Empat perupa menggelar pameran seni rupa bertajuk “Rizoma” di Rumah Paros di bilangan Banjar Palak, Sukawati-Gianyar, Bali. Empat perupa itu yakni Ida Bagus Putu Purwa, Wayan Paramarta, Made Budiadnyana dan AA Ngurah Paramartha (Ten Fine Artists).
Pameran dibuka oleh pecinta seni Nicolaus F. Kuswanto, pemilik Galery Zen1 pada Kamis, 1 April 2021, dan berlangsung hingga 9 April 2021.
Pemilik Rumah Paros, Made Kaek mengatakan, kendati dalam suasana Pandemi Covid-19, denyut berkesenian tidak boleh mandek. Semangat para perupa tak boleh kendor. Karena itu pihaknya menyambut baik pameran yang bertema “Rizoma” ini. Memang terbukti, pandemi tidak menghalangi perupa melakukan penajaman intuisi untuk menghasilkan karya yang berkualitas. “Melalui gelar karya rupa ini, kita harapkan ruang apresiasi senirupa selalu tersedia, kendati kita masih berkutat menghadapi pandemi Covid-19. Tentu protokol kesehatan (prokes) tetap dijalankan agar penyebaran Covid-19 segera bisa diputus, sehingga ke depan pameran senirupa bisa digelar seperti sebelum pandemi,’’ ujar seniman ini senang.
Kurator pameran Rizoma, Dewa Gede Purwita-Sukahet mengatakan, kreativitas dianalogikan oleh Deleuze dan Guattari sebagai hasil dari mesin hasrat yang bekerja terus-menerus, sehingga menghasilkan kebaruan. Yang dianggap baru adalah kelanjutan yang berbeda dari yang sudah ada sebelumnya, sebuah kebaruan sangat mustahil dicapai ketika terjadi kemelekatan tubuh pada sebuah norma sosial, kemelekatan pikiran pada sistem mutlak pengulangan (tradisi), kemelekatan pada hirarki yang membentuk tubuh seolah berkembang (menuju kebaruan) namun sejatinya rapuh (penuh pengulangan dan tidak bergerak).
Di sini Deleuze dan Guattari merumuskan dua tipikal bentuk masyarakat yaitu pohon dan tumbuhan rimpang atau rizoma, keduanya terdiri dari struktur, pohon dengan awal (akar) dan akhiran (ranting), sedangkan rimpang memiliki batang tumbuhan yang tumbuh menjalar di bawah permukaan tanah dengan struktur tubuh beruas yang selalu menghasilkan tunas juga akar baru. Pohon jika dipotong batangnya sangat memungkinkan untuk sebuah pohon menjadi mati sedangkan rizoma apabila dipotong maka ruas yang dipotong tersebut melahirkan akar dan tunas baru.
Singkat kata, Rizoma selalu menumbuhkan realitas-relaitas baru meskipun dipotong menjadi bagian kecil, hal ini tidak berlaku dalam realitas pohon. Kerja mesin hasrat harusnya layaknya rizoma dalam sebuah garis kreativitas, meski diputus maka akan tetap tumbuh menghasilkan akar dan tunas baru, sehingga, dengan kata lain tubuh dalam konteks sosial tidak mesti berada dalam keterikatannya dalam sistem hirarki yang mengekang, melainkan ia dapat melekat dan juga terlepas darinya. Kreativitas tidak dipandang sempit hanya milik kuasa seniman, setiap orang memiliki kreativitasnya tersendiri tergantung dari seberapa banyak mereka mengupayakan daya kreasi dan dalam bentuk apa daya itu disalurkan. Lantas apa hubungan rizoma dengan pameran empat orang yang notabena adalah potongan dari kelompok Ten Fine Art?
Sederhananya adalah tentang ruas batang yang terus berkelindan di bawah tanah, melahirkan akar juga tunas, pergerakannya tidak dapat dilihat meski tetap tumbuh. A.A. Ngurah Parartha, I Wayan Paramartha, I Made Budiadnyana dan Ida Bagus Putu Purwa memiliki sebuah kesepakatan bahwa pada masa yang dipaksa jeda oleh pandemi Covid-19 yang sampai hari ini telah menginjak satu tahun (di Indonesia dan Bali khususnya) mereka ingin menyampaikan bahwa kreativitas tersebut tidak dapat dihentikan, aktivitas untuk bertemu, berdiskusi, membicarakan karya dan berkarya terus dirawat serupa kehidupan tumbuhan rimpang.
Mereka mulai melihat kembali perjalanan-perjalan pada awal bergelut dengan dunia seni rupa, mengevaluasi diri secara sederhana sehingga timbul sebuah keinginan untuk merubah pola. Pola yang dimaksud disini adalah bagaimana mereka kembali mengevaluasi bentuk-bentuk sistem praktik dalam kerja kesenimanan baik dari persoalan pola kerja secara personal maupun bentuk sistem manajerial. Melalui kesepakatan ini kemudian, mereka berempat menyepakati untuk mengkonstruksi sebuah pemikiran tentang manajerial dalam pameran.
Tentang manajemen seni, coba saja survey tiap seniman (visual) Bali, seberapa pahamkah mereka dengan dunia manajemen seni yang notabena adalah bagian dari dunia personal mereka dalam pusaran sosial seni rupa? Dalam pameran Rizoma pergerakan ini berdasar pada sebuah studi kasus tersebut, oleh sebabnya ada sebuah usaha untuk memantik kesadaran manajemen dalam seni, sebagaimana Becker menyatakan bahwa “Art is Collective Activity”, dunia seniman sangat naif jika dikatakan sebagai dunia individual, bahwa ada kenyataan ketika seniman membutuhkan kerja sama dengan seseorang yang berlaku sebagai manajer, sebagai asisten, dan lainya.
Tolok ukurnya tidaklah berdasar pada kecepatan penjualan, melainkan seberapa penting seniman membutuhkan orang-orang di sekitarnya dan bagaimana mereka bekerja bersama untuk tujuan tertentu yang disepakati. Semangat inilah yang sebenarnya diusung oleh empat orang ini dalam pameran Rizoma, mencoba memanajemen diri dan masuk kepada wilayah dunia kesenian yang profesional.
Akhir kata, Rizoma dipilih berdasarkan kenyataan bahwa apa yang mereka lakukan selama pandemi adalah tetap menjaga api kreativitas dengan berkarya, lebih dari itu bahwa ada potongan-potongan realitas lain yang menawarkan kebaruan dan harus dihidupkan yaitu sistem manajerial, meski secara fisikal tidak sehebat cerita tentang pohon besar yang menjulang tinggi di atas tanah, rimpangakan terus menumbuhkan akar dan berkembang di dalam tanah serta memunculkan tunas baru walaupun dipotong berkali-kali.[T]