiasi terhadap apa pun itu. “Terima kasih kepada narasumber yang berkenan mampir ke Gumi Wayah Tanah Mekepung Jimbarwana yang selama ini menjadi peta buta Bali,” demikian DS Putra. (T)
LANJUTKAN BACA: