Sering kali kita melewatkan fenomena menarik dan menakjubkan di sekitar kehidupan sehari-hari. Menemukan dan menyadari fenomena-fenomena yang unik dan mengesankan tersebut dapat menumbuhkan rasa hormat pada alam, sesama dan Sang pencipta. Maka, agama dan spiritualitas tak melulu soal “ketinggian tingkat kesulitan” namun dapat saja sebuah kesederhanaan yang telah terlewatkan. Kita pun sering melupakan interkoneksi tubuh kita dengan alam ini, mikrokosmos dengan makrokosmos.
Di bidang sains medis, sudah menjadi kepercayaan bersama, penyakit infeksi yang terjadi pada tubuh manusia misalnya, merupakan interaksi dari tubuh, mikroba dan lingkungan. Wabah atau bencana alam, seakan-akan semuanya adalah keganasan dan kemarahan alam, namun rasa-rasanya sebagian besar itu berawal dari kerakusan manusia sendiri. Begitulah, dalam kehidupan sosial, situasi makin runyam saat yang satu menuduh yang lain telah berlaku jahat kepadanya, padahal orang tua kita yang sangat bersahaja selalu meyakinkan kita dengan filsafat buminya, jika kau menuai padi, tentu itu karena kau pernah menyemai bibit padi.
Minggu-minggu ini saya diajak menjadi salah seorang pembicara dalam kegiatan di kementerian pemuda dan olahraga. Kegiatan yang dimaksud adalah Training of Trainers (ToT) Pemuda Peduli Lingkungan Asri dan Bersih (Pepelingasih) yang dilakukan secara daring. Bertemu anak-anak muda dari seluruh pelosok negeri, berbagi cerita tentang kelestarian alam dan penanganan sampah plastik sungguh telah menginduksi kelistrikan otot-otot jantung saya untuk berdenyut lebih kuat.
Saya pun memamerkan berbagai furniture hasil daur ulang sampah plastik yang diproduksi oleh salah seorang kawan. Seorang anak muda idealis dan humanis yang juga telah mempekerjakan orang-orang difabel dalam usaha kreatif pro lingkungannya yang sebelumnya telah dibantunya untuk mendapatkan kaki palsu. Bahkan bahan kaki palsu yang dibuatnya pun ada sebagian berbahan dasar sampah plastik. Efek rumah kaca dan pemanasan global yang kian parah saat ini memang mesti mendapat perlawanan dari segenap anak-anak muda yang pada setiap denyut jantungnya memompakan darah idealisme ke seluruh tubuh dan jiwanya.
Alam, secara harfiah memang kerap kali mempertemukan manusia dalam kebersamaan. Sekelompok anak muda dengan ceria akan mendaki lereng curam gunung dan pegunungan lalu setia menanti yang lain untuk bersua dalam keriangan yang lain di puncaknya. Tentu saja jantung mereka memberi respon positif dengan berdenyut lebih kuat dan kencang sebagai euforia otot-otot tubuhnya karena telah bersua alam hijau yang telah merestui oksigen lebih banyak. Oksigen, air dan dedaunan, adalah nyanyian bumi yang oleh angin, selalu bebas dan sesuka hatinya melantunkan.
Tak jarang anak-anak muda itu pun menyambutnya dengan petikan gitar yang telah ikut serta digendongnya demi bertemu alam dan kesunyian. Bukankah ini sebuah spiritualisme? Sepertinya harmoni nada memang lebih dekat dengan alam, humanisme dan tentu saja romantika. Ada begitu banyak gubahan lagu yang menyegarkan jiwa bertema alam dan kehidupaan, yang mengharukan tentang kemanusiaan dan menggugah perasaan kasmaran akan romansa percintaan. Namun tak cukup banyak lagu yang memesona mengenai kekuasaan dan kekayaan. Nyanyian telah menemukan rumahnya sendiri dalam takdirnya sebagai keindahan dan pembebasan.
Dengan caranya sendiri, alam telah menyiapkan terapi untuk kesehatan jantung dan tubuh kita serta kebersamaan dan keselarasan hidup manusia. Tentu saja ia tak perlu menyediakan alat kateterisasi pembuluh darah jantung atau janji kampanye bombastis untuk mengumpulkan ribuan masa. Alam menawarkan cara-cara sederhana untuk menguatkan jantung manusia dan menjaga kehangatan humanisme. Seperti filosofi masyarakat Bali dalam Tri Hita Kirana, alam cuma meminta kita untuk berada dekat bersamanya. [T]