DI langit malam, Mars dan Venus tampak berkilau. Dua planet yang berbeda, namun justru saling memperindah langit yang sama. Seolah alam ingin memberi pesan: perbedaan bukan untuk dipertentangkan, melainkan untuk saling melengkapi.
Demikian pula halnya dengan pria dan wanita. Sejak awal peradaban, keduanya hadir bukan sebagai pesaing, tetapi sebagai pasangan kodrati yang saling menyempurnakan. Dalam relasi pria dan wanita yang harmonis inilah, kehidupan berkelanjutan memperoleh pijakannya—baik secara biologis, emosional, maupun spiritual.
Kodrat untuk hidup berpasangan secara alami tidak semata-mata soal fisik, melainkan juga menyangkut peran, tanggung jawab, dan panggilan jiwa. Pria dan wanita memiliki kekuatan yang berbeda namun saling menyeimbangkan. Dalam pernikahan, mereka bukan sekadar menjalani hidup bersama, tetapi juga membangun rumah, menanam nilai, dan melahirkan generasi baru yang memikul peradaban.
Namun kini, kita hidup di era yang kompleks. Narasi-narasi baru tentang identitas dan relasi manusia bermunculan. Pilihan-pilihan hidup menjadi semakin beragam, dan sering kali membingungkan, terutama bagi generasi muda yang masih mencari bentuk jati dirinya. Dalam situasi ini, bukan pembatasan yang diperlukan, melainkan bimbingan. Kita perlu menawarkan arah, bukan paksaan; menguatkan akar, bukan memotong ranting.
Di sinilah peran orang tua, sekolah, dan negara menjadi amat penting. Orang tua adalah fondasi pertama dalam menanamkan pemahaman tentang siapa diri kita, dan bagaimana mencintai secara bertanggung jawab. Pendidikan di rumah yang mengenalkan anak pada identitasnya sebagai pria atau wanita, bukan dalam bingkai stereotip, tetapi dalam kesadaran peran yang saling menguatkan, menjadi kunci awal.
Sekolah pun memegang peran strategis. Kurikulum perlu memberi ruang pada pendidikan karakter dan relasi sehat antara pria dan wanita. Siswa perlu memahami bahwa perbedaan gender bukan untuk ditolak, melainkan untuk dihargai dan dirawat. Program seperti pendidikan kesiapan berkeluarga, pelajaran PPKn yang menekankan nilai pernikahan dan keluarga, hingga bimbingan konseling yang terlatih dalam mengarahkan identitas dengan empati—semuanya dapat menjadi instrumen pembentuk masa depan generasi kita.
Di sisi lain, pemerintah sebagai pembuat kebijakan tidak boleh lepas tangan. Negara berkewajiban menciptakan iklim kebudayaan dan pendidikan yang berpihak pada nilai-nilai kodrati bangsa. Kampanye publik yang positif, dukungan terhadap pernikahan sehat, hingga insentif bagi pasangan muda untuk membangun keluarga bisa menjadi bagian dari upaya kolektif menjaga keseimbangan sosial.
Kita tidak menolak keberagaman wacana yang kini hadir dalam ruang publik. Namun kita juga tidak boleh kehilangan arah dasar sebagai bangsa yang menjunjung keseimbangan dan kodrat alam. Menjaga relasi alami antara pria dan wanita bukan berarti menutup mata terhadap dinamika zaman, melainkan meneguhkan kompas nilai agar generasi berikutnya tidak kehilangan akar.
Mars dan Venus memang berbeda. Tapi justru karena itulah langit menjadi indah. Begitu pula pria dan wanita—berbeda, namun saling mengisi. Dan tugas kita adalah menjaga agar harmoni itu tidak terputus oleh kabut zaman. [T]
Penulis: Dewa Rhadea
Editor: Adnyana Ole
- BACA JUGA: